Cerpen Nasywaa Kamila
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Di bawah langit senja yang memerah, Latisya seorang gadis remaja berusia sekitar tujuh belas tahun berdiri di tepi pantai, latisya membuat siapa saja tersanjung dengan rambut hitam legam miliknya yang terurai, matanya yang besar berwarna cokelat ketika sinar mentari mengguyur tubuhnya. Sendiri, memandang ke laut luas yang terhampar di depan mata. Dinginnya angin laut yang rasanya seperti garam menyapu wajahnya, membawa harum khas alam yang tak tergantikan. Laut itu, meski damai dari kejauhan, menyimpan cerita kelam bagi sebagian orang yang merasakannya. Tetapi untuk Latisya, itu bukan hanya tentang laut yang membuat hati damai nan tenang, tetapi juga tentang perjuangan yang belum selesai.
"Latisya! makan dulu nak keburu lauk ayam kesukaanmu menjadi dingin tuh" suara Ibu terdengar dari kejauhan. Latisya tersenyum kecil, sambil menengok ke arah suara tersebut..
"Aku akan datang bu, tetapi berikanlah waktu sebentar untukku" jawab Latisya dengan suara yang parau.
Ibu berjalan mendekat dan berdiri di samping Latisya, menatap keindahan laut yang sama. "Kamu masih memikirkan pagar itu, ya nak? Pagar laut yang dulu sempat jadi simbol perjuangan para warga kita?"
Latisya mengangguk, matanya mulai berkaca kaca selagi tetap tertuju pada garis horizon yang tak terjangkau. "Ya, aku masih ingat betul. Itu bukan hanya pagar fisik yang memisahkan kita dari dunia luar, tapi juga pagar yang memisahkan harapan dan kenyataan. Pagar laut itu bukan sekadar pembatas, tetapi juga pelindung. Setiap kali ombak besar menyerang pantai, pagar batu itu menghalau kekuatan laut yang menggulung dengan tegas, namun lembut."
Ibu yang disampingnya perlahan memeluk bahu Latisya dengan lembut. Kehangatan yang Ibu salurkan kepada Latisya cukup membuat tubuh Latisya menjadi tenang dan damai. “Baiklah kalo kamu ingin mempunyai waktumu sendiri. Tenangkan dirimu dan semua akan baik baik saja” Ucap ibu yang perlahan menjauhi Latisya dan kembali ke rumah.
Latisya melihat ibu dengan tersenyum berjalan ke rumahnya sambil mengatakan “Terimakasih bu”. Latisya kembali menatap hamparan lautan yang luas, mendengar suara ombak yang datang dengan ritme yang tenang seakan menjadi obat saat dia mempunyai suatu masalah. Kejadian itu mulai terulang kembali di pikirannya.
Beberapa tahun yang lalu, ketika mereka masih muda dan penuh semangat, mereka bersama sekelompok pemuda dan pemudi dari desa mereka membangun pagar laut. Sebuah karya besar yang menjadi simbol perjuangan mereka dalam mempertahankan tanah air dari ancaman luar. Pagar laut itu adalah saksi bisu dari zaman yang terus berjalan, selalu setia di sana, berdiri kuat dan menjaga batas, namun juga membuka jalan bagi mereka yang ingin mendekat dengan keberanian untuk menjelajahi laut yang penuh rahasia. Namun, di balik pagar itu, banyak sekali kisah yang menyakitkan. Banyak yang hilang dalam perjuangan tersebut, banyak yang jatuh, dan tak sedikit yang merasa kehilangan arah. Apa yang terjadi setelah mereka membangun pagar itu? Adakah yang berubah di desa mereka, atau mereka terus berjuang dalam diam?
Saat Latisya sedang menikmati momen momen itu tibalah Ananda. “DORRR!!” ucap Ananda sambil tertawa cekikikan karena melihat wajah Latisya yang tadinya datar menjadi kaget. “Astaga Ananda kamu ngagetin aku aja deh. Habis dari mana kamu?” ucap Latisya. “Hehe maafin yaa lagian aku tadi lagi jalan jalan sore eh ngeliat kamu lagi melamun sambil liat pantai. Kamu masih mikirin “hal” itu ya?” Ucap Ananda sambil mengangkat dua jarinya sehingga berbentuk huruf V. Latisya menghela nafas “yaa begitulah nan keadaannya, sekarang aku bingung harus gimana”.
"Kenapa kamu tidak pernah bercerita banyak tentang dia?" tanya Ananda, mengalihkan perhatian Latisya.
Dia, Latisya terdiam sejenak, mengenang sosok pria yang pernah sangat berarti baginya. Fareza. Pemuda yang penuh semangat juang, yang selalu berbicara tentang masa depan cerah bagi Indonesia. Sikapnya yang positif dan bersemangat menular ke banyak orang di sekitarnya, membuatnya menjadi seorang yang inspiratif bagi yang memandangnya. Namun, seperti pagar laut yang mereka bangun, hubungan mereka juga terhalang oleh banyak hal yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
“Aku pernah mencintainya, Nan. Tapi… setelah semuanya berubah, aku sadar, kita tak bisa lagi berjalan bersama di jalan yang sama. Perlahan lahan hubungan ini terasa tidak semulus yang aku bayangkan, setiap hari bayang bayang itu mulai datang. Perih, sakit mulai datang tanpa disadari kedatangannya.”
Hari itu, matahari mulai lelah dan menuju ke dalam bayangan yang gelap menghasilkan sebuah sinar yang indahnya tidak bisa dideskripsikan oleh setiap mata. Latisya berjalan di pinggir pantai membuat kakinya sedikit disapa oleh para air asin. Sore itu, para pemuda pemudi sedang saling bahu membahu untuk membuat pagar laut. Latisya sudah menjalankan shiftnya tadi siang menuju sore jadi sekarang dia hanya sedang menikmati setiap angin yang menyapu rambutnya. Mata Latisya menatap ke arah pantai tapi bukan senja yang membuatnya melirik ke pantai. Melainkan seorang pemuda yang sedang membuat para warga disana terus bersemangat. Melontarkan kalimat kalimat penuh perjuangan yang membuat hati terus terbakar oleh bara api semangat.
“AYO SEMUA SEMANGAT DEMI MEMBANGUN INDONESIA KUAT DAN CERDAS!! UNTUK MASA DEPAN KITA SEMUA” ucap pemuda itu. Kalimat itu membuat Latisya tanpa sadar menarik pipinya membuat lengkungan indah. “HEY! lagi liatin apa siii ko senyum senyum terus dari tadi. Kamu lagi liatin dia ya? si Fareza.” ucap Ananda yang tiba tiba datang. “Astaga selalu ngagetin kamu Nan, eh dia namanya Fareza?” ucap Latisya. “heuh, dia emang jarang keliatan sih soalnya kalo denger kata orang sih dia sering banget pergi pergi gitu gatau dah ke acara apa. Tapi emang seru sih denger omongan dia tuh.” ucap Ananda sambil menatap Latisya. Hari mulai gelap para warga mulai beramai ramai pergi menuju ke rumahnya masing masing. Kecuali, Fareza pemuda itu menatap sejenak ke arah senja yang mulai padam. Menikmati setiap momen yang ia jalani.
Hari demi hari berlalu Latisya mulai mengenali Fareza begitu pun sebaliknya, Merasa mulai dekat mereka jalani hari bersama mengobrol di bibir pantai sambil menatap senja yang mulai turun ke permukannya.
Tetapi Hari itu Fareza pergi. Pergi entah kemana. Seminggu, dua minggu berlalu. Bulan demi bulan berlalu. Fareza tetap tidak datang. Entah kemana perginya Fareza membuat hati Latisya hancur. Menyayat sedikit demi sedikit hatinya. Tetapi pagar laut itu tetap ada berdiri kokoh menjadi hal yang membuat Latisya berdiri dengan kuat. Latisya sadar bukan Fareza yang membuat dirinya bertahan tetapi Pagar Laut itulah yang membuat dirinya tetap bertahan.
Ananda menatap Latisya dengan hati yang penuh pengertian. Mereka berdua sama-sama tahu, betapa kerasnya realita yang harus mereka hadapi. Ananda hadir sebagai sahabat Latisya yang terus berada di dekatnya. Menemani perjalanan juang mereka dan para pemuda pemudi lainnya. Semangat juang yang tidak ada hentinya. Semangat juang yang mereka cipta untuk bersama. Mimpi-mimpi besar yang dulu dibangun bersama, kini seperti deburan ombak yang hilang seiring waktu.
Namun, di tengah kesedihan yang mereka rasakan, ada satu hal yang tak bisa diabaikan: semangat juang. Indonesia, tanah air mereka, adalah tempat yang harus dipertahankan. Walau banyak yang ingin menghancurkan pagar itu.Pagar laut yang mereka bangun bukan hanya sekadar simbol, tetapi juga bukti bahwa semangat persatuan masih ada. Pagar laut itu menjadi saksi bisu perjuangan para pemuda pemudi warga sekitar, selalu setia, berdiri kuat, menjaga batas antara daratan dan kehidupan yang luas di depan sana.
“Latisya, kita masih punya banyak waktu untuk apapun yang ingin kita lakukan. Semangat Indonesia itu bukan hanya tentang masa lalu. Pastinya Ini juga tentang masa depan. Kita bersama sama harus melanjutkan perjuangan itu, bahkan jika Fareza tidak lagi di sini,” kata Ananda sambil meyakinkan Latisya.
Latisya menengok dan menatap ke arah Ananda, dan untuk pertama kalinya dalam kejadian beberapa waktu lalu, dia merasakan secercah harapan menghampirinya. Mereka mungkin telah kehilangan banyak hal, tapi semangat persahabatan dan cinta tanah air masih hidup di dalam diri mereka.
Malam itu, ketika matahari benar-benar terbenam dan langit berubah menjadi gelap, Latisya merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Pagar laut mungkin telah runtuh, namun semangatnya untuk Indonesia masih berdiri tegak. Persahabatan yang mereka bangun juga tak akan pernah pudar. Mungkin cinta itu memang pernah ada, tetapi cinta untuk tanah air mereka adalah hal yang lebih besar dan abadi.
"Ananda, kamu benar," Latisya berkata dengan suara yang lebih tegas. "Kita akan membangun pagar baru. Untuk masa depan Indonesia."
Ananda tersenyum, memeluk sahabatnya dengan erat. "Mari kita lakukan bersama."
Latisya menatap laut sekali lagi, kini dengan pandangan yang lebih cerah. Laut itu masih begitu luas, penuh misteri, dan penuh harapan. Dan dia tahu, tak ada pagar yang dapat menghalangi semangat yang terlahir dari dalam hati mereka, semangat Indonesia yang tak akan pernah padam.