Thursday, October 2, 2025

Esai Novita Sari Yahya | Pidato Prabowo di PBB Menjelma Menjadi Puisi: Metafora "Anjing" dan Kritik Sosial

Esai Novita Sari Yahya




Pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 pada 23 September 2025, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato yang mencuri perhatian dunia internasional. Dalam pidatonya, beliau menyatakan bahwa Indonesia pernah diperlakukan lebih hina dari anjing, sebuah metafora yang menggambarkan penderitaan bangsa Indonesia selama masa penjajahan. Pernyataan ini mencerminkan pengalaman pahit yang membentuk kesadaran politik dan diplomasi negara ini.


Metafora "anjing" yang digunakan oleh Prabowo memiliki makna mendalam. Dalam tradisi Islam, terdapat kisah seorang wanita pelacur dari kalangan Bani Israil yang diampuni dosanya oleh Allah Swt. karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, wanita tersebut melepas sepatunya, mengikatnya dengan penutup kepalanya, lalu mengambil air dari sumur untuk menyirami anjing yang hampir mati kehausan. Akibat amal saleh itu, Allah Swt. memasukkannya ke surga, menunjukkan bahwa rahmat Tuhan bisa datang dari tindakan sederhana yang penuh kasih sayang, meski pelakunya berdosa.

Penggunaan metafora "anjing" oleh Prabowo dalam pidatonya bertujuan untuk menggambarkan posisi sosial yang dianggap rendah, merepresentasikan pengalaman dehumanisasi dan penindasan kolonial. Metafora ini memicu banyak pertanyaan: mengapa bukan bebek, ayam, atau kucing? Mengapa harus anjing? Dalam konteks pidato Prabowo yang menyindir imperialisme dan pendukungnya, metafora anjing ini menjadi semakin dalam: ia menyoroti ironisnya bagaimana simbol hinaan kolonial justru bisa menjadi sarana penebusan, sementara "kejahatan" imperialisme—seperti menjilat kekuasaan atau menjadi "jongos" penjajah—dapat disindir dengan satire lokal seperti istilah "londo ireng" (Belanda hitam), yang merujuk pada orang pribumi yang tunduk buta pada kekuasaan kolonial.

Dari rangkaian peristiwa ini, pidato Prabowo menjadi salah satu yang paling mengguncang sejak kemerdekaan Indonesia, bahkan disebut sebagai gebrakan diplomasi yang membara. 

Mengenang romantisme peristiwa-peristiwa tersebut, serta cerita pelacur yang memberi makan seekor anjing yang kehausan, maka saya melengkapi dengan puisi berjudul ”Melacurkan Diri pada Kekuasaan”. Puisi ini memang cukup menggelegar dan telah beberapa kali ditolak oleh pemred. Bukan pula puisi pilihan dalam lomba bertema Binatang Jalang memperingati Chairil Anwar.


Melacurkan Diri pada Kekuasaan


Betina binal jalang, 

melacurkan diri untuk segengam beras.

Pelacur kekuasaan,

melacurkan diri ketamakan tanpa henti.

Berabad-abad pelacuran sampah peradapan kenistaan.

Dihinakan dan dilemparkan cacian makian.


Pelacur kekuasaan, terhormat pujian

Apa bedanya?  Padahal sama pelacur yang mengadaikan kehormatan.

Bangsa terhormat, menistakan pelacur kelaparan.

Memuja pelacur kekuasaan yang menindas.


Moralmu hanya sekedar hiasan kata-kata.

Moralmu ukuran sekedar uang dan kekuasaan.

Bedanya apa? Padahal sama.

Sama-sama melacurkan diri untuk perut kelaparan.


Jangan ajarkan moral, jika kau melacurkan untuk perutmu yang tidak kenyang.

Karena nilainya sama, ketika kehormatan tergadaikan


Bogor, 27 Februari 2025


_________


Penulis


Novita Sari Yahya, penulis dan peneliti.

Instagram @novita. Kebangsaan.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com