Friday, March 22, 2024

Cerpen Rifat Khan | Anas dan Kutukan Malin Kundang

Cerpen Rifat Khan



Anas bingung melihat kelakuan pamannya. Paman yang semula ia kenal sebagai sosok yang tegas, kini mulai berubah. Sekarang, pamannya suka joget. Jogetnya pun suka di sembarang tempat. Saat ada kumpul-kumpul serius dan bersosialisasi dengan warga, pamannya malah asyik joget. Anas lambat laun mulai resah. Joget sih joget, tapi ya musti ingat umur juga, pikir Anas. Anas sebetulnya sangat ingin menegur pamannya. Tapi ia takut, sebab baginya, tak elok seorang ponakan menegur seorang paman. Apalagi semalam, Anas baru saja tuntas membaca buku dongeng Malin Kundang. Ia takut jika pamannya murka dan bilang ia anak durhaka.


Memang, lelaki paruh baya yang ia panggil "paman" itu bukanlah bapaknya. Tapi Anas merasa kalau pamannya itu tak ubah seperti bapaknya sendiri. Pamannya dari dulu sangat baik sama Anas. Sewaktu kecil, Anas pernah ingin menaiki tangga, namun kaki Anas masih lemas saat itu. Pamannya perlahan menopang Anas, membimbing Anas dengan sabar, hingga Anas akhirnya bisa menaiki anak tangga. Saat Anas sudah di atas tangga, malah ia kentut. Suara kentutnya lumayan besar. Baunya menyeruak dan membuat pamannya yang sedang capek sehabis menuntun Anas ingin muntah. Hidung pamannya penuh oleh bau kentut Anas.


Paman Anas ingin mengumpat dan bilang bahwa Anas adalah Malin Kundang. Namun, pamannya bisa menahan. Ia khawatir jika sampai mengumpat. Apalagi jika sampai mengutuk Anas. Ia takut Anas menjelma batu dan tak ada lagi ponakannya yang lucu. Anas memang lucu. 


Selain lucu, Anas gemar membaca buku. Itu paling tidak sedikit membantu. Jika pamannya bingung akan makna sebuah istilah, pamannya tak perlu repot-repot membuka Google. Pamannya tinggal menanyakan saja kepada Anas, dan Anas pasti bisa menjawab dengan rinci. Meski hanya teori, tapi cukup membuat Anas terlihat pintar. 


Resah di dada Anas belum juga berkurang. Ia mulai mempertanyakan dari siapa dan ajaran siapa sehingga pamannya suka joget. Lambat laun, rasa resah di dada Anas bercampur dengan rasa pusing yang singgah di kepalanya. Anas berusaha bersandar di kursi, namun pusingnya semakin menjadi. Anas memutuskan untuk pergi ke warung Mpok Sadnah untuk membeli obat puyer sakit kepala.


***


Di warung, Mpok Sadnah terlihat murung. Kepala Mpok Sadnah dilanda kebingungan juga: bingung yang mana akan ia pilih nanti. Sebab pilkades tinggal menghitung hari. Anas muncul dan langsung memesan segelas air hangat dan puyer sakit kepala. Dengan langkah gontai, Mpok Sadnah berjalan untuk mengambil dan menyiapkan apa yang di pesan Anas. Anas menghela napas lumayan panjang. Dari kejauhan, tampak Ginanjar dan ibunya berjalan mendekat menuju warung. Anas mulai memiliki perasaan tak enak.


Dan benar saja, belum juga duduk, ibunya Ginanjar sudah menunjuk Anas dengan tangan kiri, "Saya ingatkan kamu, jangan pernah lagi bicara jelek tentang Ginanjar. Apalagi sampai menyebar fitnah!"


Anas terperangah. Memang, kemarin ia pernah bilang ke Randuse (tetangganya Ginanjar), kalau Ginanjar sok jadi muazin saat salat Magrib di musala. Anas juga bilang kalau Ginanjar hanya pencitraan saja agar dilihat orang-orang. Anas bingung, kenapa Ginanjar musti mengadukan hal-hal semacam itu ke ibunya.


Ibunya Ginanjar kemudian mendekat dan menjewer telinga Anas dengan cukup kuat. Anas meringis dan Ibunya Ginanjar berucap, "Ini adalah balasan atas segala fitnah dan gunjinganmu."


Mpok Sadnah hanya melongo menyaksikan itu. Ibunya Ginanjar kemudian mengajak Ginanjar pulang. Baru berjalan sepuluh langkah, Ginanjar menoleh ke arah Anas sembari mengolok dengan menjulurkan lidahnya. Ia terlihat sangat girang. 


Mpok Sadnah kemudian mendekat ke Anas dan bilang, "Memang gitu anak itu, apa-apa selalu bilang dan ngadu ke ibu. Dasar anak ibu. Eh, eh anak mami!"


Ucapan itu tak sedikit pun membuat Anas tenang. Ia dendam sama Ginanjar. Ia juga dendam sama Ibunya Ginanjar. Padahal, Anas sangat menghormati ibunya Ginanjar sebelumnya. Anas menyukai perjuangan keras ibu itu, juga menghormatinya sebagai perempuan yang tegas dan berani pada apa pun. 


Anas kemudian berjalan pulang. Di tengah jalan, saat melewati toko boneka, Anas berhenti sejenak. Ia memperhatikan salah satu boneka yang terpajang di etalase depan. Entah mengapa wajah boneka itu ia lihat persis seperti wajah Ginanjar. Ia pun mencoba menepis prasangka itu.


***


Sesampai di rumah, di kursi tamu, Anas melihat Jokoling sedang mengobrol serius dengan pamannya. Anas sedikit heran, sebab sepengetahuan Anas, pamannya dan Jokoling bertahun-tahun tak saling sapa. Kok sekarang akrab sekali, pikir Anas. Anas pun ikut duduk. Jokoling mulai bercerita tentang rencana pembangunan rumah barunya.


"Rumah yang lama sudah sesak, terlalu ramai, sering macet dan polusinya gak baik," ucap Jokoling. "Itu sebabnya, aku mau bikin rumah baru, rumah yang luas yang bisa ditempati oleh anak cucuku nanti, bahkan sampai tahun 2045," tambah Jokoling. 


Pamannya Anas tertawa lalu joget beberapa detik, dan akhirnya bicara, "Kalau menurut aku sih, itu rencana bagus. Aku juga punya rencana begitu. Aku sih yes. Coba tanya Anas dulu bagaimana pendapatnya?"


Jokoling tersenyum tipis, kemudian memandang Anas. Jokoling mengangguk sekali sebagai isyarat mempersilakan Anas mengutarakan pendapatnya. Anas pun bicara, "Maaf, sebelum saya kasih tanggapan, saya mau tanya dulu. Maaf juga sebelumnya, Paman dan Jokoling kan hampir tijuh tahun gak saling sapa, kok sekarang akrab sekali?"


Jokoling dan pamannya saling pandang dan saling memberi senyum. "Permusuhan dan hidup dalam dendam sungguh tak baik, sekarang kami adalah dua sahabat. Kami sadar, dua otak kalau digabung akan menghasilkan ide dan gagasan yang lebih baik," jawab pamannya Anas. Lelaki itu kemudian joget beberapa detik. Jokoling tertawa, tubuh kurusnya seakan ikut bergetar.


"Utarakan saja, apa pendapatmu?" ujar Jokoling menatap Anas.


"Mm... menurut saya, jika rumah yang lama masih layak untuk ditempati, alangkah baiknya jangan buru-buru bikin yang baru. Apalagi sampai ngutang, kan malu sama tetangga," Anis menunduk saat mengucapkan itu. Pamannya Anas dan Jokoling saling pandang tanpa tersenyum.


***


Esoknya, saat duduk di warung Mpok Sadnah, Anas mendengar gosip kalau hubungan Jokoling dan ibunya Ginanjar retak. Semua yang mendengar gosip itu heran, sebab semua orang tahu kalau Jokoling dan ibunya Ginanjar adalah dua sahabat baik. Bahkan bisa dikata lebih dari sahabat. Bertahun-tahun hubungan persahabatan mereka begitu indah. Ibunya Ginanjar sering membantu Jokoling, bahkan tak segan-segan membantu anak-anaknya juga.

 

Mpok Sadnah bilang, "Jokoling sekarang berubah, membuat Ibunya Ginanjar tak suka. Belum lagi, saat ibunya Ginanjar merayakan ulang tahun, Jokoling tak muncul batang hidungnya. Padahal denger-denger, ibunya Ginanjar sangat ingin Jokoling datang dan membawakannya hadiah boneka." 


"Oh, begitu?" Sumini menanggapi ucapan Mpok Sadnah.


Anas yang duduk lima meter dari mereka tiba-tiba teringat boneka yang ia lihat kemarin, boneka yang wajahnya mirip dengan Ginanjar. Ia mencoba menepis ingatan itu, tiba-tiba ia berucap dalam hati. 


"Untung ibunya Ginanjar bukan ibunya Jokoling. Bahaya kalau ibunya, bisa-bisa Jokoling dikutuk jadi batu juga seperti Malin Kundang."


Ginanjar masih saja duduk. Es teh di depannya tinggal setengah gelas. Sementara, Mpok Sadnah dan Sumini masih asyik bergunjing, namun suara mereka sekarang jauh lebih kecil. Tak cukup jelas terdengar sampai ke telinga Anas. 


***


Di rumah, Anas menemukan pamannya asyik joget di depan TV. Anas geleng-geleng. Menyadari kedatangan Anas, pamannya berhenti joget dan duduk di samping Anas. 


"Paman bahagia malam ini," ujar pamannya Anas memulai obrolan. 


Anas menghela napas dan menatap pamannya.


"Dari hasil survei di TV, pamanmu ini menang satu putaran," imbuh pamannya Anas.


"Paman yakin dengan survei-survei itu?" tanya Anas. 


"Sangat yakin. Orang-orang di desa ini sudah lama menginginkan Paman jadi kepala desa. Dan besok, setelah Paman, giliranmu yang akan memimpin desa ini," pamannya Anas menepuk-nepuk pundak Anas. 


"Hm... mungkin sebaiknya nanti dulu Paman. Umurku masih terlalu muda, gak mungkin aku bisa dicalonkan."


"Tenang saja. Kau tak perlu ragu. Apa yang tak mungkin jika pamanmu bertindak, apalagi Jokoling siap membantu kita. Kau adalah teladan generasi muda."


Anas batuk dua kali. Ia mencoba menggeser pembicaraan sedikit saja, "Hm... bagaimana dengan ibunya Ginanjar? Beliau kan sekarang gak bagus hubungannya dengan Jokoling. Sedangkan Paman sekarang dekat dengan Jokoling. Pasti ibunya Ginanjar gak akan memilih Paman besok, padahal basis suara di ibunya Ginanjar lumayan besar. Beliau punya perkumpulan arisan, punya perkumpulan olahraga balap karung, punya perkumpulan klub gosip. Lumayan banyak suara yang akan hilang dan dipastikan memilih kandidat lain."


"Emang gua pikirin!" pamannya Anas tertawa sehabis itu. Lalu berjoget sebentar.


"Maksud Paman?" 


Pamannya Anas lalu berbicara sedikit serius, "Begini, tak apa jikalau mereka tidak memilih Paman. Yang pasti, suara kalangan muda sudah dipastikan milik pamanmu ini. Jokoling sudah memastikan itu. Apa kau masih ragu dengan kehebatan Jokoling, hah?"


Anas terdiam. 


"Sudahlah. Mendingan kau tidur saja. Besok pagi-pagi kau bangun dan coblos muka pamanmu ini. Pagi-pagi Paman berangkat ke Rumah Pemenangan," pungkas pamannya Anas. 


Anas pun beranjak masuk ke kamar. Ia mencoba untuk tidur, tapi rasa kantuk sedikit pun belum datang. Ia membolak-balikkan badan, matanya tak juga terlelap. Sampai pada jam tiga tepat. Ia teringat ada final sepak bola antara Manchester City melawan Persib. Ia ambil hapenya dan mulai nonton streaming. Selesai menonton, jam dinding sudah menunjukkan pukul 04.50. Rasa kantuk mulai mendera. Ia atur alarm pukul 08.00 dengan volume paling besar. Sebab ia harus bangun untuk mencoblos. Setelah mengatur alarm, ia bisa tertidur pulas. Pulas sekali dan bangun pukul 15.00. 


Anas kaget saat melihat jam. Ia buru-buru keluar rumah. Di gang, orang-orang sibuk membicarakan hasil perhitungan suara. Anas dengan jelas mendengar kalau perolehan suara imbang: 20 ribu mencoblos pamannya, 20 ribu juga mencoblos pesaingnya. Anas tak bisa membayangkan bagaimana murka pamannya jika tahu kalau ia tak dapat mencoblos. Anas benar-benar takut jika pamannya akan mengutuknya menjadi batu seperti Malin Kundang. Meski di lubuk hatinya yang paling dalam, Anas mengharapkan pamannya akan berjoget menyikapi hasil perhitungan suara itu.


***


Majidi, 2024



________


Penulis


Rifat Khan lahir di Pancor, Lombok Timur, 24 April 1985. Ia menulis cerpen, puisi, serta beberapa kali terlibat dalam pertunjukan teater. Cerpen-cerpennya terbit, antara lain, di Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Nova, Padang Ekspres, detik.com, dan basabasi.co. Saat ini ia turut aktif di beberapa komunitas, antara lain Komunitas Rabu Langit. 


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com