Puisi Abdul Mukhlis
Kemarau Musim Lalu
Kemarau musim lalu, burung dara menepi.
Membaca baris demi baris sajak di pelupuk matamu sore itu.
Kau menulis tentang kerinduan pada kasih, pada bumi, pada malam, dan pada gerimis yang makin meronta
Lewat terowongan nada kaul-kaul meluncur deras menuju ruang sunyi
Kisah kasih, cerita bumi, tarian jari, dan sapuan gerimis:
menyatu menjadi ricik symphoni pelipur liris
Tapi aku tak tahu, sebab apa kau tak bicara tentang kemarau?
Mungkinkah kau marah pada kisah-kisah musim kemarau?
Pada panas, pada angin, dan pada bunga yang berguguran di musim itu?
Rupanya aku tak perlu tahu alasan-alasanmu
Kuharap jangan kau dewakan gerimis dan hujan terlalu berlebihan
sebab kemarau juga bagian dari hidupmu
Batang, Permulaan 2024
Hujan di Musim Kemarau
Ricik air hujan seolah menjadi penolongmu waktu kemarau panjang.
hujaman rintik yang gemuruh menjadikan tubuhmu hilang:
bersama angin dan angan,
segenggam harap menjemput yang tercabut dari tanah.
____Sudahlah, kemarau ini milikmu, wahai Batu.
Anganmu tak usah jauh-jauh melayang.
Apa kau ingat kala bulan musim hujan tiba?
Air-air tanah kau kuras dengan retas.
Air-air keruh kau jadikan dia musuh.
Dan kini, ketika hujan pada kemarau panjang;
apakah kau menjadi berubah?
Batang, Permulaan 2024
Malam yang Pucat
Ada pesan tersirat pada semburat purnama.
Langit pucat tiba-tiba menjamah bumi yang tak diterangi; gelap jadinya.
Ada pesan yang ingin disampaikan malam kepada angin.
Ia tak mau lari dari kejaran rindu yang menggebu-gebu;
membuat bulu tengkukku seketika merinding.
Ada kata yang tak jadi diucap Rama kepada Sinta sewaktu berdua di taman Ayodya,
mereka saling diam;
menatap bulatnya purnama malam ini.
Batang, Permulaan 2024
Merakit Makna
Kata tak ingin dijamah dengan kepalsuan
Tak ingin pula dicinta dengan keraguan
Seperti halnya kasih Rama kepada Sinta:
tak ada celah untuk dipisahkan
Lewat kata, rindu yang tersimpan rapat mampu terungkap
Dengan kata, cinta yang ringan menjadi berat
Pada kata, kutitipkan hangat kasih sebagai harap
Moga-moga kauterima cumbu rayuku dalam maknamu.
Batang, Permulaan 2024
Luruhnya Kenangan oleh Waktu
Pelan-pelan pedang waktu akan memamahmu
Dengan hunusan runcing yang memagut
Membelah bayang-bayang benak,
Pun mengoyak kerak kenangan.
Lantas dicabutnya perlahan-lahan pedang itu dari cengkeraman tanganmu.
Butir-butir cerita mengalir deras lewat ujung bibirmu yang bergetar,
memancar lalu memudar ke tepian sepi.
Pelan-pelan pedang waktu akan menjemputmu
Dengan iring-iringan angka pada almanak,
Dengan tulisan yang terpajang pada dinding,
Dan dengan apa saja yang pernah kau pasrahkan pada waktu.
Lalu kau menerima semua tanpa menyalahkan bahwa ini akhirmu?
Batang, Medio 2024
______
Penulis
Abdul Mukhlis lahir di Batang. Mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di Tadris Bahasa Indonesia UIN Gus Dur Pekalongan. Sedang berusaha menghidupkan aksara lewat Klub Baca Pijar Pekalongan. Puisi, cerpen, dan esainya dimuat di majalah Papirus Solo, Radar Pekalongan, rahmatan.id, rahma.id, nuonline, omong-omong.com, kotomono.co, kumcer Kisah Putih Abu-Abu (IDM Publishing), antologi puisi Gelabah (Bukutujju Solo), dan media lain sejenisnya.