Esai Mela Sri Ayuni
“Demi asr (masa/waktu)! Sesungguhnya manusia dalam kerugian. Kecuali mereka yang beriman…” (Al-Qur’an Surah Al-Asr).
“Dunia itu buihnya, sedangkan akhirat itu lautnya.” (Jalaluddin Rumi, Matsnawi)
Liem Oei Ping, kelahiran 29 April 1941 di Sulawesi Tengah, berparas putih, sipit, dan berambut cepak. Di usianya yang terhitung berkepala delapan, masih tetap enerjik. Semasa di kampung halamannya, ia akrab disapa ‘Iping’, namun sekarang ia lebih dikenal dengan sebutan Pak Wiping. Laki-laki keturunan Tionghoa ini hijrah ke Kota Serang, Banten, pada era 1960-an. Tentu, ini tidak bisa lagi disebut perantau pemula. Pak Wiping memilih Kota Serang sebagai tempat pelabuhan terlamanya bukan atas dasar pilihan, melainkan karena jodoh. Di mana tempat yang bisa memberi rezeki, di situ ia akan berlabuh. Setiap yang bukan pilihan berarti itu jodoh.
Sore itu, Kota Serang cukup hangat, sekitar 32 derajat Celsius. Saya memenuhi undangan khusus dari Sastrawan Banten, yaitu Sulaiman Djaya atau lebih akrab disapa Kang Sudja, yang tak pelak lagi merupakan pertemuan awal saya dengan beliau, sekaligus perjumpaan awal saya dengan Pak Wiping dan persentuhan pertama saya pula menginjakkan kaki ke Toko Krakatau Royal. Dalam undangannya, saya diajak untuk menulis dan berdiskusi bersama Liem Oei Ping. Tempatnya di Lantai 4 Toko Krakatau Royal Serang. Saya datang sesuai jam undangan, yaitu pukul 4 sore. Namun begitu, saya tidak bisa menemui Pak Wiping secepat itu. Saya menunggu sekitar 40 menit untuk bisa berjumpa. Sebelumnya, saya bertanya kepada karyawan toko, ia mengarahkan saya untuk ke kantin toko. Saya paham niatnya, yaitu agar saya tidak bosan menunggu. Di sana, saya disuguhi camilan dan minuman. “Beliau sudah menerima tamu. Tunggu sebentar, ya. Bapak sedang istirahat,” ujarnya. Selama saya duduk di kantin, mata saya culamitan, melirik ke kanan dan ke kiri area toko itu. Sedikitnya ada satu puisi yang saya baca dalam hati dan kotak koran “Koran ini bisa dibaca dan dibawa pulang.”
Tak lama setelahnya, kami (saya dan Kang Sudja) dipanggil untuk bertemu Pak Wiping. Diskusi pun dimulai yang dipandu langsung Kang Sudja. Dalam hati kecil saya bicara, “Ini bukan diskusi. Lebih tepatnya, saya belajar langsung bersama guru besar.” Sebagai pengantar, Kang Sudja membacakan sebuah puisi yang berjudul “Sang Waktu” yang ditulis pada tahun 2003 (kemungkinan besar di tahun segitu saya belum bisa bicara, haha).
Sang Waktu
Tidak ada istilah waktu sekarang
Ada juga waktu masa lalu
Ada juga waktu yang akan datang.
Waktu saat ini terus menghilang
Menghilang dari detakan detik
Menit, jam, hari dan seterusnya.
Sang waktu tidak ada tempat
Persinggahan. Tidak pernah capek
Dan tidak pernah tidur.
Sang waktu terus mengawal kita
Sejak lahir ke bumi
Sampai ke liang lahat!
Liem Oei Ping – Serang, Banten, Mei 2003
Puisi di atas dengan jelas secara frontal mengarahkan kepada waktu, yaitu waktu masa lalu dan waktu yang akan datang. Di sini, tidak membicarakan waktu saat ini, dikarenakan waktu saat ini sedang berjalan dan tentu untuk mengantarkan ke waktu yang akan datang. Secara tersirat, Pak Wiping menuntun si pembaca untuk menghargai waktu yang diberikan oleh Sang Pemilik Waktu. Mengisi kekosongan waktu untuk memenuhi berbagai kegiatan positif agar manusia layak disebut sebagai manusia ideal. Jelas, ini menjadi PR bagi orang-orang berpikir: bagaimana cara kita memperlakukan waktu dengan sebaik mungkin, atau malah sebaliknya (ingkar pada waktu).
Sebetulnya, waktu bisa menyelamatkan dan membinasakan manusia tergantung respons dari manusia itu sendiri. Jika kita melirik lagi pada bagian terakhir bait puisi di atas, penulis secara spiritual mengajak kita untuk memenuhi waktu dengan kegiatan positif, supaya ketika kita sampai ke liang lahat, kita sudah siap menjumpai Dia Sang Pemilik Waktu tanpa ragu sehingga kita mendapatkan balasan yang pantas atas apa yang sudah kita kerjakan sewaktu di dunia. Bersyukur apabila kita mendapatkan keselamatan akhirat.
Setelah membaca kembali bait terakhir ini, seketika saya ingat kalam dari Jalaluddin Rumi (pujangga besar sufi keturunan Persia), yakni “Dunia itu buihnya, sedangkan akhirat itu lautnya.” Kalau kita kaitkan dengan puisi itu, terkadang, justru kita lebih fokus kepada buihnya daripada lautnya. Melupakan akhirat sampai lupa tidak mempersiapkan bekal untuk kepulangan. Hingga menurut beberapa kisah, banyak yang sudah dipanggil ke pangkuan-Nya, tetapi banyak di antara mereka yang lebih memilih untuk kembali lagi ke dunia, hanya untuk sekadar bersujud lagi pada-Nya. Ini menunjukkan kalau bekal yang mereka bawa, kurang!
Sependek yang saya kenal, selain Pak Wiping pandai menulis karya seni sastra berjenis puisi, ia juga orang yang berkeyakinan teguh. Hal tersebut saya temui ketika melihat bagaimana cara ia menghargai dan memuliakan tamu. Perilaku seperti ini sejalan dengan amar Islam.
Tidak hanya berhenti pada seni, Pak Wiping pun bergerak di bidang ekonomi dan bisnis sejak tahun 1967. Mendirikan toko kelontong bernama Toko Krakatau, berdiri kokoh di Jalan Raya Sultan Ageng Tirtayasa, Royal Serang, Banten. Konon, nama toko ini terinspirasi dari Gunung Krakatau yang dahulu pernah meletus hebat. Ia berharap, tokonya pun seperti Gunung Krakatau, hebat dan banyak pembeli yang berdatangan. Toko itu dicampur oleh beberapa pakaian ternama dari brand yang sudah masyhur di pasaran, seperti Levi’s, Amco, dan Lea. Uniknya, toko ini tidak pernah libur walau ada hari-hari besar apa pun. Di saat toko lain tutup, pasti pelanggan akan menyerbu Toko Krakatau. Ini merupakan bagian dari strategi marketing Pak Wiping untuk meraup keuntungan lebih banyak. Namun tetap, pegawainya mendapatkan cuti libur, izin sakit, dan izin keperluan keluarga. Walau Pak Wiping perantau dari Indonesia Timur yang berbeda etnis dengan warga pribumi, namun ia tetap memberikan kesempatan kerja bagi kaum pribumi. Ia tidak memandang etnis. Terbukti ketika saya mengunjungi tokonya sore itu, karyawan toko didominasi oleh orang lokal, asli Serang. Sungguh, ia memiliki jiwa toleransi.
Saya hampir lima tahun bergelut dengan Kota Serang, mulai dari kuliah hingga mendapat mata pencaharian di kota ini. Sesekali saya menyusuri kawasan Royal untuk memenuhi kebutuhan ataupun sekadar window shopping. Dari pagi hingga sore, di sana masih dipadati pengunjung. Bahkan sesekali kemacetan menghampiri, kawasan ini bagian dari paru-paru ibu kota. Tak heran kalau macet. Justru, dengan padat penduduk ini akan memberikan nilai jual kepada pedagang.
Seiring berjalannya waktu, toko-toko di sekitar Toko Krakatau milik Pak Wiping mulai bermunculan. Mulai dari butik, marketplace, hingga mal besar. Otomatis menjadi kompetitor baru dan PR untuk Pak Wiping menyusun rencana supaya terus bisa menjaga eksistensi tokonya di tengah toko-toko baru. Minatnya terhadap dunia ekonomi dan bisnis sangat besar. Tidak hanya mendirikan toko, tetapi ia juga mendirikan Rumah Hutan Cidampit, Kecamatan Taktakan, Serang.
Rumah Hutan Cidampit yang sudah memiliki rating bintang 4,5 di Google ini menjadi salah satu tempat favorit. Gagasannya yang kreatif membuat tempat rekreasi yang ramah lingkungan di tengah kota. Untuk bisa sampai ke tempat ini, pengunjung harus berjalan kaki sejauh dua kilometer. Walau begitu, ini tidak membuat para pengunjung kapok untuk datang lagi. Tempat ini menawarkan beberapa fasilitas menarik seperti rumah kayu, ketahanan pangan, sungai, tempat penginapan, hingga perpustakaan kecil. Ajaibnya, tempat ini ramah di kantong, hanya cukup membayar parkir saja. Tak perlu bayar masuk lagi. Mantap! Kapan lagi ada tempat rekreasi alam yang peduli literasi? Ini memang ide dari pemilik, karena memang kecintaannya terhadap dunia literasi dan seni cukup tinggi. Selain itu, tidak hanya ada perpustakaan, tetapi di tugu-tugu tertentu disediakan puisi dari Pak Wiping. Selama dua puluh tiga tahun saya hidup, baru kali ini saya menemukan pecinta seni berkedok pelaku ekonomi.
______
Penulis
Mela Sri Ayuni, warga kelahiran Cikeusal. Pegiat Komunitas Menulis Pontang-Tirtayasa.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com