Thursday, March 13, 2025

Cerpen Lomba | Rahmah Yunita | Goresan Nara

Cerpen Rahmah Yunita



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  



Desiran ombak kali ini semakin bergemuruh, menabrak pembatas yang telah lama berdiri di sana. Bersama tubuh mungil juga jemari yang kecil, Yesila menyelinap masuk ke dalam kapal Ayahnya dengan sangat hati-hati, kepala hingga punggungnya sedikit ditundukkan, sementara kedua netra masih bertahan melihat sang Ayah di depan. Dari dulu dirinya mengincar waktu untuk berjalan-jalan menikmati suasana laut bersama sang Ayah, tetapi selalu tidak dibolehkan. 


Beberapa menit perjalanan, Yesila masih di posisi yang sama, raut wajahnya dari tadi selalu sumringah, helaian rambut coklatnya pun tak jarang menabrak wajahnya karena angin yang cukup kencang, bak film putri kerajaan yang berpetualang di laut, Yesila sangat senang dan menikmati perjalanan, dia sangat suka dengan air, membuat jari-jarinya itu tidak berhenti mengayuh ke sana ke mari pada arus laut.


Bruk! Wajahnya yang tadi tampak senang dan santai mendadak panik serta memerah, tubuhnya refleks mundur menimbulkan suara-suara, dia sangat panik ketika mendapati seekor ikan yang muncul dari laut untuk pergi ke dalam kapal Ayahnya.


“Ayah, ada ikan!” teriak Yesila cukup girang, membuat penyamarannya gagal.


“Yesila? Ada di sini, dari kapan?” sang Ayah mulai melambatkan laju kapal.


Namun, ketika melihat ikan yang masih bergerak ke sana-kemari, perhatiannya teralihkan, buru-buru Anto mengambil toples kecil yang diisikan air untuk tempat ikan itu berenang. Selepasnya, Yesila mendekap kedua kaki, jantungnya berdetak lebih cepat, dia tidak berani menatap wajah sang Ayah, karena sepertinya sekarang akan dimarahi.


Terdengar hembusan napas panjang dari depan, Anto membawa tubuhnya mendekati Yesila setelah menaruh ikan tadi ke dalam toples. “La, Ayah melarang kamu bukan semata-mata saja, tapi justru Ayah sayang sama kamu, Ayah enggak mau kamu kenapa-napa atau sakit setelah ikut Ayah.”


Mendengar seruan yang begitu lembut, Yesila membangunkan pandangannya, tangannya mulai meraih jari-jari Ayah. “Ayah ... Aku minta maaf, aku hanya ingin ikut dan bersenang-senang saja untuk yang terakhir, aku enggak akan mengganggu Ayah, dan ... Ayah enggak perlu khawatir, aku enggak bakal kenapa-napa kok, justru aku sangat senang berada di sini.”


Setelah ucapan itu, Yesila membawa jarinya merangkak, mencari-cari toples. Sang Ayah yang paham, membantu mendekatkan toples ikannya pada Yesila, dia terlihat sangat senang, memainkan ikan, yang Anto baru sadar kalau ikannya memang berbeda dari ikan-ikan seperti biasanya dia tangkap, warnanya sedikit terang bersama biru muda di ekor dan ukurannya kecil. Entah kenapa rasanya sangat pedih sekali melihat wajah sang Anak yang tampak pucat, jantungnya seperti teriris, warna merah mulai menghiasi kedua netranya yang juga terlihat kantuk. Namun, kali ini bersamaan pula dengan semangat yang kembali muncul dari sebelumnya redup, karena masalah pagar laut yang membuatnya susah mencari nafkah.


“Ayah, Nara terluka, ada darah di siripnya!” ucap Yesila begitu histeris.


Anto ikut memperhatikan jelas ikan yang Yesila pegang, dia mengamati sebentar. “Jadi, ikannya sudah diberi nama Nara, ya? Kasian, ya, Nara. Ya sudah nanti kita bawa pulang saja ya, kita rawat Nara.”


Yesila cengengesan mendengar respon sang Ayah, dari banyaknya nama hingga akhirnya Yesila memilih Nara untuk menjadi nama ikannya. Namun, hanya selang beberapa detik, cuaca berubah drastis, awan-awan mendung mulai berdatangan, membuat suasana laut kian gelap. Wajah Nara sedikit menunduk, pucatnya semakin menjadi pusat perhatian sang Ayah.


Baru saja Ayahnya ingin mengatakan sesuatu, Nara lebih dulu berseru, kali ini suaranya terdengar sedih, seolah sang Ayah ikut merasakan apa yang Anaknya rasa.


“Ayah, goresan di sirip Nara, sama seperti goresan di tubuhku, ya berdarah. Terima kasih banyak, ya, Ayah, sudah mau menerimaku untuk ikut dalam perjalanan yang seru ini, aku enggak akan kenapa-napa, aku akan selalu ada di hati Ayah, kan? Walaupun ya ... Aku sudah berada di tempat yang sangat jauh dari Ayah.”


Beberapa detik semuanya hening, Yesila kembali membuka pembicaraan. “Ayah, menurut Ayah kondisi sekarang gimana? Ayah suka enggak sama kondisi pembatas laut itu? Kelihatannya dari tadi Ayah sangat sedih.”


“Apapun kondisinya, Ayah akan merasa senang kalau kamu ada di sini, La. Meskipun ikan yang Ayah cari berkurang, Ayah akan selalu mengupayakan agar kita tetap hidup.”


Wajah Yesila yang tadi lunglai, kini berubah menjadi lebih tegas, Yesila berseru, “Cepat Ayah lajukan kapalnya!”


Deg! Jantung Ayahnya berdegup kencang, tubuhnya mulai gemetar, kepala pun mulai terasa pusing seakan semua yang di depan berputar, dia bingung akan respon Yesila yang mendadak keras. Namun, Anto berusaha mengikuti kemauan Yesila, mempercepat laju kapalnya. 


Bruk! Tiba-tiba saja kapal yang tadi cepat laju mulai menabrak sesuatu. Anto segera menghentikan lajunya, tubuh yang masih sempoyongan terus berusaha melihat ke arah depan kapal, dia melihat segumpal rambut dan seperti tubuh manusia.


Jari-jari Anto gemetar, napasnya terasa lebih sesak ditambah angin kencang yang membuat keringat dingin bercucuran. Dengan berani, Anto turun dari kapal, dia melihat sesuatu yang mengganjal laju kapalnya tadi. Bersama tangisan yang mulai menggerus hatinya, Anto membawa tubuh yang dia kenali itu ke dalam kapal. Tangisannya semakin tersedu, benar-benar terasa sangat sesak. Tubuh seseorang, malaikat kecilnya yang sudah lama ditunggu kini baru sempat Anto temukan, dia merasa sangat gagal menjadi seorang Ayah.


Beberapa Minggu lalu, sebelum pagar laut ini ada, kejadiannya terasa sangat cepat, Yesila dan teman-temannya pergi ke pinggir laut, bersenang pun tertawa bersama, menikmati desiran ombak yang mengalun. Namun, malapetaka datang begitu saja, ombak tiba-tiba hadir lebih bergemuruh dan besar, membuat Yesila yang berada cukup ke tengah terbawa arus. Teman-temannya yang masih sebaya tentu tidak bisa melakukan hal yang lebih selain meminta pertolongan pada warga di sana. Namun, semuanya memang sudah terlambat, tubuh Yesila semakin jauh, terseret-seret, meninggalkan penyesalan besar dari Anto dan sang Istri. Pencarian jasad mereka lakukan tanpa bantuan dari pihak berwenang, mereka mengupayakan sendiri dibantu para tetangga. Namun, memang belum saat dan waktunya mereka dipertemukan pada jasad Yesila, hingga pencarian pun berhenti bersama Anto yang masih belum selesai dengan rasa sesalnya.


Anto kini mulai tersadar, bahwa wujud Yesila tadi hanyalah sebuah bayangan dari bentuk rasa rindunya pada sang Anak. Tadi adalah sebuah gambaran Yesila semasa hidupnya yang memang selalu Anto larang untuk ikut menaiki kapal. Dia benar tidak bisa berkata-kata lagi, wajahnya terlihat sangat lemas dan lembab, air mata masih terjatuh hebat. Sesuatu mengalihkan pikirannya, dia ingat perkataan Yesila tadi jika goresan Nara sama dengan goresan di tubuhnya, ya saat Anto coba mencari ternyata benar, tubuh Yesila telah tergores, bahkan lebih dari sekadar goresan, Anto pikir, karena bisa jadi tertabrak pagar laut atau pun hewan-hewan yang ada di laut. Namun, yang membuat Anto tercengang kembali, Nara masih ada di sana, di toples kecil berisikan air, dia masih berwujud ikan yang sama dengan ekor kebiruan, juga goresan di sirip. Hampir tidak percaya Anto dibuatnya, karena Nara ternyata benar-benar nyata bukan bayangan seperti Yesila tadi.


Anto mulai merenungi tentang pagar laut yang sudah ada beberapa Minggu lalu setelah Yesila tenggelam. Sebelumnya yang Anto rasakan memang ombak menggulung besar ke arah pemukiman, dan bahkan perlahan mengikis habis tanah, setelah adanya pagar laut, ombak tidak lagi bebas ke pemukiman, juga tentunya bisa membebaskan para orang tua dari rasa takut jika Anaknya terbawa arus seperti Yesila saat itu. Lagi-lagi Anto kembali merenung, menatapi jasad Yesila bergantian pada Nara juga dengan sendu.


“Semenjak ada pagar laut, Ayah semakin sulit untuk mencari ikan, La, Ayah bahkan pernah pulang tanpa membawa apapun padahal di rumah kamu menunggu kedatangan Ayah dengan makanan,” ucap Anto dengan senyum masam menahan sesak. 


Ucapannya berhenti sejenak, lalu kembali dilanjutkan. “Ayah juga sedih, ikan-ikan di laut dan makhluk lain yang harus hidup dengan layak itu tercemarkan dan bahkan banyak dari mereka mati karena pembatas ini yang terlalu keras untuk tubuh mungil mereka.”


Anto begitu histeris, dia dekap tubuh sang Anak yang telah lama hilang itu dengan penuh kasih sayang, Anto tidak merasa bahwa ada bau yang tidak sedap atau jasad yang tidak utuh, tapi justru kebalikannya, jasad sang Anak tetap terasa wangi juga cantik menurutnya. 


“Ayah antarkan kamu pulang, ya, La, Ayah akan bawa Nara juga, Ayah akan jaga dia seperti Ayah menjaga kamu dengan penuh kasih. Maafkan Ayah, La ... Ayah memang salah enggak menjaga kamu saat itu.”


Tenaga yang mulai terkuras, masih berusaha Anto kumpulkan untuk membawa kapalnya ke rumah, hari ini memang dirinya tidak mendapatkan ikan untuk penghasilan, tetapi hari ini dia telah mendapatkan mutiara paling berharga meski tidak lagi bicara seperti dulu kala.