Cerpen Reeha Yusuf
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Kami tinggal di sebuah rumah panggung kecil yang terbuat dari kayu di sebuah desa kecil yang berada dekat dengan pantai di sekitar kota Tangerang. Sejak pagi ini aku sudah terbangun untuk sarapan bersama ibu, sedangkan bapak sedang bersiap untuk bekerja. Bapakku adalah seorang nelayan yang selalu bekerja keras untuk membiayai sekolahku dan kehidupan kami dirumah. Biasanya di hari libur aku ikut bapakku bekerja, tapi kali ini ibu melarang, sebab kesehatanku sedang tidak stabil kemarin aku sempat demam tinggi, walau sekarang sih, sudah sembuh. tapi aku tetap tidak diperbolehkan untuk ikut bapak bekerja. Meskipun bapak sendiri sih sebenarnya biasa saja, tapi ibu sangat khawatir karena aku adalah anaknya satu-satunya. Dia khawatir aku akan sakit lagi jika tidak cukup istirahat hari ini. Jadilah aku tidak ikut bapak ke pantai hari ini. Bapak berpesan sebelum pergi, “Sadam kalau kau sudah baikan nanti kamu bantu pekerjaan ibumu dirumah.” aku mengangguk dan bersalaman dengan bapak sebelum dia berangkat.
Aku melihat keluar pintu untuk melihat bapak yang berjalan kaki menuju pantai untuk bekerja, lalu seorang tetangga kami yang juga seorang nelayan menyapa bapak di tengah jalan, “hei, Arif, kau ini hendak kemana membawa semua peralatan itu?” bapak menatap lelaki itu bingung, “apa maksudmu bertanya begitu? Aku hendak berangkat bekerja. Memang apa lagi yang akan aku lakukan di jam segini?” jawab bapak heran “lagipula bagaimana denganmu? Kau tidak berangkat kerja hari ini?” bapak bertanya pada lelaki nelayan itu. “kemana saja kau? Belum mendengar kabar? Pemerintah telah memutuskan untuk memasang pagar di sekitar pantai, kita tidak lagi bisa melayarkan perahu dan menangkap ikan disana.” Jawab lelaki itu “Aku belum pergi bekerja 3 hari terakhir ini. Anakku kemarin demam dan istriku ingin aku ikut membantu merawatnya sampai dia sembuh.” Ayah melirik ke arahku, mungkin dia menyadari bahwa dia sedang diperhatikan. Aku segera kembali masuk ke dalam rumah ketika bapak melihatku di sela sela pintu.
Ayah masuk kembali ke dalam rumah, dia terlihat sangat bingung. “mereka memasang pagar di sekitar laut, pak?” aku bertanya kepada bapak “ya, kau sudah dengar itu, bukan?” jawab bapak dengan raut wajah yang kecewa “lantas bagaimana cara kita mencari uang sekarang?” sekarang giliran ibu yang bertanya dan ayah hanya menggeleng, “aku tidak tahu.” maka aku kembali ke dalam kamarku dan berganti baju, lantas pergi keluar rumah “bu, aku pergi main sebentar ya” kataku pada ibu sebelum pergi ke lapangan tua yang biasa aku dan teman-teman gunakan untuk bermain bola.
Sesampainya di lapangan, aku bertemu dan berbicara kepada teman-temanku, “kalian sudah mendengar kabarnya?” aku bertanya kepada mereka. Tegar, yang tertua di antara kami, menghela napas dan berkata “yeah, mereka sedang memasang pagar di sekitar pantai. Ayahku juga tidak pergi bekerja hari ini.” “bicara tentang pagar laut, aku sendiri belum melihat pagar itu secara langsung. kamu mau pergi melihat bersamaku atau tidak?” aku berpikir sejenak mengenai tawaran Tegar lantas mengangguk. aku ingin melihat pagar laut itu secara langsung.
Aku dan Tegar akhirnya pergi berjalan kaki menuju pantai tempat kita biasa bermain air sekaligus tempat kami terkadang membantu orangtua kami bekerja. Sesampainya di pantai, kami berdua menaiki perahu kecil untuk melihat lebih dekat pagar laut yang berada di tengah pantai. Ternyata memang pantai tersebut sudah dipasang pagar yang menjulang lumayan tinggi dan lumayan dalam di air laut ini. “ini gila, Tegar, kita sungguhan tidak bisa melewati pagar ini.” kataku pada Tegar, “ya, kita jelas tidak bisa lewat pagar ini. Sudahlah. kita pulang sekarang?” aku mengangguk dan akhirnya kami memutuskan untuk kembali.
Di perjalanan pulang, aku berpisah dengan Tegar dan segera berjalan menuju rumah karena aku yakin ibu pasti khawatir padaku. Jarak dari pantai ke rumah tidak jauh, cukup berjalan beberapa puluh meter. Lima belas menit cukup jika sambil berlari kecil. Sesampainya dirumah, tidak banyak yang bisa kulakukan. Berbincang dengan bapak pun rasa-rasanya tidak bisa, mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk berbincang dengan nya. Dia masih terlihat bingung tentang apa yang harus dilakukan sekarang untuk menghidupi kami. Aku sempat ingin mengajaknya berbicara, tapi ketika melihatnya, rasanya bagaikan seluruh ruangan menatapku begitu tajam, memberitahuku bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk berbicara dengan bapak. Sebenarnya hubunganku dan bapak sejak dulu juga tidak begitu baik. Tapi mungkin karena akhir-akhir ini aku sering ikut bapak bekerja, dia jadi lebih memperhatikanku sedikit.
Aku memutuskan untuk pergi dan membantu ibu di dapur. “kamu sudah selesai main nya? ibu pikir kamu akan bermain sampai siang” kata ibu, “tidak, aku tidak bermain hari ini. Aku pergi melihat pagar laut yang sedang dipasang.” kataku. “bagaimana menurutmu tentang pagar laut itu, Sadam?” sekarang ibu bertanya dan aku terdiam sejenak “pagar itu lumayan tinggi, bu. Pagarnya juga tidak bisa dilewati. Padahal aku dan teman-temanku sangat ingin membantu menangkap ikan hari ini.” ibu hanya tersenyum dan mengelus kepalaku dan berkata “tidak apa apa, kita bisa pikirkan cara lain untuk menghasilkan uang, bukan?” dan ibu benar. Pasti masih ada cara.
Esoknya, aku pergi mendatangi rumah Tegar. Setelah bicara dengan ibu kemarin, aku mendapat pencerahan. Maka pagi ini, aku akan mengutarakan ideku kepada Tegar, karena aku yakin dia pasti bisa membantu. “Sadam, itu ide brilian. Kau benar, kita bisa mencoba menghasilkan uang dengan menangkap dan mengembangbiakkan ikan tawar. Kita bisa mulai memancing besok.” aku mengangguk mantap, kita akan mulai memancing besok. “oh, ya. kita akan membutuhkan kolam yang besar untuk ikan-ikan itu nanti.” kataku pada Tegar. Dia hanya terdiam sejenak untuk berpikir, lalu dengan santai dia menjawab “kau benar, tapi tenang saja, aku punya kolam yang lumayan besar di belakang rumah. sudah lama tidak digunakkan.” “bagus sekali, Tegar. kalau begitu kita gunakan kolam itu saja.” sepakat. kami akan menggunakan kolam milik keluarga Tegar.
Setelah menemui Tegar aku memutuskan untuk kembali ke rumah dan memperbaiki alat pancingku. Sepuluh menit, alat itu sudah dapat berfungsi seperti semula. Tidak sulit memperbaiki alat memancing itu karena aku sering membantu bapak di laut. Saat kecil aku sering melihat bapak memperbaiki alat pancingku karena aku sering tidak sengaja merusaknya dulu. Baiklah, joran pancing sudah selesai diperbaiki. Sekarang aku tinggal mencari umpan cacing di tanah belakang rumah.
Beberapa jam kuhabiskan untuk mengumpulkan cacing, dapat banyak. Ini lebih dari cukup untuk memancing besok. Maka aku masuk kembali ke dalam rumah untuk mandi dan bersih-bersih badan. Ibu melihatku bersiap untuk mandi dan menatapku heran. “Ya Tuhan, kamu habis melakukan apa nak? kamu sangat kotor.” aku hanya nyengir, “iya bu, habis mengumpulkan cacing untuk memancing besok.” sepertinya ibu ingin bertanya lebih lanjut, tapi aku terlanjur buru-buru masuk ke kamar mandi dan langsung tidur setelah mandi.
Esok paginya aku langsung berangkat ke sungai bersama Tegar untuk memancing ikan. Butuh waktu yang lama memang, tapi tak apalah. Yang penting dapat ikan. Beberapa jam memancing, hasilnya tak begitu memuaskan. Jadilah aku dan Tegar membuat perangkap ikan. Bingo. Perangkat itu mendapat beberapa ikan. Setelah 5 jam berada di sungai, kami pergi ke rumah Tegar untuk menyimpan ikan-ikan yang telah kami tangkap. Tak lama, saat aku sedang sibuk memindahkan ikan, bapak lewat di depan rumah Tegar dan dia menatap heran diriku. “Sadam? Sedang apa kau?” bapak menatapku, aku tersenyum kecil dan berkata kepadanya “Aku dan Tegar mengumpulkan ikan dari sungai untuk dijual. Mungkin uang yang dapat kita hasilkan tidak sebanyak uang yang didapatkan dari menjual ikan laut, tapi semoga ini tetap dapat bermanfaat untuk kita.” jawabku.
Bapak terdiam sejenak dan tersenyum padaku “Kamu lakukan ini untuk membantu bapak, nak?” mendengar pertanyaan itu dari bapak aku pun mengangguk mantap. “kita bekerjasama dengan keluarga Tegar juga, pak” bapak berpindah lantas tersenyum juga pada Tegar, lalu menatap kami berdua “terima kasih ya, nak. terima kasih banyak untukmu juga, Tegar. Saya dan ayahmu akan mengelola ini dengan baik.” kata bapak sambil mengelus dengan lembut kepalaku.