Pelukan yang Tertinggal di Pintu Dapur
ia pulang lebih larut dari biasanya
bau tangan bercampur logam dan debu mesin
di bawah jaketnya
kaus dalamnya masih basah oleh keringat
meski matahari telah hilang sejak dua jam lalu
di dapur
perempuan itu berdiri di depan kompor
mengenakan daster motif pudar
sendok kayu di tangan kirinya
tumis kangkung yang hampir gosong
dan nasi yang mengeras di panci
tak ada tanya
tak ada gerutu
lelaki itu meletakkan helm dan tas di kursi rotan
mengendap ke belakang tubuhnya
lalu memeluknya diam-diam
dadanya yang hangat menempel pada punggung
yang sudah lama lelah
perempuan itu bergumam
“besok gas tinggal separuh”
dan ia mengangguk
karena tahu, yang dibutuhkan bukan jawaban
tapi pelukan yang tidak buru-buru
Karanganyar, 2025
Piring Retak dan Peta Kecil yang Diselipkan
di pagi yang sedikit berantakan
dengan roti sobek tanpa isi
dan kopi hitam yang terlalu pahit
karena stok gula baru datang sore nanti
mereka duduk bersisian
di meja makan yang catnya mulai mengelupas
ia, lelaki dengan kantong mata dan jemari kapalan
mengeluarkan secarik kertas dari saku kemeja
peta kecil
digambar dengan pulpen tinta habis
berisi arah ke taman kecil
yang dulu pernah mereka lewati sepulang dari rumah sakit
perempuan itu menatapnya lama
lalu berkata
“tapi minggu aku harus cuci kerudung
dan setrika bajumu yang lima hari belum kering”
ia tertawa pelan
lalu menyentuh pinggir piring
yang pernah retak karena tangan mereka berselisih
di bawah meja
kakinya menyentuh kaki perempuan itu
dan dunia tak jadi terlalu sempit pagi itu
Karanganyar, 2025
Saat Hujan dan Jemuran Belum Diangkat
awan bergulung sejak pukul empat
lelaki itu baru pulang dari bengkel kecilnya
sepatu kerja basah di ujung
sisa oli masih menempel di kuku jempolnya
ia tahu jemuran belum diangkat
karena perempuan itu masih di lantai
dengan jarum di tangan
dan potongan kerah yang harus disambung ulang
hujan tiba seperti tamu tak diundang
ia berlari ke belakang
mengangkat satu per satu pakaian
kaus dalam, celana panjang, baju tidur bergambar ayam
dimasukkannya semua ke baskom
dibawa ke dekat perempuan itu
yang tetap menjahit
tanpa berpaling
“maaf kalau ada yang basah”
ucapnya pelan
perempuan itu hanya menghela napas kecil
dan menjahit terus
seperti percaya hujan memang tidak bisa dikendalikan
tapi seseorang yang pulang tepat waktu
masih bisa diandalkan
Karanganyar, 2025
Lem Tikus dan Malam Minggu Ketiga
di rak dapur
lem tikus sudah melekat di sudut lantai
tapi belum diganti
karena gaji belum cukup sampai tanggal dua puluh lima
mereka duduk di lantai
dengan tahu kukus dan sambal keasinan
perempuan itu diam
lelaki itu juga
sisa pertengkaran siang tadi menggantung seperti sarang laba-laba
lalu
ia, dengan sisa nada dari pria yang kalah debat
berdehem dan berkata
“besok aku beli lem baru
sekalian beli teh celup yang biasa”
perempuan itu tak langsung menjawab
hanya mengambil sendok dan mengaduk nasi
lalu tiba-tiba berkata
“aku cuci semua sprei minggu depan
yang putih juga”
lelaki itu mengangguk
lalu mencolek sambal
dan di antara nasi yang dingin
dan tahu yang hambar
mereka tahu
malam itu masih bisa dibersihkan
Karanganyar, 2025
Amplop Putih Tanpa Nama Pengirim
senja hampir menutup pagar
ketika tukang pos tua lewat dan menyelipkan amplop
tanpa prangko
tanpa nama
hanya tulisan tangan yang rapi
dan aroma kertas yang lama disimpan
lelaki itu membuka perlahan
jari-jarinya masih bau pelumas dari bengkel sore tadi
di dalamnya selembar puisi
tulisan remaja
yang entah bagaimana
masih menyebut nama perempuan itu
perempuan itu membacanya
lalu menatap wajah lelaki yang kini
memiliki kerutan di bawah mata
dan bekas luka di siku kanan
“kalau aku lupa besok pagi”
ucapnya
“ingatkan aku siapa kita dulu
sebelum punya cicilan dan kompor dua tungku”
lelaki itu tak menjawab
hanya mengelus pundaknya
dan memandang langit yang hampir magrib
karena tidak semua puisi butuh dibacakan keras
kadang cukup disimpan
di napas yang tidak buru-buru
Karanganyar, 2025
Penulis
Yuditeha, tinggal di Karanganyar. IG: @yuditeha2