Cerpen Mochammad Ade Sopyan
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Laut masih berbisik di kejauhan, tapi suaranya terdengar berbeda di telinga Darma— seperti rintihan yang tertahan. Ombak datang dan pergi, membentur tiang-tiang bambu yang mencakar pasir.
Ia berdiri di tepi pantai, menatap pagar yang kini membelah hidupnya.
Dulu, laut ini adalah rumah. Di setiap hempasan gelombang, ada harapan. Di setiap tarikan jaring, ada kehidupan. Tapi sejak pagar ini berdiri, laut bukan lagi sahabat. Ia menjadi sesuatu yang jauh, terpisah, tidak terjangkau.
"Ayah..."
Darma menoleh. Rina berdiri di sampingnya, tubuh kecilnya hampir tenggelam dalam cahaya bulan.
"Kenapa lautnya dikurung?"
Darma tak segera menjawab. Ia menatap pagar bambu di hadapannya, tinggi dan kokoh, seakan ingin menegaskan batas antara mereka dan dunia yang seharusnya menjadi milik mereka.
"Supaya kita tak bisa ke sana, Nak," akhirnya ia berkata, suaranya serak. "Tapi laut kan bukan milik siapa-siapa?"
Darma tersenyum hambar. "Harusnya begitu." Tapi dunia tak berjalan dengan ‘seharusnya’. Sejak pagar itu berdiri, segalanya berubah.
Dulu, Darma bisa berangkat melaut kapan saja. Ia tak perlu berpikir dua kali sebelum menurunkan perahu dan mendayung ke tengah. Tapi kini, semua itu tinggal kenangan.
Nelayan tak bisa lagi menebar jaring di perairan dekat pantai. Mereka harus berlayar lebih jauh, menghadapi ombak yang lebih garang, dan pulang dengan hasil tangkapan yang semakin menipis.
Di warung kopi dekat dermaga, keputusasaan menggantung di udara.
"Kita ini seperti burung yang dipatahkan sayapnya," suara Maman, sahabat Darma, menggema di ruangan penuh asap rokok. "Dulu kita bisa terbang bebas, sekarang hanya bisa melihat langit dari balik jeruji."
"Sudah tiga hari aku tak bisa melaut," seorang nelayan tua menghela napas berat. "Anakku menangis setiap malam, lapar."
"Semua ini karena pagar sialan itu!" suara seseorang meninggi.
Darma mendengar semua itu, tapi ia tahu—kemarahan yang tak terarah bisa menghancurkan lebih dari sekadar pagar.
Pagar bambu itu dibangun dalam satu malam.
Tak ada pemberitahuan, tak ada peringatan. Pagi-pagi buta, mereka menemukannya berdiri tegak, membentang sepanjang pesisir.
"Kita harus bicara dengan kepala desa," usul seseorang.
Mereka pun pergi, dengan harapan ada jawaban. Tapi yang mereka dapatkan hanyalah tatapan datar dan jawaban yang dingin.
"Keputusan dari atas."
Tidak ada yang tahu siapa "atas" itu. Yang mereka tahu, sejak hari itu, laut bukan lagi milik mereka.
Malam itu, Darma tak bisa tidur.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap Rina yang tertidur pulas.
Anaknya masih kecil, belum mengerti arti kehilangan. Tapi suatu hari nanti, ia akan bertanya lagi. Tentang laut, tentang pagar, tentang hidup yang semakin sulit.
Dan Darma tidak tahu apakah ia punya jawaban. Kemudian, suara langkah-langkah cepat terdengar di pasir.
Ia mengintip dari balik jendela. Sekelompok pemuda berdiri di depan pagar, mata mereka menyala dalam gelap. Parang, linggis, dan obor tergenggam di tangan mereka.
"Malam ini, pagar ini harus roboh!" seru seseorang. Darma mengepalkan tangan.
Jika pagar itu dihancurkan, besok pagi aparat akan datang. Akan ada bentrokan. Akan ada yang terluka, mungkin ada yang ditangkap.
Tapi jika pagar itu tetap berdiri, mereka akan mati perlahan. Ia menghela napas, lalu bangkit.
Ketika Darma tiba di depan pagar, pemuda-pemuda itu menatapnya. Menunggu arahannya.
Ia tidak membawa parang, tidak membawa linggis, tidak membawa obor. Ia hanya membawa dirinya sendiri.
Ia melangkah mendekat. Jemarinya menyentuh bambu yang dingin di depannya.
Kemudian, tanpa sepatah kata pun, ia mulai mencabut satu batang bambu dengan tangannya sendiri.
Satu per satu, yang lain mengikuti.
Mereka tidak teriak, tidak mengacungkan senjata. Tidak ada api, tidak ada bentrokan. Hanya tangan-tangan yang bekerja dalam senyap, mencabut satu per satu pagar yang membatasi mereka dari laut yang seharusnya menjadi milik mereka.
Udara malam dipenuhi suara kayu yang patah, bambu yang dicabut dari akar pasir.
Setiap derak bambu yang lepas terasa seperti rantai yang putus dari kaki mereka.
Ketika langit mulai berubah warna, ketika fajar perlahan menyingsing, pagar itu sudah tidak ada lagi. Yang tersisa hanya laut yang terbentang luas di hadapan mereka, berkilau di bawah cahaya matahari pertama.
Darma menatap cakrawala, membiarkan angin laut menerpa wajahnya.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, laut akhirnya bisa bernapas kembali.