Cerpen Syafura Kasih Sururudin
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Di sebuah desa pesisir yang tenang di Kabupaten Tangerang, hiduplah seorang gadis bernama Layla. Ia adalah putri dari Pak Rahmat, seorang nelayan miskin, dan istrinya, Bu Sari. Sejak kecil, Layla akrab dengan suara deburan ombak dan aroma asin laut. Meskipun hidup dalam kesederhanaan, Layla selalu berusaha membantu keluarganya semampunya.
Bu Sari, yang dulunya adalah gadis tercantik di desa, pernah menarik perhatian banyak pria kaya. Namun, hatinya memilih Pak Rahmat, seorang nelayan sederhana. Sayangnya, kehidupan yang penuh kesulitan membuat Bu Sari sering mengeluh dan marah-marah. Kemiskinan yang mereka alami membuatnya menyesali pilihannya, dan tanpa sadar, ia sering melampiaskan rasa frustrasinya pada Layla. Pak Rahmat, yang begitu mencintai istrinya, hanya bisa diam meski hatinya terluka. Namun, ia kerap melampiaskan kesedihannya pada Layla, gadis kecil yang seharusnya mendapatkan kasih sayang lebih.
Suatu pagi, Pak Rahmat menyuruh Layla pergi memancing sendirian. Layla tak berani menolak, meski hatinya dipenuhi kecemasan. Saat berjalan menuju perahu, ia merasa ada sepasang mata yang memperhatikannya. Seorang pemuda seumurannya berdiri tak jauh dari dermaga. Pemuda itu tampak ingin berkenalan, tetapi sebelum ia sempat mendekat, Layla sudah berangkat ke laut.
Hari itu, Layla berjuang keras untuk mendapatkan ikan. Matahari terik membakar kulitnya, tetapi hasil tangkapannya tidak banyak. Ia hanya mendapatkan beberapa ekor ikan kecil, yang tentu saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan hati yang berat, ia kembali ke pantai saat matahari mulai tenggelam.
Saat Layla menarik perahunya ke tepi pantai, pemuda yang tadi memperhatikannya muncul kembali.
"Namaku Daniel," katanya dengan senyum ramah.
Layla menatapnya dengan curiga. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan nada dingin.
Daniel tertawa kecil. "Aku hanya ingin berkenalan. Aku sering melihatmu bekerja keras di laut. Kau gadis yang hebat."
Meski awalnya ragu, Layla akhirnya menerima ajakan Daniel untuk berbicara. Mereka mulai sering bertemu, berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing. Layla merasa nyaman bersama Daniel, sesuatu yang jarang ia rasakan di rumahnya sendiri.
Suatu hari, mereka duduk di bawah pohon kelapa sambil menikmati angin laut.
"Jadi, Layla," kata Daniel sambil mengunyah pisang goreng, "kalau kamu bisa jadi hewan laut, kamu mau jadi apa?"
Layla menatapnya dengan heran. "Pertanyaan macam apa itu?"
"Ya, kan seru aja. Aku sih mau jadi lumba-lumba. Pintar, lincah, dan semua orang suka," kata Daniel sambil tersenyum bangga.
Layla tertawa. "Aku mau jadi kepiting. Bisa menjepit orang kalau mereka menyebalkan."
Daniel pura-pura ketakutan. "Oh tidak! Aku harus berhati-hati kalau dekat-dekat sama kamu. Bisa-bisa tanganku dijepit!"
Layla menggeleng sambil tersenyum. "Tapi serius, aku lebih suka jadi burung camar. Bisa terbang bebas ke mana saja tanpa ada yang menghalangi."
Daniel mengangguk pelan. "Itu pilihan yang bagus. Tapi kalau kamu terbang, jangan lupa mampir ke tempatku. Aku bakal siapin pisang goreng setiap hari."
Layla terkekeh. "Asal nggak basi aja."
Daniel mendesah. "Wah, penghinaan terhadap keahlian masakku. Ini namanya fitnah."
"Fitnah atau kenyataan?" Layla mengangkat alis dengan jahil.
"Baiklah, besok aku akan buat pisang goreng terbaik se-desa ini. Siap-siap terkagum-kagum," kata Daniel dengan penuh percaya diri.
"Kita lihat saja," kata Layla sambil menyeringai. "Kalau gagal, kamu harus bersihin jaring ikanku selama seminggu."
Daniel berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Deal. Tapi kalau berhasil, kamu yang harus buat aku makan siang selama seminggu."
Layla tertawa. "Siap, tapi jangan harap bakal dapat makanan enak."
Tiga minggu berlalu, kehidupan nelayan di desa semakin sulit. Suatu pagi, para nelayan mendapati pasak-pasak bambu raksasa dipasang di laut, menghambat perahu-perahu kecil untuk berlayar lebih jauh. Hal ini membuat hasil tangkapan mereka menurun drastis. Kemarahan Bu Sari semakin menjadi-jadi, dan seperti biasa, Layla menerima imbasnya. Ia pun menceritakan keluhannya kepada Daniel.
Beberapa hari kemudian, Layla mendapat kabar mengejutkan dari salah satu temannya. Pasak-pasak itu ternyata dipasang oleh pejabat yang korup untuk memonopoli hasil laut dan menguntungkan para nelayan besar. Yang lebih mengejutkan lagi, Daniel adalah anak salah satu pejabat itu.
Dengan hati yang dipenuhi kemarahan dan kekecewaan, Layla menemui Daniel. "Aku tak percaya! Ternyata kau anak dari orang yang membuat hidup kami semakin sulit!" serunya dengan suara bergetar.
Daniel terkejut. "Layla, aku tidak tahu tentang ini... Aku bersumpah aku tidak terlibat dalam keputusan itu!"
Namun, Layla terlalu marah untuk mendengarkan. "Kau bilang ingin berteman denganku, tetapi keluargamu menghancurkan hidup kami! Aku tidak ingin melihatmu lagi!"
Sejak saat itu, hubungan mereka menjadi dingin. Layla menghindari Daniel, sementara Daniel merasa bersalah dan mulai mempertanyakan tindakan ayahnya.
Daniel akhirnya memberanikan diri untuk menghadapi ayahnya. "Ayah, tindakan kalian tidak adil! Para nelayan kecil menderita karena keputusan ini. Mereka tidak bisa mencari nafkah!"
Sang ayah, seorang pejabat berpengaruh, awalnya menolak mendengarkan. "Kau tidak mengerti politik, Daniel. Ini semua demi keuntungan ekonomi."
Namun, Daniel tidak menyerah. Dengan bantuan beberapa teman yang memiliki akses ke media lokal, ia mulai mengungkap ketidakadilan yang terjadi di desanya. Berita tentang penderitaan para nelayan akhirnya menyebar luas, dan tekanan publik semakin besar.
Akhirnya, sang ayah luluh. Para pejabat yang terlibat memutuskan untuk mencabut kebijakan tersebut dan memberikan kompensasi besar bagi para nelayan yang terdampak. Dengan dana itu, ayah Layla membuka usaha perdagangan ikan yang berkembang pesat. Ia tidak lagi hanya seorang nelayan miskin, tetapi seorang juragan ikan yang disegani. Bu Sari pun berhenti mengeluh tentang kemiskinan dan mulai memperlakukan keluarganya dengan lebih baik.
Perlahan tapi pasti, cinta yang dulu terpendam mulai bersemi kembali. Mereka mulai sering bertemu, berbicara, dan membangun kepercayaan yang sempat hancur. Beberapa tahun kemudian, mereka menikah, membangun keluarga yang bahagia, dan berjuang bersama untuk memastikan desa mereka tetap makmur dan adil bagi semua orang. Layla dan Daniel pun membuktikan bahwa cinta sejati tidak hanya tentang perasaan, tetapi juga perjuangan untuk saling memahami dan memperbaiki kesalahan.
Beberapa tahun setelah perjuangan mereka, desa pesisir itu kembali damai. Layla dan Daniel, yang kini telah menikah, menikmati sore di pantai yang dulu menjadi saksi perjalanan mereka.
Matahari hampir tenggelam, menciptakan gradasi warna jingga dan ungu di langit. Layla duduk di atas pasir, memainkan kerang kecil di tangannya, sementara Daniel sibuk menggambar sesuatu dengan ranting di pasir.
"Apa yang kau gambar?" tanya Layla sambil melirik ke arah coretan Daniel.
"Ini... adalah mahakaryaku," kata Daniel dengan bangga, menunjuk gambar yang tampak seperti ikan berkepala aneh.
Layla tertawa. "Itu ikan? Aku pikir itu sandal jepit yang hanyut."
Daniel pura-pura tersinggung. "Hei! Ini adalah ikan spesial. Lihat siripnya yang elegan, matanya yang penuh ketegasan. Ini ikan yang akan menguasai lautan!"
Layla menggeleng-geleng. "Kalau begitu, aku akan menggambar kepiting raksasa yang akan menjepitnya."
Daniel terbelalak. "Astaga, kau masih suka kepiting! Aku pikir kau sudah berubah."
"Sudah, tapi kebiasaan menjepit orang yang menyebalkan tetap ada," goda Layla sambil mencubit lengan Daniel pelan.
Daniel tertawa dan berguling ke samping, menghindari cubitan Layla. "Aduh! Sudah menikah pun aku masih jadi korban!"
Mereka tertawa bersama, merasakan angin laut yang sejuk menerpa wajah mereka. Ombak perlahan menyapu jejak-jejak kaki mereka di pasir, tetapi kenangan mereka di pantai itu akan selalu abadi.
Daniel menoleh ke arah Layla dengan senyum hangat. "Aku janji, selamanya kita akan berjuang bersama, apa pun yang terjadi."
Layla tersenyum lembut. "Dan aku janji akan selalu ada untuk menjepitmu kalau kau mulai menyebalkan."
Mereka tertawa lagi, sementara matahari akhirnya tenggelam, meninggalkan mereka dalam kehangatan senja yang penuh cinta dan harapan.
Dan mereka pun hidup bahagia selamanya.