Saturday, October 4, 2025

Resensi Kabut | Pengisahan dan Perdagangan

Resensi Kabut



Dulu, orang-orang yang terbiasa membaca artikel-artikel kebudayaan biasa menemukan nama Ayatrohaedi. Para peminat linguistik atau kajian kebahasaan gemar menyantap tulisan-tulisan yang dibuat Ayatrohedi. Di kesusastraan dan arkeologi, nama Ayatrohaedi juga ditemukan. Yang pasti para mahasiswa dan dosen di Universitas Indonesia sering bertemu Ayatrohaedi yang berperan sebagai dosen.


Para pembaca dan kolektor buku-buku terbitan ILDEP ingat disertasi Ayatrohaedi terbit menjadi buku berjudul Bahasa Sunda di Daerah Cirebon. Buku bermutu untuk dipelajari para mahasiswa yang tekun dengan linguistik. Buku dicetak terbatas. Maka, yang memiliki dan membacanya adalah orang yang beruntung.


Yang ketagihan puisi mungkin mengingat buku hitam dan tipis terbitan Pustaka Jaya. Buku itu berjudul Pabila dan Di Mana, yang memuat puisi-puisi gubahan Ayatrohaedi. Artinya, tokoh itu berperan dalam pelbagai keilmuan dan kerja kebudayaan. Pembaca buku autobiografinya tidak perlu terkejut jika Ayatrohaedi ada ikatan keluarga dengan Ajip Rosidi. Kita paham dua orang itu bersumpah selama hidup menghasilkan tulisan-tulisan tanpa sambat dan putus asa.


Namun, siapa yang mengingat Ayatrohaedi dengan buku berjudul Panji Segala Raja terbitan Pustaka Jaya? Buku terbit 1975, ikut dalam arus pengadaan pustaka anak bermutu. Sejak awal, Pustaka Jaya menjanjikan menerbitkan buku anak-anak yang terseleksi dan bermutu demi perubahan-perubahan lakon keaksaraan di Indonesia. Ayatrohaedi ikut andil dalam penulisan cerita. Menyodorkan bacaan di hadapan sidang pembaca yang anak-anak dan remaja.


Apakah ia mengalami kesusahan dalam menulis cerita sesuai selera anak-anak? Ayatrohaedi keranjingan bacaan. Jadi, ia pasti mudah dalam penentuan suguhan cerita, tak perlu harus dibingungkan dengan patokan-patokan yang ketat. Bagaimana caranya bisa mengadakan bahasa yang terbaca dan diterima oleh anak-anak? Ia terbukti berkutat dalam studi linguistik meski ia mengaku masa mudanya sering tak jelas dalam agenda-agenda keilmuan. Yang jelas, kita ikut mengenangnya dalam pamrih kemajuan bacaan anak di Indonesia, sejak masa 1970-an.


Buku memiliki keistimewaan di halaman awal: “Bekal untuk Dyah Ratnawiati (Bandung, 5 November 1970) sambil mengingat  ucapan Trevelyan: ‘Biarkanlah ilmu dan penelitian sejarawan menemukan bukti dan biarkanlah daya cita dan seninya memperjelas bukti itu.” Buku dipersembahkan kepada anak, yang nantinya diharapkan membaca buku berjudul Panji Segala Raja. Buku itu bekal. Yang mengena adalah pemuatan kutipan mengenai sejarah dan sastra. Ayatrohaedi tepat dan sadar perannya saat menjadi penulis cerita yang dibaca oleh anak-anak.


Ia memilih rujuan sejarah. Jadi, Ayatrohaedi mengadakan riset kepustakaan dan merujuk pengalaman kultural dalam penulisan cerita. Perannya adalah mengisahkan ulang. Pihak penerbit menjelaskan Panji Segala Raja itu “dikisahkan” oleh Ayatrohaedi. Yang wajib diketahui: “Diangkat dari sejarah Tarumanegara berdasarkan sumber-sumber yang ada.” Para pembaca meyakini cerita itu tidak sepenuhnya imajinasi. Ayatrohaedi menggunakan pelbagai sumber tapi kita tidak bisa menagih ada daftar pustaka yang biasanya berada di halaman belakang untuk buku-buku ilmiah. Anak-anak yang membaca cerita belum terlalu memerlukannya.


Sejarah di Nusantara adalah perdagangan yang melibatkan banyak orang dari pelbagai benua. Nusantara menjadi titik penting dalam jalur perdagangan dunia. Anak-anak yang belajar di SD mungkin belum terlalu mengerti perdagangan dalam sejarah yang panjang. Ayatrohaedi akhirnya berperan untuk pengisahan sekaligus penjelasan. Suguhan cerita saja tidak cukup jika ingin anak-anak mengerti sejarah. Di paragraf-paragraf yang dibuat Ayatrohaedi kita menemukan usahanya memberi penjelasan-penjelasan sederhana merujuk sejarah. Yang dibaca anak-anak tetap cerita atau ada sisipan penjelasan (ilmiah) berdasarkan sumber pustaka yang digunakan Ayatrohaedi.


Cerita berlatar abad V. Para pembaca menganggapnya waktu yang terlampau jauh. Anak-anak diajak ke masa kerajaan-kerajaan di Nusantara. Pada bagian awal, Ayatrohaedi membuka silam yang kadang masih misteri: “Sebuah perahu dagang tampak oleng dihempas gelombang. Perahu itu berlayar melalui Selat Sunda, memasuki Laut Jawa. Para penumpangnya kebanyakan pedagang Cina. Biasanya mereka berlayar melalui Selat Malaka atau Selat Sumatra. Baik waktu berangkat maupun waktu kembali. Mereka berdagang sampai jauh ke sebelah barat. Ke India. Tetapi perahu itu tidak mempergunakan jalan yang biasanya. Perahu itu berlayar mengarungi laut sebelah barat Pulau Sumatra. Para pedagang yang menumpang perahu itu ingin singgah ke Pulau Jawa. Dari pulau itu mereka hendak mengambil barang dagangan yang dihasilkan pulau itu. Ada gading gajah, cula badak, kulit penyu, bahkan emas dan perak. Barang-barang itu sangat digemari penduduk negeri lain.”


Anak-anak bakal terpikat dan membesarkan penasaran sejarah jika kalimat-kalimat itu dilengkapi peta. Apa susahnya mencantumkan peta untuk satu halaman agar “penglihatan” sampai jauh? Anak-anak sudah mengetahui peta Indonesia tapi adanya peta lama memberi kesan yang berbeda. Yang ada di halaman-halaman buku adalah gambar-gambar A Wakidjan, yang sering menampilkan sosok. Buku itu tanpa peta, yang membuat pembaca sedikit kecewa.


Perahu yang terdampar membawa para pedagang akhirnya menimbulkan peristiwa yang makin membesarkan perdagangan. Mereka justru bisa bertemu dengan penguasa di Tarumanegra. Sejarah itu kadang memuat peristiwa-peristiwa yang tidak diramalkan. Yang ada di cerita adalah keberuntungan setelah derita akibat terdampar.


Kita mengikuti lagi cerita: “Orang-orang Cina itu suatu hari berlayar menghulu sungai. Diantar oleh beberapa penduduk pribumi. Sungai yang mereka layari itu sekarang kita kenal sebagai Cisadane. Muaranya terletak di daerah Tangerang sekarang. Sungai itu lebar dan alirannya cukup tenang. Karena itu mereka tidak usah takut tenggelam. Apalagi yang mengantar mereka adalah orang-orang yang tapis mengemudikan perahu.”


Bagian itu memastikan pengaruh Cina sangat kuat di Nusantara melalui perdagangan. Akhirnya, kedatangan mereka memberi pengaruh dalam kuliner, busana, kesenian, dan lain-lain. Yang dikisahkan Ayatrohaedi juga mengenai perkembangan agama Hindu dan Buddha. Pokoknya, anak-anak yang membaca Panji Segala Raja sebenarnya belajar sejarah. Mereka bisa melek sejarah melalui cerita tapi harus peka dengan penjelasan-penjelasan yang disajikan. Pada masa itu yang memberi pengaruh bukan cuma China. India pun berpengaruh besar di Nusantara.


Raja yang sedang berkuasa di Tarumanegara diceritakan bijak dan berusaha mencipta kemakmuran. Pembaca yang sering membaca cerita-cerita masa kerajaan kadang mudah bosan bila membandingkan sifat-sifat para raja. Biasanya raja yang terhormat dan bijak dicintai rakyatnya. Hal itu tercantum dalam cerita. Kita tidak perlu repot membuat gugatan atau kritik atas pengisahan masa kerajaan yang sering memunculkan raja-raja agung.


Para pedagang China memberi persembahan kepada raja. Tata cara yang membuat raja bahagia dan memuliakan para tamunya. Ayatrohaedi mengisahkan: “Rombongan pedagang China itu dijamu hidangan yang enak dan lezat. Juga minuman-minuman yang khas Tarumanegara…. Minuman itu terbuat dari air enau.”


Pembaca boleh mengikuti cerita mengenai raja-raja yang berkuasa di Tarumanegara. Namun, ada yang bisa mengamati masalah perdagangan yang digerakkan oleh para pedagang China di Nusantara. Mereka yang berperan besar dan ikut menentukan sejarah.


Di buku, Ayatrohaedi ingin mengajarkan sejarah tapi berusaha sederhana dan “terbatas” saja. Yang sudah selesai membaca semestinya melanjutkan mencari buku-buku yang berkaitan dengan hal-hal dalam Panji Segala Raja. Berharap buku-buku itu terdapat di perpustakaan yang dikelola sekolah. Gagal mendapatkan buku-buku, anak-anak dapat meminta keterangan tambahan dari guru.


_________


Penulis


Kabut, penulis lepas.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com