Thursday, March 13, 2025

Cerpen Lomba | Zaid Malbar | Kembang di Balik Pagar

Cerpen Zaid Malbar 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  


Menggantung tali perut pada seisi laut, rasanya merupakan kegaliban, bahkan keniscayaan bagi rakyat nusantara. Namun, segelintir borjuis yang seolah menempati kasta tertinggi, berusaha mencabik-cabik kesucian laut dengan memagarinya. Sampai-sampai pumpunan awan kelabu pun menggelayutinya, hari itu, tepat berkabungnya malaikat kecil yang kisahnya disabotase berkali-kali oleh ketidakadilan.


“Aku nggak terima, Pak. Ini semua ulah aparat desa yang udah maksa kita pasang pagar itu. Anakku mati juga karena mereka, Pak!” raung seorang pria sambil menahan kegetiran dari sanubarinya. Matanya memerah hingga tubuhnya pun turut bergetar hebat. Bara murka begitu terpancar dari dalam jiwanya. Hati siapa yang tak akan merana jika buah hatinya meregang nyawa. Ditambah lagi dirinya takbisa mencari sejumput rezeki dari laut—arena pertarungan nasib sekaligus takdir para nelayan—akibat pagar laut yang misterius.


“Sabar, Li. Kita bisa apa? Rakyat kecil kayak kita, mana bisa nuntut mereka? Lagian, kamu juga ikut bantuin pas pasang pagar laut itu juga, kan, Li?” tanya pria paruh baya yang badannya masih tampak atletis itu dengan nada tendensius. Seolah hendak menyorongkan lawan bicaranya itu pada ceruk salah; tubir neraka yang jauh lebih pedih yakni dirinya sendirilah yang menggali kubur anaknya sendiri.


“Maksud Bapak apa? Kita saat itu, kan, terdesak, Pak! Bapak tau sendiri, hasil tangkapan kita waktu itu lagi sedikit. Aku juga butuh untuk anakku sekolah, Pak. Bapak juga, kan, tahu kalau anakku, cucu Bapak itu lagi sakit.” Usai menuntaskan kalimatnya, Ali, pria yang dadanya tergerus dengan kebiadaban pagar laut bin ketidakadilan takdir itu tercenung. Wafat kata. Hari itu sebenarnya bukan hanya dirinya yang merana, tetapi para pelayat yang iba pada nasib tragis anaknya pun demikian.


Konon, para tamu pun bercicitcuit di sela-sela rumah sempit kepunyaan Ali itu. Di sana mereka menelurkan banyak kisah reka-an yang cenderung menduga-duga bin mengada-ada. “Kayaknya anaknya si Ali jadi tumbal pagar laut, deh.”


Suara lain tak kalah sumbang. “Iya. Si Ali, kan, ikutan masang pagar laut juga, kan? Duh, takut, deh! Entar anak-anak yang bapaknya ikutan masang itu malah jadi korban juga lagi.”


Desau yang mengganjil itu tampak merisaukan batin Ali. Mukanya seketika merah, tatapannya nanar, serupa menyimpan bara dalam sekam. Agaknya murka sekaligus kecewa telah menyulut api dalam dadanya. Anakku tidak bersalah! Ini salah mereka, Pejabat Laknat! Gemuruh dalam dada Ali begitu kencang hingga tangannya mengepal kuat seraya menahan tubuhnya yang turut bergetar.


***


Persis. Tujuh hari setelah jasad buah hati Ali disemayamkan. Berembus kabar yang lebih mencengangkan. Kabar ini lebih menakutkan bagi warga, dibanding pagar laut yang membuat mereka takbisa melaut lagi. Kabar yang diam-diam menggerayangi pintu dan jendela mereka yang turut andil dalam pemasangan pagar laut itu—kembang amben seketika menjamah badan-badan warga yang terlibat dalam pemasangan pagar laut.


“Pak! Ini, kok, bisa? Tukang sama mandor yang aku tugasin waktu itu rata-rata sakit, Pak. Barengan sakitnya. Mereka semua nggak bisa bangun dari tempat tidur. Tapi, dibawa ke dokter, katanya nggak sakit apa-apa, Pak!” seru seorang warga yang langsung masuk ke rumah Ali dan bapaknya tanpa permisi.


“Kamu ini, kayak orang kesetanan aja. Nyelonong masuk nggak pake salam lagi,” sergah bapaknya Ali yang perlahan melepas peci hitamnya dan duduk di kursi kayu di depan pintu.


Gimana saya bisa tenang, Pak, gawat ini. Bisa-bisa semua malah jadi korban. Termasuk saya, Bapak, dan Ali,” sahutnya kembali. Tak peduli dengan kuyup yang telah melimburi pakaiannya. Lelaki yang datang dengan tergesa itu justru beralih menawarkan ketakutan pada si Bapak dan Ali.


Namun, tanpa sepengetahuan si tamu dan Bapak, Ali justru menahan pingkal-nya di balik bilik kecil yang pintunya bersirobok dengan lemari plastik dan kasur tipisnya.


“Mam-pus!” gumam Ali dengan nada selirih mungkin, bahkan hanya terbaca gerak bibir yang merutuki situasi banal di depan kamarnya itu. Ditambah lagi dengan seringai yang begitu puas, seolah telah menuntaskan rasa laparnya. Hasrat yang telah dikoyak oleh tiang-tiang yang terpancang di lautan lepas.


Agaknya Ali hendak memberi pelajaran pada dunia, kalau siapa saja yang berurusan dengan pagar laut itu akan kena bala musibah, seperti dirinya. Pria itu tidak melakukan tindakan keji dengan menjadi salah satu tukang yang memasang pagar laut. Ali hanyalah segelintir manusia yang berharap dengan celah mendapatkan uang; anaknya bakal bisa dibawa berobat dan tak berujung pada kematian.


“Semua harus paham, betapa sakitnya diriku dan anakku dihina!” dersik suara Ali penuh amarah, tetapi tertahan di balik daun pintu. Dirinya masih menanti pembicaraan apa selanjutnya yang akan diutarakan oleh si tamu pada bapaknya.


“Kamu udah kasih tahu bos tentang kejadian ini di kampung kita?” tanya  bapaknya Ali setelah terdiam beberapa saat. Pria yang hampir seluruh kepalanya sudah dipenuhi uban—tanda waktu yang takbisa diulang—itu agaknya baru menemukan ide cemerlang. Seolah para borjuis yang telah menggelontorkan dana dan menyuapi mereka dengan sejumput angka-angka di atas kertas itu akan berani mengambil risiko; bertanggung jawab dengan membiayai para nelayan yang sakit.


“Memangnya mereka mau bantu kita, Pak?” Si tamu malah balik bertanya dengan suaranya yang penuh keraguan bin kebimbangan.


***


Keesokan harinya kampung nelayan yang terlibat dalam pemasangan pagar laut itu justru masuk dalam berita layar kaca. Bapak dan Ali melihat secara langsung dari tivi di rumah. Tampak si tamu yang datang kemarin ke rumah mereka sudah berdiri memunggungi laut sekaligus bambu-bambu yang terpancang di belakangnya.


Loh, Pak, ngapain dia?” tanya Ali begitu penasaran.


“Shut! Tenang dulu,” perintah Bapak. Namun, hatinya mungkin telah tersauk dengan kejadian selanjutnya yang akan diutarakan oleh si tamu. Keduanya telah disusupi angin penasaran yang amat kencang.


“Kami dijadikan tumbal! Ini pasti proyek setan! Mereka jadiin kami tumbal. Kalau para pejabat yang udah nyuruh kami nggak datang dan bantu ngobatin seluruh warga di sini, saya akan bongkar siapa dalang sebenarnya.”


Kalimatnya benar-benar mantap, tanpa ragu. Membuat kedua pasang mata yang menontonnya saling bertemu, dari pandangan itu seakan menghantarkan suara yang mencengangkan, “Kita berhasil!”


***


Benar saja. Setelah kesaksian yang disiarkan melalui berita nasional secara langsung itu mengudara. Tak berselang lama, malamnya, seorang pria dengan tampilan parlente bersama pria serbahitam dan cincin berbatu besar di jemarinya tiba di kampung nelayan.


“Coba lihat, Mbah. Siapa yang mau ngerjain kita?” Keduanya berdiri di tubir pantai ditemani si tamu yang beberapa hari lalu mampir di rumah Ali itu. Agaknya dialah yang menyambut kedua pengunjung nyentrik di kampung nelayan itu.


Namun, ketika si pria serbahitam yang dipanggil Mbah itu menutup mata sambil kedua tangannya menjura di depan dada. Dalam penglihatannya muncul seorang wanita yang amat anggun nan elok. Berpenampilan bak putri kerajaan lengkap dengan beberapa bunga kantil dan melati tersemat di kepalanya. “Kamu sudah tahu tugasmu, kan? Bunga-bunga ini harus sampai pada orang yang bersalah.”


Sendiko dawuh, Nyi,” balasnya dengan mata yang masih terpejam.


Gimana, Mbah?”


Nggak bisa, kita harus pulang dulu. Anterin aku ke pejabat-pejabat ini.” Tangan si Mbah menunjuk-nunjuk ke arah pagar laut yang membisu di sana.


Anehnya, seminggu kemudian Kementerian Kelautan justru merilis berita yang menghebohkan. Yakni telah berhasil membongkar kasus pagar laut dan mendapatkan beberapa pejabat yang menjadi tersangka. Namun, semua pejabat takbisa diperiksa lebih lanjut dikarenakan sakit dan hanya bisa terbaring di atas ranjang. Tampaknya kembang amben telah menunjukkan keadilannya, walau dengan cara yang banal.


Ali dan Bapak tersenyum puas melihat berita tersebut tersiar di layar kaca.