Thursday, July 17, 2025

Esai Mela Sri Ayuni | Takut Mengajar Anak SD

Esai Mela Sri Ayuni



Proses pembelajaran merupakan hal sangat penting dalam upaya mengetahui seberapa jauh kemampuan belajar anak dalam menerima pemahaman materi ajar. Baik secara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tingkatan siswa pun dimulai dari pendidikan usia dini, dasar, menengah pertama, menengah atas hingga perguruan tinggi. Keprofesionalitasan tenaga pendidik menjadi ujung tombak dari keberhasilan pendidikan. Minimal guru memiliki pendidikan strata satu.


Pendidikan sekolah dasar menjadi penentu cikal bakal anak untuk mengetahui minat belajar siswa, didampingi belajar oleh guru. Pada sekolah umum, guru SD memiliki beban mengajar untuk mengakomodasi hampir beberapa mata pelajaran (disebut guru tematik). Satu guru atau wali kelas mengampu banyak bidang studi pada satu kelas. Namun, pada sekolah khusus, mata pelajaran sudah dibagi oleh ketua bidang kurikulum yang disesuaikan dengan program studi guru tersebut. Misalnya, seperti Sekolah Islam yang sedang saya geluti saat ini. Saya merupakan lulusan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang mengisi mata pelajaran tersebut untuk kelas atas, yaitu, empat, lima, dan enam.


Sebagai anak kelahiran Generasi Z, yang dikenal memiliki kecenderungan kesabaran setipis tisu, menjadi guru SD adalah salah satu hal yang sangat menakutkan. Seperti sepotong obrolan ringan saya dengan teman-teman di sore hari. Teman saya nyeletuk, “ngajar anak kecil itu sulit diatur. Ditambah lagi, jadi guru SD itu harus pinter semua mata pelajaran”. Padahal nyatanya, memang betul. 


Lebih dari setahun terakhir ini, saya sedang disibukkan dengan urusan sekolah tingkat dasar. Mulai dari mengelola kelas, menyelesaikan administrasi guru, membalas grup chat wali murid, hingga mendampingi anak-anak belajar di kelas. Memang bukan kejuruan saya menjadi tenaga pendidik di tingkat sekolah dasar. Namun, sebelum saya terjun langsung dunia sekolah dasar, saya sedikit berbagi dengan Teh Maryam, teman kuliah saya. Ia sudah memiliki pengalaman mengajar di sekolah menengah atas. “Jangan diniatkan untuk kerja. Tetapi niatkan untuk belajar. Supaya terasa ringan,” ujarnya sewaktu di Gedung B Lantai 3 Universitas Primagraha.


Saya sepakat dengan pernyataan di atas. Kita memang betul harus mendahulukan niat dari pada amal. Bisa saja, kalau cara berpikir saya masih sama seperti sebelumnya (masih egois), saya tidak akan mampu bertahan sampai dititik ini. Lagi pula kalau dipikir-pikir, sombong sekali orang yang tidak mau belajar dengan anak SD, bukankah nyawa ilmu itu ada pada amal yang ikhlas? 


“Pade dasare urip iku mati, kecuali sing duwe ilmu. Pade dasare ilmu iku turu, kecuali lamun diamalaken. Pade dasare ilmu iku nipu, kecuali dipegaweni sing ikhlas,” Encep Abdullah, 2024 dalam sepotong cerita WhatsApp. Karenanya, tidak ada alasan untuk bilang tidak. Sebagai guru, sebaiknya memang memiliki pengalaman mengajar pada anak tanpa melihat umur. Tua dan muda tetap mereka memiliki hak pendidikan yang pantas. Kita tidak bisa melihat sejauh mana kemampuan mengajar tenaga pendidik kalau ia tidak bisa mengkondusifkan anak kelas dasar dalam belajar.


Dari pengalaman saya mengajar di sekolah dasar, jujur, mereka tidak bisa dibilang menyeramkan atau pun menakutkan. Mereka menyenangkan. Seru. Kecuali pada orang yang tak pandai mendekati anak-anak. Kita memiliki pilihan untuk menjadi teman, kakak, hingga orang tua, dan guru. Tetapi kalau saya, lebih senang memosisikan diri saya sebagai teman belajar. Karena kalau orang tua, pengalaman saya terlalu kecil untuk itu.


Anak SD itu menyenangkan, bahkan bisa lebih menyenangkan dari pada teman hati. Mereka bisa menyembuhkan inner child bagi guru yang dulunya kehilangan masa bermain dengan teman sebayanya. Seperti beberapa waktu lalu di kelas, pascajam belajar Pendidikan Pancasila selesai, kebetulan guru selanjutnya sedang berhalangan tidak masuk. Lalu, saya dan mereka (anak-anak SD kelas 5) bermain bola kertas yang dilempar ke teman lainnya di kelas. Mungkin, bisa saja bagi guru senior ini merupakan praktik yang aneh. Selain itu, saya dan mereka juga sesekali makan bersama dalam kelas, dengan menu yang diminta dari anak- anak seperti seblak, mi ayam, hingga sop buah. Hal ini terjadi sebagai bentuk perayaan kami atas asesmen formatif maupun sumatif yang cukup menguras kemampuan kognitif anak. Bagi saya, selama itu tidak mengganggu proses pembelajaran saya akan “iyakan”. Uang dikumpulkan di satu siswi. Lalu, saya yang memesan lewat makanan pesan antar. Tentu ini seru. Bisa menghilangkan penat setelah belajar.


Dari contoh di atas, bisa kita lihat bahwa menjadi guru bagi anak usia 6-12 tahun bukanlah hal yang buruk, apalagi menyeramkan. Tinggal bagaimana kita memosisikan diri dan tidak menjadikannya beban. Kalem lur, mengalir saja. Lagian seseorang tidak akan mencapai titik tertentu kalau tidak bersapa di titik terendah dulu. Anggap saja, setiap harinya latihan untuk menjadi lebih sabar, ikhlas, dan persiapan menjadi orang tua kelak. Di samping itu, terkadang justru bukan saja kita yang menjadi pendidik yang memberikan pengajaran. Tetapi sebaliknya, anak SD pun sebenarnya memberikan pengalaman. Apa yang kita tidak bisa lakukan, belum tentu anak tidak bisa melakukan. Misalnya, sewaktu di kelas, anak saya memenangkan Olimpiade Olahraga Sains Nasional dalam cabang olahraga pencak silat. Nah, dari sini kita bisa melihat, pembelajaran itu bisa dilakukan dengan dua arah. Lagi pula, sombong sekali kalau ada orang yang tidak mau mengajar di SD.


Kalau di atas contoh di dalam kelas. Bagaimana kalau di luar kelas? Lebih seru! Sesekali mereka (siswi) mengajak saya untuk menonton ke mal terdekat dan makan bersama di Resto Arab. Saya dan mereka tidak seperti dengan murid dan guru. Melainkan, seperti teman dan teman. Tidak ada ketimpangan secara fisik di antara kami. Bahkan, rekan guru saya yang sesama Gen Z sempat bilang kepada anak-anak begini “kalau lagi di luar. Jangan panggil Bu guru. Tapi panggil Kakak”. Memang menolak tua dan dituakan. Bagaimana tidak, setiap kali ada acara di luar kelas, anak-anak diperbolehkan membawa HP oleh orang tuanya. Sebetulnya hanya untuk telepon meminta jemput pulang ke ibunya. Tetapi justru, sesekali saya diajak velocity (trend TikTok) pake HP mereka. Mereka mengajak, saya iyakan. Namun, saya berhak membatasi penggunaan HP selama ada di samping saya. Biar bagaimanapun, guru memiliki tanggung jawab penuh kepada murid selama kegiatan sekolah atau luar sekolah berlangsung.


Bukan hanya guru yang menjadi obat bagi murid. Tetapi, murid pun akan menjadi obat bagi gurunya yang sedang galau. Kapan pun ada tawaran yang membikin satu langkah hidup menjadi lebih baik. Ambil saja, walau itu bertentangan dengan ego. Karena bisa jadi yang baik untukmu, justru tidak baik untukmu, begitupun sebaliknya. Toh, menjadi guru SD tidak akan menjadi lebih buruk dari sebelumnya.


________


Penulis


Mela Sri Ayuni, penulis lepas.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com