Sunday, October 5, 2025

Cerpen Dody Widianto | Kalangkang

Cerpen Dody Widianto



Di depan cermin yang sama, wanita renta yang hidup dalam kenangan gadis belia miliknya masih terus menyisir rambutnya. Empat mata bertemu dalam tatap bisu. Perlahan, nyanyian tentang bayang-bayang mengalun hinga membentur sudut-sudut pintu. Ia menyesali semua perbuatannya tiga belas tahun lalu.


“Hanjakal ... hanjakal teuing. Endah ... ngan ukur kalangkang. Harepan ... harepan diri. Sing nyanding ... jeung kanyataan.”


***


Entah dari mana semuanya bermula, tetapi bagiku, di dunia ini benda yang paling menakutkan adalah cermin. Itulah sebabnya mama menyembunyikan semua koleksi cermin kepunyaannya di lemari. Dari yang seukuran setengah daun pintu hingga yang seukuran telapak tangan. Ia keluarkan dan pergunakan seperlunya saja ketika aku tak ada di rumah dan ia hendak berdandan. Semua perabot lemari di rumahku memang didesain tak ada kaca riasnya.


Hal itu bukan tanpa alasan. Sejak usiaku beranjak angka lima, aku punya kenangan mengerikan. Sesuatu yang aneh selalu muncul dalam ingatan. Saat melihat dalam cermin, aku seperti terisap ke dalamnya. Masuk ke dimensi lain. Aku jadi selalu takut melihat cermin. Sosok bayangan hitam bertanduk dengan tubuh manusia selalu muncul tepat di depanku. Bayangan yang wajahnya tak begitu jelas itu selalu melambaikan tangan, seolah mengajakku masuk ke dalamnya.


Sekarang jika ingin berangkat sekolah, aku selalu meminta mama menyisir rapi rambutku. Karena tanpa kaca, aku kesulitan merapikan rambutku sendiri. Dalam senyum itu, Mama selalu melihat aneh ke mataku.


Sejak Papa meninggal, aku tinggal hanya bersama Mama. Sebagai anak perempuan satu-satunya, wajar saja aku begitu dimanja. Kini, Mama meneruskan usaha Papa berjualan mebel di jalan raya seberang balai kota. Tak ada yang aneh jika kebiasaan mama mengumpulkan beragam cermin mulai mengusik kehidupanku. Awalnya aku tak takut dengan cermin. Hingga ingatan mengerikan itu selalu tersimpan dalam kepala.


Mama belum pulang. Aku diantar Bi Inah ke kamar setelah dijemput Pak Nar dari sekolah. Setelah merapikan tas dan sepatuku, Bi Inah langsung ke dapur mengambilkan makan siang untukku. Aku sibuk menguntai rambut kepang dua milikku. Berusaha melucuti tali karet warna-warni di ujungnya. Andai Papa masih hidup pasti dia akan bilang aku cantik.


Kemarin, Bi Inah mengajariku doa sapu jagat dan mendoakan Papa yang telah dipanggil Tuhan agar ia tenang di sana. Hingga sebesar ini, aku hanya bisa melihat Papa di foto yang aku pajang di sebelah lampu meja kamarku. Wajahnya tampan. Aku kadang tersenyum sendiri jika melihat fotonya. Membayangkan ia masih ada lalu membelikan boneka di tiap-tiap ulang tahunku. Namun, kata Bi Inah lagi, jika ingin bertemu Papa di surga, aku harus rajin salat dan mengaji. Aku tersenyum. Mudah-mudahan Papa bahagia di sana.


Pita-pita kecil di ujung kepang rambut aku lepas satu-satu. Melihat cermin dan mengagumi wajah cantikku. Tak ada hal aneh selain wajah yang sedikit berminyak karena kepanasan dan di ujung hidung sana, ada benda bulat kecil mengganggu. Merah dengan tengah kekuningan serupa balon kecil yang hendak meledak. Duh, sudah tiga hari benda itu tak hilang-hilang. Mama dan teman-teman sering mengejekku.


Bunyi gemeretak piring dan gelas di dapur menandakan Bi Inah masih berusaha menyiapkan makan untukku. Aku menoleh melihat bonekaku. Enam belas boneka barbie dengan pakaian yang berbeda-beda, masih berjajar rapi di samping bantal panjang. Awalnya aku ingin mengambil satu boneka itu jika saja tak ada bayangan dalam cermin yang tiba-tiba melintas dan seolah terus mengamatiku. Sangat menganggu.


Aku cepat menoleh. Mendekati cermin. Melihat teliti ke dalamnya. Siapa tadi? Aku berdiri dan terus mengamati. Di tepi kaca menempelkan jemari.


Apa itu tadi? Jelas itu bukan binatang atau golongan manusia. Hantu? Sejak kapan rumah ini berhantu?


Setelahnya, teriakan panjang bernada ketakutan itu membuat Bi Inah menumpahkan semua makananku. Bunyi benturan piring dengan lantai terdengar nyaring. Ia berlari menuju kamar dan melihat tubuhku telah lunglai memejam mata.


Tubuhku gemetar, menggigil. Namun, mencoba melawan ketakutanku. Beruntung Bi Inah sigap datang dan menemaniku di waktu yang tepat. Aku ceritakan semua padanya. Ia membimbingku untuk selalu berdoa. Bu Nur di sekolah juga terus mengajariku mengaji. Membuatku harus berani.


​“Iblis dan malaikat saja disuruh sujud oleh Tuhan kepada Nabi Adam. Itu artinya, manusia punya derajat tertinggi di semesta ini. Jangan takut pada setan,” begitu pekik Bu Nur di akhir pelajaran agama kami. Setelah itu kami dibekali doa-doa. Sayangnya, Bu Nur baru membekali doa sebelum dan sesudah tidur. Juga sebelum dan sesudah makan. Tak mungkin hantu itu diusir dengan doa sebelum tidur atau setelah makan. Tak mungkin aku mengusirnya untuk segera tidur. Hantu tak pernah tidur bukan? Tetapi kata Bi Inah, hantu suka makan. Memangsa anak-anak yang nakal. Apalagi yang malas belajar. Namun, kali ini aku hanya ingin melawan ketakutanku. Mungkin ia bisa mengajariku doa mengusir hantu.


Berjalannya waktu yang begitu cepat ketika aku mulai dewasa, rahasia itu terbuka perlahan-lahan. Bi Inah yang membuka semua tabir itu. Keanehan Mama yang terus mengoleksi beragam bentuk cermin hingga kamarnya penuh kaca.


Hingga sekarang Bi Inah masih sering menyisir rambutku. Dalam tatapan yang aneh, ia bercerita tentang awal kehidupanku. Tentang ketakutanku pada cermin. Juga tentang Papa yang sukses jadi penjual mebel di kota ini.


Kebahagiaan itu membuat beberapa pesaingnya tak suka. Segala cara ditempuh untuk menumbangkan bisnis Papa. Saat itu, usaha Papa pelan-pelan di ambang kehancuran. Mama berinisiatif pergi ke “orang pintar” meminta pertolongan. Hanya Bi Inah yang diajak. Mama tahu hanya ia yang bisa dipercaya. Sejak syarat dan permintaan dari “orang pintar” itu disepakati, lambat laun usaha Papa bangkit kembali.


Hanya saja, petaka dari semuanya dimulai saat itu juga. Saat itu aku masih dalam buaian Bi Inah. Umurku baru delapan bulan. Teriakan di kamar membuat Bi Inah berlari mendekati sumber suara. Papa tergeletak tak bernyawa di depan cermin dengan mulut menganga dan kepala pecah berdarah. Teriakan membuat semua tetangga berdatangan. Aneh, mamaku berdiri kaku di depan kaca tak mengatakan apa-apa.


Tetapi hari ini, kedewasaan membuat rasa penasaranku sudah pada puncaknya. Aku pulang sekolah lebih cepat dan berusaha masuk ke kamar mama. Mencongkel pintu sekuat tenaga. Beruntung saat itu Bi Inah sedang kondangan di tempat tetangga. Pak Nar sedang menjemput Mama. Di kamar yang remang itu, aroma bunga melati menyeruak, dan anehnya, telingaku seperti mendengar suara samar kidung “Kalangkang” yang entah dari mana lagu itu disenandungkan. Seolah tak hirau dengan suara samar itu, mataku memerhatikan lemari. Ada tiga lemari besar dalam kamar berukuran sembilan meter persegi itu. Sialnya, semua pintu lemari terkunci. Aku masih memegang tuas pintu lemari dan mencari cara membukanya--berusaha mengambil linggis-hingga tiba-tiba pundakku ditepuk seseorang. 


​“Jangan Non!”


Aku tergagap dan langsung menoleh. Kaget.


​“Jangan dibuka. Bibi takut dipecat!”


Bik Inah memohon dan berusaha menarik lenganku keluar kamar demi menceritakan semuanya.


​“Cukup Non! Cukup! Bibi akan ceritakan semua.”


Bibir Bi Inah terlihat bergetar. Aku tak tahu apa yang akan diucapkannya. Menatap aneh pada kedua bola mataku. Dan hari itu, di sela ketakutannya, perlahan ia mau bercerita.


Kaca dan cermin itu adalah mediator kemunculan makhluk tak kasat mata yang mencoba membunuhku. Tepat nanti saat aku menumpahkan darah gadis pertama kali. Sebuah pertanda jika aku telah dewasa. Rasa sayang Bi Inah-lah yang terus berhasil melindungiku. Tentang catoptrophobia yang Mama ceritakan padaku, ketakutanku saat melihat cermin dan tentang bayangan aneh di dalamnya, ia hanya membual seolah-olah nyata demi menutupi semuanya. Namun, tentang makhluk aneh yang mengerikan di dalam kaca itu aku percaya memang benar adanya. Aku selalu mengingat dan tak pernah lupa bayangan aneh bertanduk itu.


Setelah mendengar cerita Bi Inah, makin tersulut lah apa yang ada di dalam dada. Aku tahu ia mamaku sendiri, tetapi tak sepatutnya ia melakukan hal ini. Melakukan hal keji hanya untuk bisa menolong Papa.


​“Aku ingin membakar tiga lemari itu! Bibi keluar sekarang!”


​“Jangan, Non. Bibi takut dipecat. Non ... Non ...!”​


***


Senja hari, seorang ibu terpaku di depan puluhan mobil pemadam kebakaran. Tubuhnya lemas dengan pandangan hampa melihat rumahnya habis terbakar tinggal puing-puing. Tak hanya itu, anak perempuan satu-satunya juga ikut pergi bersama kabut asap yang meninggi. Kerakusan akan harta membuat sesuatu yang paling berharga mati dengan cara seperti itu.


​“Kamu seharusnya yang mati, Nah!” ucapnya lirih di depan pembantunya yang menggigil ketakutan.


Ket.:

*kalangkang: 'bayangan' (bahasa Sunda)


_______

Penulis:

Dody Widianto lahir di Surabaya. Ratusan karyanya tersiar di berbagai media massa lokal dan nasional seperti Koran Tempo, Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Singgalang, Haluan, Waspada, Fajar Makassar, Rakyat Sultra, Suara NTB, dll. Silakan berkunjung ke akun IG: @pa_lurah untuk kenal lebih dekat.


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com