Thursday, March 13, 2025

Cerpen Lomba | Gerardus Marcel | Tak Berjejak

Cerpen Gerardus Marcel 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  


Langit senja memancarkan warna keemasan, sementara angin sore berbisik pelan di antara pepohonan rindang. Sayup-sayup debur ombak terdengar memecah keheningan. Tak jauh dari situ ada pemukiman penduduk yang berjumlah kurang lebih 20 KK. Desa ini diberi nama Desa Njebur. Rumahnya masih terlihat sangat sederhana dengan berhiaskan anyaman bambu dan jerami. Cahaya lampu malam yang remang-remang menghiasi malam di kala bulan bersembunyi di balik awan. Pada salah satu rumah, aku duduk bersila dengan beralaskan tikar. Berbincang-bincang dengan salah satu teman, Karno namanya, sembari meminum secangkir kopi. Aku dan Karno salah satu-satunya pemuda desa. Mayoritas dihuni oleh usia kanak-kanak dan dewasa serta lanjut.  Kesehariannya penjual ikan segar di pasar. Setiap hari dia membeli ikan dari nelayan dengan harga murah dan kemudian menjualnya dengan harga mahal. Malam ini kami berbincang seputar kegiatan besok, “Eh No, besok kamu mau ngapain?”, tanya aku. “Ya berkegiatan seperti biasa. Kamu mau ikut ke Pantai ujung timur, di sana aku denger-denger lagi banyak tangkapan ikan”, jawab Karno. “Serius No, ntar kamu bohong kek kemarin”, jawab aku dengan penuh curiga. “Seriusan lah, ngapain aku bohong lagi hehehe”, jawabnya dengan ketawa. “Okelah kalo gitu, gass”, jawab aku dengan menepuk punggung Karno. Perbincangan kami terus berlanjut hingga suasana malam mulai mencekam. Tak ada satu pun kendaraan yang melintas.Tiba-tiba jam sudah menunjukkan pukul 12 tepat. Hembusan angin menusuk ke kulit dan peredaran darah, seakan memaksa untuk terjaga. Kami memutuskan untuk segera beranjak ke tempat tidur untuk beristirahat. Malam ini, cahaya rembulan tak malu lagi menampakkan senyumnya.

Di ufuk timur, cahaya kemerahan bercampur warna jingga kekuningan memancar, menyapa pohon-pohon dan warga desa pun memulai aktivitas. Hari ini, aku dan Karno menuju pantai ujung timur dengan menaiki sepeda secara beriringan. Selama perjalanan, udara segar menusuk hidung dan satu persatu wajah gembira warga menyapa. Dengan warga mulai menyibukkan diri dengan aktivitasnya masing-masing seperti memberi makan ikan di tambak, melaut, dan lain-lain. Perjalanan yang kami tempuh masih terasa jauh dan keringat mulai mengucur. Saat melihat di pinggir jalan ada sebuah kedai, kami melipir sebentar untuk menyeka keringat dan beristirahat. Ketika di kedai, kami tak sengaja ketemu dengan Pak Lurah, Sukirno namanya. Beliau nampak memegang sepuntung rokok dan memesan secangkir kopi hitam tanpa gula. Kami pun tak segan duduk di sebelahnya. “Lho masih di sini Pak?”, tanya aku. “Iya mas, masih  ngopi”, jawab Pak Lurah sambil ketawa. “Ooo gitu to Pak”, jawab Karno sambil merilik aku dan menyenggol pundak. Tanpa sengaja menyenggol cangkir kopi yang dibawa Pak Lurah. “Aduh, maaf Pak, gak sengaja”, sahut Karno. Dengan nada marah, Pak lurah berkata “gimana si mas, saya baru nyeruput 1 sampai 2 teguk lho, tiba-tiba kalian datang malah menghancurkan moodku”, katanya sambil meninggalkan kedai itu dengan bersunggut-sunggut. “Yang sabar ya mas, Pak Sukirno emang begitu orangnya, emosian terhadap hal-hal yang kecil”, sahut Bu Penjaga Kedai disaat suasana masih tegang. Kami hanya terdiam dan tersenyum tipis. “Mau pesan apa mas-mas ini?”, tambahnya. “Kami pesan kopi 2, gorengan 1 porsi ya Bu”, jawab aku yang masih syok. “Oke mas, tunggu bentar ya”, jawab Ibu Penjaga Kedai dengan tersenyum ramah. Sepuluh menit berlalu, pesanan kami diantarkan oleh ibunya dan kami menikmati kopi dan gorengan saat masih hangat-hangatnya rasanya nikmat sekali. 

Setelah menghabiskan gorengan dan kopi. Kami segera membayar lalu bergegas melanjutkan perjalanan, pergi meninggalkan kedai itu. Di perjalanan, kami berdua terus berpikir tentang kejadian tadi. Tak habis pikir, sifat Pak Lurah yang baru kepilih kekgitu. Tapi kami tak memusingkan tentang hal itu, yang paling utama kami sudah minta maaf. Tak terasa, perjalanan yang kami tempuh sekitar 1 jam berlalu dan sebentar lagi kami sampai pantai ujung timur. Dan benar saja, keramaian orang mulai terlihat dari kejauhan beserta perahu-perahu nelayan yang terparkir dengan rapi. Tapi nampak ada yang aneh dari pantai ujung timur itu. “Eh, Karno kok kayak ada hal yang tak biasa ya”, ucapku dengan memperhatikan lingkungan sekitar, sembari mendekati para nelayan itu. “Oiya bener ya, tapi apa yang aneh ya”, jawab Karno sambil berpikir. Selama saling memikirkan hal itu, tiba-tiba ada bapak-bapak yang manggil. “Mas, sini”. Seketika kami terkejut dan segera menghampiri bapak-bapak yang memanggil kami. “Ada apa Pak”, jawab Karno. “Ini lho katanya kalian pesen ikan”, jawab bapak-bapak itu. “Oiya Pak, lupa hehehe”, jawabku dengan tersenyum. “Silakan dipilih-pilih”, ucap bapak itu sambil memperlihatkan ikan hasil tangkapannya. Kami mulai memilih-milih ikan yang akan dijual kembali. Dengan hati-hati memperhatikan satu persatu ikan yang masih bagus dan terlihat segar. “Pak, kami mau 1 karung”, ucap Karno. “Waduh mas, gaada segitu”, jawab bapak itu. “Kenapa Pak? bukannya setiap hasil melaut sekitar 5 goni ya”, timpal aku dengan nada kecewa. “Gini lho mas, kami akhir-akhir ini kesulitan mencari ikan di laut entah kenapa”. ucapnya. “Aduh, sayang sekali Pak, padahal kami hendak membeli dengan harga tinggi”, ucap Karno. “Kenapa kok bisa begitu Pak?” tanyaku dengan rasa penasaran. “Intinya pas kami udah di tengah laut, kami mulai menjala di kiri kanan perahu, tiba-tiba ikannya hilang secara misterius”, timpal bapak itu. Percapakan itu mengakhiri perjumpaan kami dengan bapak itu. Kami segera pulang ke pasar untuk menjual ikan-ikan yang sudah dibeli walau tak seberapa. Hari berganti hari, siang ini matahari sangat terik hingga menembus ubun-ubunku. Warga masih beraktivitas seperti biasa. Aku terduduk di pasar memandangi orang yang berlalu-lalang juga sesekali melayani pembeli. Entah kenapa aku tiba-tiba diam terpaku. Tak ada angin tak ada hujan, padangan mataku gelap, tak ada satu cahaya pun. Wajah yang terakhir kulihat adalah wajah Karno yang panik meneriakiku. Orang-orang di pasar berduyun-duyun menghampiri sumber suara. Di dalam ketidaksadaran itu, aku kembali ke suatu tempat yang terbilang cukup gelap. Ada suara yang kencang sekali memanggilku. Suaranya seperti Karno tapi mengema dan memekikkan telingga. Di tempat yang kulihat tidak ada seorang pun di sana, hanya aku seorang diri. Yang kulihat hanya hamparan kosong, tak beraturan, dan dipenuhi kabut tebal. Dua jam aku mengalami ketidaksadaran, aku siuman di kamar rumah sakit. Banyak orang yang mengelilinggiku dan menayakan perihal yang terjadi, tapi anehnya tak ada satu pun yang kuingat dari kejadian itu. Seolah ingatanku dihapus begitu saja. Keesokan harinya, aku mulai beraktivitas seperti biasa. Tapi di pagi itu, aku hendak menemui Pak Lurah untuk meminta tanda tangan surat-menyurat di kelurahan. Aku datang jam 09.00 pagi, nampak suasana kelurahan cukup ramai karena awal hari. Aku mengurus surat-menyurat dan memintakan tanda tangan ke Pak Lurah. Saat hendak memasuki ruangan Pak Lurah, ada yang aneh dan aku ngeh. Ternyata Pak Lurah gaada di ruangannya saat itu. Merasa panik dan ada yang tidak beres, aku menanyakan ke perangkat desa itu. “Buk, Pak Lurah kemana ya”?, tanyaku. “Tadi pagi ada lho mas di ruangannya”, timpal perangkat desa. Melihat itu, semua keadaan kelurahan kisruh. Segenap perangkat dan warga mulai mengumumkan ke masjid-masjid dan bergotong royong mencari Pak Lurah. Usaha sudah dilakukan dan semua warga serta polisi sudah dikerahkan namun hasilnya tetap nihil. Disaat itulah, warga mulai pesimis dan kehilangan harapan. Dua hari berlalu semenjak kejadian itu, ada suasana yang berbeda dari desa itu. Suasana desa nampak tidak seperti biasanya. Sepi, menakutkan, dan tak ada aktivitas apapun. Tidak ada kulihat orang-orang yang berlalu lalang di depan rumahku. Bahkan ayam pun tidak berkokok di pagi itu. Aku dengan penuh heran mencoba berjalan menyusuri desa. Tak seorangpun yang kutemui selama di jalan. Sampai akhirnya aku sampai di pantai ujung timur. Di sana aku masih merasakan udara segar, hanya saja tak ada sinar matahari yang bersinar. Aku berdiri mematung ke arah pantai dan memperhatikan dengan saksama. Nampak dari air itu, ada sebuah gelombang raksasa dan dari situ muncul seonggok tiang/kayu yang menjulang tinggi. Dari situ muncul sesosok mahkluk yang menyerupai duyung dan  suara yang dikeluarkan menggema. Saking kencangnya, pohon kelapa di sekelilingku pada layu tak kuat menahan suara dengan frekuensi sebesar itu. Sosok itu memperhatikanku terus dari jauh. Aku mulai panik dan hendak melarikan diri. Sayangnya tubuhku nge-freeze .Suaraku tiba-tiba hilang. Langkah demi langkah, sosok itu datang mendekat dan menjulurkan lidahnya yang panjang ke tubuhku. Aku mencoba memejamkan mata dan berdoa kepada Tuhan berharap sosok itu pergi. Di kupingku, sosok itu berbisik “sudah tau”. Seketika itu juga rasa merinding tidak dapat ditahan lagi. Tanpa disadari setelah mendapat bisikan itu, aku pingsan tak sadarkan diri. Setelah melewati masa pingsan, aku terbangun di tempat yang berbeda yaitu di rumahku. Dalam renunganku, aku berpikir hilangnya orang-orang apa karena tidak betah tinggal di desa ini sehingga memutuskan pergi atau karena makhluk itu. Semua masih berkecamuk di pikiranku  dan sampai aku belum mendapatkan jawaban hingga sekarang.