Cerpen Aryasuta
Aku masuk ke Kafe Astungkara dengan langkah pelan, seolah-olah setiap pijakan di trotoar berbatu kota Kediri membawaku ke sini. Kafe ini adalah sebuah ruang modern yang kecil, terletak di pojok jalan dengan jendela kaca besar yang memamerkan pemandangan kota. Dinding putih bersih dan interior minimalis menciptakan kontras yang menenangkan antara hiruk-pikuk dunia luar dan keheningan di dalam. Di balik kesederhanaan itu, ada keanggunan yang seolah mengundang setiap jiwa yang lelah untuk berhenti sejenak.
Aku memilih duduk di pojok ruangan, di mana cahaya alami yang menetes dari jendela besar menyinari mejaku. Laptopku terbuka, namun layarnya masih sunyi, seakan menunggu kata-kata yang tepat untuk mengisi kekosongan itu. Di dalam diriku, kegelisahan bercampur dengan keinginan mendalam untuk menemukan makna dalam setiap helaan napas—dan entah mengapa, semua itu selalu berputar pada sosok Rosa.
Aku pernah mencoba menulis banyak kalimat, tapi kata-kata selalu terhambat oleh keraguan dan keheningan batin. Suasana di sini bukanlah sepi, melainkan keheningan yang berbicara melalui gemerisik angin yang menyusup melalui celah pintu dan jendela. Di luar, suara kendaraan dan langkah kaki orang-orang yang terburu-buru tercampur dengan denting hujan yang mulai menyapa malam Kota Kediri.
Tiba-tiba, suara yang familier menyambutku. Dari balik meja, Om Bayu—pemilik kafe yang selalu tampak tenang dengan senyum sarkastisnya—berkata, “Kamu nulis cerpen eksistensialis atau sedang krisis eksistensi?”
Aku tersenyum tipis, merasakan ironi yang khas dari kata-katanya. “Nggak tahu. Mungkin keduanya, Om,” jawabku sambil menatap cangkir kopi yang baru disajikan ke meja.
Om Bayu, dengan gerakan lambatnya, menuangkan kopi ke cangkir porselen biru yang hampir selalu jadi saksi bisu kegelisahan dan keheninganku. “Kalau gitu, pastikan ceritamu punya tokoh yang sadar di mana dia berada—atau setidaknya mencoba,” ujarnya sambil mengangkat alis, seperti sedang memberi teka-teki halus.
Aku mengangguk, mencoba mencerna kata-katanya yang sederhana namun penuh makna. Di antara aroma kopi yang mulai tercium tajam, pikiranku melayang pada sosok Rosa. Di pojok ruangan yang agak redup, Rosa duduk dengan tenang. Ia tidak banyak bergerak; hanya sesekali mengalihkan pandangannya ke luar jendela besar, seakan menikmati permainan bayang-bayang yang tercipta oleh cahaya malam.
Aku selalu terpesona dengan kehadirannya. Rambutnya yang hitam pekat tertata rapi, dan pakaian yang dikenakannya—sesuatu yang klasik namun tak lekang oleh waktu—membuatnya tampak seperti potret yang diambil dari majalah Vogue. Namun, ada sesuatu yang membuatnya berbeda: kesunyian yang melingkupinya, seakan-akan dia menyimpan rahasia yang hanya bisa dipahami oleh hati yang terluka.
Entah mengapa, setiap kali mataku bertemu dengan matanya, hatiku bergetar dengan pertanyaan tanpa jawaban. Aku mulai membayangkan: apakah Rosa seorang penulis feminis progresif di Magdalene, atau mungkin seorang aktivis liberal yang sedang menyembunyikan identitasnya? Atau, mungkinkah dia hanyalah pantulan dari ilusi yang kerap menghantui pikiranku?
Saat aku tenggelam dalam renungan itu, tiba-tiba Rosa menutup laptopnya dengan perlahan dan menoleh ke arahku. Tatapannya singkat, tapi intens—seperti seberkas cahaya yang masuk ke kamar di tengah malam. Tanpa banyak basa-basi, ia mengirimkan senyum tipis, lalu kembali tenggelam dalam pikirannya. Aku merasakan sesuatu yang aneh—sebuah getar lembut yang merambat dari ujung jari hingga ke tempurung kepala.
Aku terdiam beberapa saat. Di dalam benakku, suara Om Bayu kembali terdengar, “Kalau kamu mau tahu, tanya saja langsung.” Kata-kata itu menggema di antara dentingan sendok dan halusnya alunan musik latar yang mengisi ruang kafe. Aku merasa seperti berada di ambang keputusan penting—antara mengungkapkan kegelisahan yang selama ini tersembunyi atau membiarkan semuanya tetap sebagai misteri.
Dengan langkah perlahan, aku bangkit dari kursi. Langkahku terasa berat dan canggung, seakan-akan aku adalah model amatir yang sedang berjalan di atas runaway "Paris Fashion Week". Setiap gerakan tubuhku terasa seperti tarian tanpa irama, namun aku tahu, ini adalah langkah untuk menemukan jawaban.
Aku mendekati meja Rosa dengan perasaan campur aduk antara gugup dan penasaran. Di saat itu, waktu seolah melambat. Setiap detik terasa seperti kisah yang sedang ditulis ulang—kisah tentang pertemuan, keraguan, dan keinginan untuk memahami sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata.
“Kamu sering datang ke sini, ya,” ujar Rosa dengan nada yang datar namun mengandung tanya. Suaranya tidak berlebihan; ia hanya berkata begitu, namun setiap kecapan mulutnya membawa nuansa kesendirian dan keinginan untuk dimengerti.
Aku menghela napas panjang sebelum menjawab. “Kamu juga. Aku selalu merasa kamu seperti intel yang sedang menyamar,” kataku pelan, seolah-olah setiap kata adalah pengakuan dari rahasia batinku.
Rosa tersenyum samar, seolah-olah ia mengerti maksudku tanpa perlu penjelasan lebih lanjut. “Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan?” Matanya menatap tajam namun penuh kelembutan.
Aku menatap ke arah cangkir kopi yang perlahan mendingin, merasakan betapa waktu berjalan tanpa ampun. “Aku penasaran soal kamu. Kamu bukan ilusi, kan? Kamu tahu, aku sebenarnya ada spektrum skizofrenia,” jawabku dengan suara hampir tenggelam oleh rintik hujan yang mulai mengetuk jendela besar di belakang kami.
Rosa diam sejenak, kemudian berkata, “Kamu tahu, kadang seseorang hanya eksis dalam imajinasi orang lain. Mungkin kamu melihat sesuatu yang sebenarnya hanya ada dalam pikiranmu.”
Kata-kata itu membuatku terdiam. Aku mencoba mencari-cari arti di baliknya, tetapi seolah-olah dunia di sekitar kami berubah menjadi kanvas yang penuh dengan lukisan abstrak.
Suasana kafe yang minimalis tiba-tiba terasa lebih hidup. Aku merasakan getaran halus dari lantai ubin yang dingin, aroma kopi yang melayang, dan detak jantung yang mulai berdetak lebih cepat. Di antara keheningan itu, aku mendapati diriku tersedu-sedu, bukan karena kesedihan yang mendalam, tapi karena kekaguman pada keindahan momen yang begitu rapuh.
Di tengah percakapan, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu masuk. Aku memalingkan pandanganku dan melihat seorang barista dengan tatapan tenang menyajikan minuman ke meja lain. Semua detail kecil—suara mesin kopi yang berdengung, refleksi lampu neon pada jendela kaca besar, bahkan cara gerak tangan Om Bayu yang lambat—menjadi saksi bisu dari pertemuan yang tak terduga ini.
Rosa kemudian berkata, “Kamu percaya takdir?”
Aku mengangguk pelan. “Aku percaya, atau mungkin aku terlalu religius untuk tidak percaya,” jawabku, mencoba menyesuaikan nada suara yang mulai bergetar karena emosi.
“Maka, menurutmu, apakah aku hanya hasil dari skizofreniamu?” tanyanya sambil menatap keluar jendela, seolah mencari jawaban di antara gemerlap lampu Kota Kediri yang mulai menyala satu per satu.
Aku tersenyum getir. “Aku ingin percaya kalau kamu mungkin hanya ilusi, setidaknya aku jadi tidak terlalu malu sekarang.”
Rosa mengangguk perlahan. “Kadang, aku merasa dunia ini membuat kita bertemu dengan orang yang terlalu sempurna, sampai kita sendiri merasa itu hanyalah ilusi aja.”
Aku terdiam. Aku tidak tahu apakah aku mendengar kebenaran atau hanya seuntai kebetulan yang menyatu dengan imajinasi.
Setelah beberapa saat, Rosa berdiri. Langkahnya ringan, hampir seperti akan menghilang di antara bayang-bayang interior kafe yang minimalis. “Sampai jumpa,” ucapnya dengan suara lirih, namun penuh kepastian.
Aku terdiam, mencoba menyimpan setiap detil dari pertemuan singkat itu. Apakah aku akan benar-benar melihatnya lagi, atau hanya dalam fragmen ingatan yang perlahan pudar?
Aku kembali ke mejaku, mendapati layar laptop yang dulu terasa kosong kini terisi dengan satu kalimat yang kutuliskan dengan jari gemetar:
"Seseorang datang, duduk di hadapanku, lalu menghilang—meninggalkan jejak yang hanya bisa kuduga dalam keheningan pikiranku. Aku ingin percaya dia adalah takdir yang dunai kirimkan, bukan sekadar ilusi yang tercipta dari rasa kesepianku."
Om Bayu muncul di dekatku, membawa secangkir kopi baru. “Tamu aneh, ya?” katanya sambil mengamati dengan tatapan tajam yang sudah menjadi ciri khasnya.
Aku menatapnya, mencoba membaca maksud di balik kata-katanya. “Mungkin aku, atau mungkin dia… bisa jadi dua-duanya, Om,” jawabku dengan nada setengah bercanda, setengah serius.
Di luar, hujan semakin deras, menambah irama alami pada malam yang kian larut. Aku merasa seolah-olah setiap tetes air yang jatuh di kaca besar itu menciptakan simfoni sunyi, menyuarakan kerinduan dan harapan yang tak terungkap. Kota Kediri tampak seperti sebuah dunia lain, penuh dengan ilusi yang menunggu untuk terungkap takdirnya.
Aku menutup laptop, merasakan perasaan campur aduk antara kelegaan dan kerinduan yang mendalam. Setiap pertemuan, sekecil apa pun, telah menggoreskan sesuatu di dalam diriku. Aku berjalan keluar dari Kafe Astungkara dengan langkah yang pelan namun pasti, membawa kisah yang baru saja terukir di antara kerinduan dan kenyataan.
Saat aku melangkah di trotoar, di bawah pancaran lampu jalan yang temaram, bayanganku bergabung dengan bayangan kota. Aku tak lagi merasa sendiri. Meskipun Rosa telah menghilang, percakapannya, senyum tipisnya, dan perkataan anehnya tetap menggema di dalam hatiku—mengajakku untuk terus mencari makna dalam setiap detik kehidupan.
Aku tahu, di balik keheningan dan kesendirian, selalu ada potensi untuk menemukan diri sendiri. Dan mungkin, suatu hari nanti, aku akan menulis kembali tentang pertemuan ini, bukan hanya sebagai cerita tentang seorang wanita misterius, tapi sebagai refleksi dari setiap jiwa yang berusaha bertahan di antara bayangan dan cahaya.
______
Penulis
Aryasuta, karyawan swasta di Kota Kediri, kembali menyelami dunia kepenulisan setelah sekian lama tersesat dalam rapat tanpa akhir dan spreadsheet yang misterius. Pernah menerbitkan buku saat kuliah dan menulis untuk beberapa media, ia sempat berhenti menulis demi mengejar hal-hal yang katanya "lebih realistis"—hingga sadar bahwa realitas butuh sedikit bumbu fiksi. Kini, dengan semangat baru, ia berkomitmen menulis satu plot setiap hari, meski beberapa di antaranya hanya tercatat di notes ponsel sebelum tidur. Instagram: @tulisajaduluya