Tuesday, June 17, 2025

Proses Kreatif | Tere Liye, I love You!

Oleh Encep Abdullah


Saya pernah membaca buku puisi Tere Liye. Saya mengelus dada, “Begini amat, ya?” Maksud saya, kok beliau tidak malu menerbitkan puisi—yang mohon maaf—menurut saya kualitasnya sangat rendah, seolah-olah dipaksakan untuk dibukukan demi menghasilkan keuntungan. Saya yakin, banyak yang sepemahaman dengan saya juga akan berpikir demikian. Pertanyaannya, apakah beliau sadar atau tidak dengan kemampuannya menulis puisi? Atau memang dari awal tujuannya murni untuk mencari fulus? Bahkan ada satu buku berisi kutipan-kutipan beliau yang menurut saya, “kok terkesan memaksakan diri sekali untuk dijadikan buku!”


Yang menarik, anak-anak saya di sekolah hampir semuanya memiliki buku-buku Tere Liye. Saya pun, tanpa sadar, ikut "dicekoki" buku-buku beliau. Saya selalu bertanya pada mereka, “Kenapa kalian membaca buku Tere Liye?” Jawaban mereka beragam, “Seru, Pak”, “Bahasanya mengalir dan enak dibaca”, “Berasa diajak bertualang, Pak”. Saat saya sodorkan buku cerpen dan novel yang sedikit lebih berat, mereka mulai kelelahan. Tapi, bagi yang sudah membaca banyak karya Tere Liye dan juga penulis populer lainnya, mereka lebih mudah beradaptasi dengan bacaan sastra yang lebih rumit.


Walaupun saya sendiri belum pernah membeli apalagi membaca tuntas buku-buku Tere Liye, saya tidak pernah melarang siswa untuk membacanya. Itu uang mereka, pilihan mereka. Dan, hebatnya, mereka membeli buku asli, bukan bajakan. Ini patut diapresiasi. Buku-buku Tere Liye harganya relatif mahal dan tidak beredar di lapak obral lima ribuan seperti beberapa buku yang konon disebut sebagai “karya sastra adiluhung.” Ini sebuah ironi yang patut kita tertawakan bersama. Buku Tere Liye yang dianggap “murahan” justru berdiri gagah dengan harga stabil, bahkan terus dicetak ulang. Sementara itu, beberapa buku sastra dijual seperti barang rongsokan, bahkan ada yang dijual tiga ribu rupiah. Tapi memang, ada juga buku sastra seperti karya Pramoedya dan Buya Hamka yang tetap menjaga harga dan martabatnya.


Saya pribadi tidak tertarik membaca Tere Liye, tetapi saya sangat berterima kasih kepada beliau. Beberapa siswa saya mulai tertarik membaca karena “tertular” virus buku Tere Liye. Di sekolah saya, buku-buku beliau bertebaran. Satu siswa meminjamkan ke siswa lain. Bahkan, satu judul bisa dibaca bergantian oleh siswa satu sekolah. Ini bukan sesuatu yang buruk, justru sangat baik. Kalau saya larang mereka membaca buku yang mereka sukai, itu akan berdampak buruk terhadap psikologis mereka. Sebagai pendidik, tugas saya hanya mengarahkan, bukan melarang. Apalagi kalau buku itu diterbitkan oleh penerbit besar seperti Gramedia atau Mizan, tentu saya rekomendasikan. Saya justru melarang mereka membaca Wattpad. Kalau membaca buku cetak, setidaknya sudah melalui tangan editor. Anak-anak bisa belajar bagaimana menyusun kalimat dan menggunakan tanda baca dengan benar. Abaikan dulu kualitas isi tulisan. Kalau di Wattpad, saya khawatir mereka keracunan gaya bahasa yang kacau dan tanda baca yang semrawut.


Saya mengasuh ekstrakurikuler menulis di sekolah. Anak-anak yang sudah sampai pada tahap membaca kritis, saya arahkan untuk memperluas bacaannya. Saya berikan buku-buku sastra yang bisa lebih mengasah daya nalar mereka. Saya katakan kepada mereka, “Level kalian sudah bukan Tere Liye lagi. Kalian harus naik kelas. Kalian penulis, maka bacaan kalian harus berbeda dari teman-teman kalian yang membaca sekadar untuk hiburan.” Dan mereka mengikuti arahan saya.


Harapan saya, dengan memperkenalkan karya-karya yang lebih "nyastra", tulisan mereka akan menjadi lebih tajam. Tapi kenyataannya, hasil mereka kadang masih jauh di bawah model Tere Liye. Dari 20-an siswa, paling hanya satu dua yang bisa menulis dengan kualitas sastra yang memadai. Selebihnya, kacau. Tata bahasanya pun berantakan. Padahal mereka ini pembaca buku dan ikut ekstrakurikuler menulis, dibina langsung oleh Encep Abdullah pula. Hahaha. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak membaca sama sekali? Yang tidak menulis sama sekali?


Sudahlah. Rasanya debat soal novel pop dan novel sastra sudah usang. Saya yakin, anak-anak yang masih mau membaca buku saja sudah patut kita syukuri. Mau baca Si Petruk atau fabel Si Kancil, tetap alhamdulillah. Saya enggan menghakimi pilihan bacaan anak-anak. Saya lebih memilih menemani proses tumbuh kembang mereka. Ketika saya melarang mereka membaca buku tertentu, bukan berarti larangan mutlak. Saya hanya mengingatkan dan menegaskan, “Bacaanmu seharusnya sudah bukan itu. Kamu harus naik kelas.” Tidak mungkin seorang anak yang potensinya besar dibiarkan diam di tempat. Orang tua dan guru yang baik harus bisa memetakan potensi dan memanusiakan manusia. Sayangnya, banyak dari kita melarang tanpa memahami kondisi kejiwaan anak. Tidak kenal, tetapi mudah menghakimi.


Saya memang tidak tertarik membaca buku Tere Liye karena belum merasa ada urgensi. Tapi saya tidak menutup kemungkinan, suatu saat bisa jadi saya termasuk bagian dari fans berat beliau. Untuk sekarang, saya bersikap biasa saja. Tidak menolak, tidak juga memuja. Mau beliau menerbitkan seribu buku puisi atau kutipan receh, silakan. Siapa saya melarang? Toh, orang juga tidak berhak melarang saya menulis dan menerbitkan buku saya sendiri. Apalagi saya yang menulis, saya yang menyunting, saya yang mendesain sampul, saya yang menerbitkan, saya yang menjual, dan saya juga yang membaca. Hahaha.


Kepada para pembaca pemula yang sedang menikmati karya-karya Tere Liye, nikmatilah. Barangkali, beliau bukan penulis puisi terbaik, bukan pula penyair yang akan dicatat sejarah sastra. Tapi siapa tahu, justru dari satu bukunya, akan tumbuh keberanian untuk membaca yang lebih berlapis makna, menulis yang lebih dalam rasa. Mungkin Tere Liye bukan tujuan akhir, melainkan pintu masuk. Gerbang yang kelak akan membawa kalian menjumpai Chairil, Sapardi, Pram, atau bahkan menjumpai diri kalian sendiri sebagai pembaca sejati.


Kepada penulis dan pembaca yang lebih kritis, jangan tinggal di pintu terlalu lama. Lanjutkan perjalanan. Bacaan bukan hanya tentang selera, tapi tentang arah. Pertanyaannya bukan lagi “kamu suka bacaan ini atau tidak,” melainkan “bacaan ini membawamu ke mana?” Karena pada akhirnya, setiap halaman yang kita baca adalah cermin: apakah kita sedang tumbuh, atau sekadar berputar-putar di halaman yang sama?


Sehat-sehat selalu, untuk para penulis pop, penulis sastra, penulis matre, dan juga penulis yang hidup segan, mati pun tak mau. Semoga kita semua tetap menulis, tetap membaca, dan tetap menjadi manusia yang merawat kepekaan di antara dunia yang makin gaduh oleh huruf-huruf tanpa jiwa.


Kiara, 17 Juni 2025


______

Penulis


Encep Abdullah
, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai dewan redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak—tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.


Pengin tahu lebih jauh siapa si Encep, klik GUE KEPO!


This Is The Newest Post