Wednesday, March 12, 2025

Cerpen Lomba | Ubaldus Hendrifiki | Pagar Laut

 Cerpen Ubaldus Hendrifiki


(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)



Angin pagi yang menusuk di pelipisan pasir membawa aroma asin dari laut lepas. Laut yang seakan memisahkan dunia ini menjadi dua. Di sini, di tepi pantai ini, Nirmala berdiri memandangi garis horizon yang membentang tanpa ujung, tempat yang selalu ia tuju setiap kali gelisah. Hari itu, ia berdiri di depan pagar bambu yang sudah lapuk dimakan waktu.


Pagar bambu itu berdiri tegak di tepi laut, seolah menjadi saksi bisu dari seluruh perjalanan hidupnya. Pagar yang dulunya dipasang oleh ayahnya, yang bernama Adit, untuk melindungi desa mereka dari terjangan ombak besar yang datang dari laut. Kini, meski tidak lagi mampu berdiri kokoh, pagar itu tetap ada, mengingatkan Nirmala akan kenangan lama yang tak ingin ia lupakan.


Desa mereka, desa nelayan kecil di ujung selatan pulau, terancam oleh ancaman yang lebih besar dari sekadar ombak. Sejak puluhan tahun lalu, pertempuran melawan alam tak pernah berakhir. Namun, pertempuran terbesar yang harus mereka hadapi bukanlah ombak yang datang tanpa ampun, melainkan kerusakan yang ditinggalkan oleh manusia—penggundulan hutan di hulu sungai yang membuat aliran air ke laut menjadi lebih cepat dan merusak pantai. Sebagian pantai telah terkikis habis oleh gelombang, dan hanya sisa-sisa pagar bambu yang tersisa sebagai penanda perjuangan mereka.


Namun yang membuat Nirmala tak bisa melupakan pagar itu adalah kenangan tentang ayahnya. Ayah yang selalu bercerita bahwa pagar bambu itu bukan hanya berfungsi untuk melindungi, tetapi juga sebagai simbol kekuatan laut yang bisa menggerakkan apa saja. Ia mengatakan bahwa laut, meskipun tak terlihat, memiliki kekuatan yang lebih besar dari apapun. Laut tidak bisa dilawan. Laut harus dihormati. Itu pesan ayah yang selalu tertanam dalam ingatannya.


Kini, pagar bambu itu mulai miring, sebagian bambunya patah dan tertimbun pasir. Tapi ia tidak akan membiarkannya runtuh begitu saja. Nirmala bertekad untuk memperbaiki pagar tersebut. Meskipun ia tahu, ada sesuatu yang lebih besar yang harus mereka hadapi. Laut yang selalu memberi kehidupan kini berpotensi menjadi ancaman yang lebih besar bagi mereka.


Hari itu, angin laut bertiup lebih kencang dari biasanya. Nirmala duduk di dekat pagar, memandang jauh ke horizon. Ada yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang ia rasakan semakin mendekat. Ketika itu, sebuah perahu nelayan mendekat. Perahu yang dikemudikan oleh seorang pria tua dengan kerutan di wajahnya. Pria itu terlihat terburu-buru, seolah membawa kabar yang tak bisa ditunda.


“Rencana baru akan datang,” pria tua itu berkata dengan suara parau, melangkah mendekat. “Ada yang tak bisa kita tahan lagi.”


Nirmala menatap pria itu dengan penuh tanya. “Maksud Bapak?”


“Para pengusaha yang ingin membangun resort besar di sekitar sini. Mereka akan menghancurkan semuanya, Nirmala. Laut ini bukan lagi tempat kita mencari ikan. Mereka akan menutup jalur kami.”


Kata-kata itu seperti petir yang menghantam hati Nirmala. Resort? Pantai ini yang dulunya menjadi tempat tinggal nenek moyang mereka, tempat mereka mencari kehidupan, sekarang akan diserahkan pada uang dan kekuasaan. Resort besar itu akan merusak ekosistem yang telah terjalin lama dengan kehidupan mereka. Pembangunan yang katanya untuk kemajuan justru akan menghancurkan alam yang selama ini memberi mereka kehidupan.


Pria tua itu melanjutkan, “Pagar ini tak akan mampu lagi melawan gelombang kehidupan yang datang. Pagar laut, pagar yang kita sebut pelindung, sudah tak cukup lagi. Tapi masih ada cara.”


Nirmala menatap pagar bambu itu dengan perasaan campur aduk. Ia tahu, mereka tak bisa bertahan selamanya hanya dengan pagar bambu ini. Pagar itu, seperti kenangan, tak akan mampu menahan gelombang yang datang dari luar. Namun, meskipun pagar itu tak bisa menghentikan segala perubahan, ada sesuatu yang lebih kuat dari pagar bambu—ada ikatan dalam diri setiap orang yang hidup di sekitar pantai ini. Ikatan mereka dengan laut, dengan bumi, dengan alam yang telah mereka jaga selama ini.


Saat Nirmala merenung, seorang wanita muda datang mendekat. Wanita itu adalah teman sebayanya, Lina, yang bekerja sebagai guru di sekolah desa. Lina memiliki semangat juang yang tinggi, dan selalu berusaha mencari solusi untuk setiap masalah yang dihadapi desa mereka.


“Nirmala, kita tak bisa hanya diam,” kata Lina dengan wajah penuh semangat. “Kita harus bersatu. Menghadapinya bersama-sama.”


Nirmala menatapnya, ada kilatan harapan di matanya. Mereka berdua, bersama dengan orang- orang di desa, bisa melawan bukan dengan bambu atau pagar, tetapi dengan kekuatan hati dan solidaritas. Mereka akan mengajarkan pada dunia bahwa ada sesuatu yang lebih penting dari uang dan pembangunan: melindungi warisan dan alam yang memberi mereka kehidupan. Mereka akan menunjukkan bahwa kekuatan sejati datang dari kebersamaan, bukan hanya dari kekuatan materi.


Pagar bambu itu mungkin akan runtuh, tapi semangat orang-orang di desa ini akan tetap ada, tak akan pernah hilang. Laut mungkin akan mengubah banyak hal, tapi mereka akan tetap menjaga hubungan mereka dengan laut dan alam. Pagar yang mereka butuhkan bukanlah pagar bambu di pantai, tetapi pagar yang dibangun oleh tekad dan kebersamaan mereka sebagai manusia, sebagai bagian dari dunia ini.


Nirmala mengambil sebatang bambu dari tumpukan yang telah ia persiapkan dan mulai memperbaiki pagar itu. Seperti ayahnya dulu, ia tahu bahwa pagar itu tidak hanya untuk menghalau ombak, tetapi juga untuk mengingatkan mereka semua akan kekuatan dan kelembutan laut, yang meskipun bisa menghancurkan, juga memberikan kehidupan. Meskipun pagar bambu itu tidak sempurna, Nirmala tahu bahwa ia harus melindungi apa yang masih tersisa.


“Laut ini adalah bagian dari kita,” bisiknya. “Dan kita akan terus menjaga pagar laut ini, selamanya.”


Nirmala dan Lina menatap laut yang tak pernah berhenti bergelora. Gelombang besar akan selalu datang, tetapi kekuatan mereka sebagai warga desa yang saling mendukung akan terus mengalir, tak terhentikan. Bukan hanya pagar bambu yang harus diperbaiki, tetapi juga semangat mereka untuk terus menjaga hubungan yang erat dengan alam. Mereka akan melawan ancaman itu bersama, dengan segenap hati.


Pagar laut yang dulu kuat, kini hanya tinggal kenangan, namun semangat dan persatuan yang dibangun di atasnya akan terus mengalir sepanjang waktu, menjaga desa ini dari ancaman yang tak terduga.