Tuesday, September 30, 2025

Proses Kreatif | Sastra, Ruang Perjumpaan, dan Kemungkinan "Onani"

Oleh Encep Abdullah


Sejak SMA Kediman sudah suka menulis puisi. Bahkan ia menembak cewek dengan puisi. Namun, ditolak. Nah, dari situlah tulisannya makin banyak. Hingga menuju ke ranah cerita pendek. Lalu, Kediman kuliah. Tak nyana, ia masuk jurusan bahasa dan sastra Indonesia—pilihan ayahnya saat pertama kali akan ikut tes kampus, padahal sebenarnya pilihan utamanya bukan jurusan itu, melainkan ilmu komunikasi. Walaupun Kediman suka menulis puisi, bukan berarti ia berminat masuk kuliah jurusan sastra begitu. Tidak ada dalam kamus peta hidupnya. 

Namun, semua berkata lain. Kediman pun akhirnya masuk ruang kelas. Kepalanya agak mumet mendengarkan penjelasan dosennya di kelas, yakni tentang formalisme Rusia, semiotik, strukturalisme, postmodernisme, dst. Istilah-istilah yang sangat asing di telinganya. Karena Kediman mahasiswa yang baik, biar bagaimana pun ia tetap mendengarnya. Di kampus, Kediman pun ikut organisasi sastra. Tak lama kemudian, ada agenda kajian, pembicaranya bergilir dan semua anggota kebagian jatah menjadi narasumber. Kebetulan Kediman mendapatkan jatah membahas ”Sastra Sufistik”. Tema yang mungkin ”selentingan” pernah ia dengar di ruang kelas.

Kediman pun belajar. Mencari bahan materi. Ia membaca dari berbagai sumber tentang “Sastra Sufistik”. Sebenarnya agak berat bagi Kediman karena ini masih sangat asing dan entah akan jadi seperti apa nanti saat kajian tiba. Karena Kediman memang sudah menyiapkan segalanya, pada malam itu ia berhasil melewati satu momentum penting dalam hidupnya: menjadi narasumber. Setelah itu ada semacam kesenangan berbicara di depan forum dan ia juga mulai mengikuti segala aktivitas kepenulisan dan kesusastraan baik di kampus maupun di luar kampus.

Zaman itu sastra cyber sedang mencuat. Sastra punya tempat di berbagai tempat: blog, medsos (FB terutama), dan web-web. Di sana, Kediman mulai akrab dengan media blog dan menulis banyak hal di sana. Karena memang ini sesuatu yang sudah ia lakukan sejak SMA—juga senang ilmu komputer—dunia cyber menjadi sesuatu yang tak lepas dari hidupnya. Apalagi Kediman punya laptop (buat di kampus) dan komputer (di rumah). Kediman juga sangat rajin bermain di warnet saat itu—karena belum ada wifi—dan kepincut mengikuti banyak kegiatan lomba menulis antologi buku. Akhirnya, beberapa tulisan Kediman masuk dalam antologi, bahkan ada adik kelasnya yang bilang bahwa pernah baca tulisan Kediman, dan buku itu dibeli di toko buku besar. Kediman makin melayang-layang. Sejak itu, ia makin menjadi-jadi.

Ada satu momentum tak terduga. Kala itu ada informasi kegiatan pelatihan cerpen selama seminggu di luar kota yang diselenggarakan oleh pemerintah. Kediman terpilih menjadi salah satu peserta. Ia bertemu dengan rekan-rekan dari berbagai daerah bahkan dari negara tetangga. Ia berjumpa dengan sastrawan-sastrawan hebat di sana. Selama seminggu ia dikarantina mengkaji dan membedah cerpen bersama dengan peserta lain, juga didampingi oleh para mentor sastrawan ternama. Dari sana, ia mendapatkan banyak pencerahan. Betapa pertemuan semacam ini membawa energi yang luar biasa baginya. Sepulang dari kegiatan itu, energi menulisnya menjadi sangat dahsyat. Karya-karyanya akhirnya dimuat di media massa. 

Kediman tak merasa puas dengan satu perjumpaan. Ia ingin mencoba dan berupaya mengikuti aktivitas lainnya: pertemuan dengan para penulis, para sastrawan, para pegiat literasi. Kediman pun akhirnya berkesempatan ikut beberapa pertemuan kepenulisan. Kadang tidak semua kegiatan ia sukai. Kadang baginya sangat menjengkelkan, misalnya kegiatan-kegiatan yang dalam satu ruangan penuh asap rokok, padahal pesertanya banyak juga perempuan. Ia agak muak dengan gaya-gaya orang yang sok dan si paling sastrawan dalam acara itu. Bahkan biar kelihatan seniman, kebanyakan rambut mereka sengaja urakan, atau pakai topi ala Sapardi atau Putu Wijaya. Kadang, baca puisi sesuka hati di sembarang tempat biar terlihat sastrawan bingit! Tapi, Kediman tetap ada rasa bahagia bisa bertemu dengan teman-teman barunya dalam acara meskipun acaranya tidak jelas arahnya—lebih ke arah euforia, hedonis, gaya-gayaan. 


Kediman sadar, barangkali itu sebuah fase teman-teman barunya itu, juga fase Kediman sendiri—fase yang mungkin berlaku bagi kaum apa saja: tua atau muda. Sebenarnya Kediman jarang memerhatikan konsep acara. Ia lebih senang berjumpa dengan wajah-wajah baru. Atau berniat sekadar reuni dengan kawan lama. Yang penting silaturahim, bisa jalan-jalan dan refreshing. Sering kali Kediman dan rekan-rekan barunya, usai kegiatan masih terus berkomunikasi dan bertukar pikiran, bahkan saling mengundang di kemudian hari, atau berbisnis proyek penerbitan buku, dan sebagainya. Jadi ada semacam simbiosis mutalisme. Barangkali ada juga yang membencinya.


Bagi Kediman, tak pernah ada yang sia-sia dari perjumpaannya dengan para penulis atau sastrawan di mana pun itu. Muda dan tua. Produktif dan tak produktif. Mereka yang ikut dengan niat pamer, atau sekadar ingin reuni, atau nongkrong semata, Kediman sekali lagi tak pernah ambil pusing. Semua punya jalan masing-masing. Seperti yang ia sampaikan di awal, tujuannya buat ngecas diri agar energi tidak habis. Sayangnya dan nyatanya, mungkin banyak juga temannya yang sepulang dari acara, malah melempem, hilang namanya, tak menulis dan berkarya lagi. Sebagian lagi tetap asyik ”beronani” dan berkata ”Setelah perjumpaan itu, aku sudah jadi sastrawan!”.

Sebagian lagi mencoba mengoneksi diri dengan orang-orang di sekitarnya, misalnya membuat klub baca, komunitas sastra, atau membuat media sastra. Juga mau berbaur dengan elemen masyarakat, bahkan pemerintah. Nah, dalam hati kecil Kediman, barangkali harusnya ini energi yang didapat setelah adanya ruang-ruang pertemuan itu. Bukan sekadar. Bukan pseudo. Bukan ajang swafotoan. Tapi, bener-bener ngecas diri. Kediman tahu, memang tidak semua orang punya pikiran semacam itu. Bisa jadi belum kepikiran, kira-kira kebermanfaatan apa yang akan dilakukan di masyarakat sepulang dari kegiatan semacam itu. Sebagiannya, mungkin kembali lagi ke kamar dan ”onani”.

Setidaknya, bagi Kediman, kalaupun tidak bermanfaat untuk lingkungan di sekitarnya dengan cara berbaur atau bermasyarakat, ia harus tetap punya energi menulis. Karena, hanya dengan itu bagi Kediman konektivitas dan keharmonisan dengan semesta bisa terjaga.

Kembali kepada persoalan konsep kegiatan-kegiatan entah sastra, kepenulisan, maupun literasi. Kediman pernah mengikuti satu kegiatan semacam jambore sastra. Pesertanya bukan hanya dari satu kalangan penyair saja, melainkan juga umum. Narasumbernya pun tak kaleng-kaleng. Asyiknya, dalam kegiatan ini, Kediman merasa sangat berbaur dengan para peserta yang hadir karena semua ikut terlibat tanpa ada satu pun yang hanya menjadi penonton. Peserta diajak untuk bersenang-senang bersama, bernyanyi bersama, berdiskusi bersama. Tidak ada satu agenda pun yang sia-sia. Saran Kediman, dalam ruang perjumpaan harusnya ruangnya seperti itu, tidak ada gep-gepan tua muda, sastrawan bukan sastrawan, dan seterusnya. 

Hingga kini, Kediman masih bertahan dalam dunia kepenulisan dan kesusastraan semata-mata bukan karena wajib ikut kegiatan ini dan itu, melainkan karena jiwanya memang sudah terlatih di sana. Kegiatan-kegiatan itu bagi Kediman tetap sangat perlu karena semacam ruang gembira—walaupun tak semua gembira. Ruang-ruang itu harus tetap hadir di tengah-tengah umat manusia agar hidup merasa tampak berguna. Merasa terseleksi menjadi bagian dari. Merasa terseleksi menjadi orang yang termasuk. Merasa tercatat dalam sejarah—meskipun dalam pikirannya sendiri. Kediman pun sering kali masih terjebak begitu. Seperti, ”Aku sudah menjadi” padahal sejatinya belum menjadi. Namun, kenyataannya Kediman sudah ke sana kemari diundang menjadi narasumber sastra dan kepenulisan, serta masih tetap produktif menulis—apa saja. Artinya, rentetan peristiwa Kediman sejak SMA hingga kini masih terjaga dan berkesinambungan. Ia tetap ada. Ia konsisten. Ia terus bergerak. Ia tidak ”onani”. Apakah ia layak disebut sastrawan? Wallahualam.

Oh, ya, apakah Anda tahu Kediman dan pernah bertemu Kediman? Atau minimal bertemu dengan orang yang punya karakter seperti Kediman, tolong kasih tahu saya.


Kiara, 30 September 2025


_____

Penulis


Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai dewan redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak—tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.


redaksingewiyak@gmail.com 

This Is The Newest Post