Resensi Kabut
Para pengarang masa Orde Baru meraih kebanggaan, kebahagiaan, dan kesejahteraan dengan stempel pemerintah. Mereka tetap menulis teks sastra tapi memiliki kepentingan agar mendapat gelontoran duit dari pemerintah. Apakah itu bukti Soeharto memajukan kesusastraan di Indonesia? Kita agak sulit menjawab. Namun, adanya gelontoran dana besar ditentukan tanda tangan Soeharto dan stempel resmi kepresidenan, dilanjutkan ke tingkat kementerian.
Dulu, menulis buku tidak menjanjikan mendapatkan rezeki yang melimpah. Banyak penulis yang terjerat impian. Penerbit belum berani bersumpah bahwa menulis buku bakal memberi kesejahteraan. Padahal, para penulis biasa berharap kepada penerbit-penerbit agar buku-buku memberi bahagia melalui uang dan kemonceran.
Yang paham hidup dalam bualan pembangunan nasional memilih berada di arus kepentingan pemerintah. Mereka menulis buku untuk anak dan remaja, yang berharap lolos dalam stempel inpres (instruksi presiden, yang memungkinkan pembelian dan penyebaran buku oleh pemerintah.
Kita membuka buku kecil. Di sampul bagian dalam, yang tercantum: “Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penyediaan Buku Bacaan Anak-Anak Sekolah Dasar, Inpres No 6 Tahun 1984, Tahun Anggaran 1988/1989.” Keterangan menegaskan rezeki yang diperoleh penulis (Arswendo Atmowiloto) dan penerbit (Rosda, Bandung). Pada babak awal, Arswendo Atmowiloto banyak menulis buku untuk anak dan remaja. Beberapa laris di penerbit komersial. Beberapa mendapat kesejahteraan melalui proyek pemerintah Orde Baru.
Yang kita buka dan baca adalah novel berjudul Keluarga Bahagia (1988) gubahan Arswendo Atmowiloto. Novel yang tidak seterkenal Keluarga Cemara atau Imung. Apa misi pengarang yang mengisahkan keluarga untuk pembaca yang statusnya murid-murid di sekolah dasar? Mengapa tema itu diajukan saat pemerintah menginginkan keberhasilan proyek keluarga berencana dan seruan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera? Bila membaca judul saja, kita mengira Arswendo Atmowiloto sedang membuat penyuluhan melalui sastra. Pengarang boleh menjadi juru bicara atau juru cerita untuk kepentingan-kepentingan pemerintah?
Yang jelas novel itu memastikan Arswendo Atmowiloto mendapat duit tidak sedikit. Selanjutnya, kita menikmati cerita, yang memiliki pokok konflik: duit. Novelnya mengenai keluarga tapi penentuan nasib adalah duit. Jadi, kefasihan pengarang bercerita sering memuasat duit, yang membuat pembaca mengenali manusia yang tabah, sombong, serakah, jujur, dan lain-lain. Judul novel yang wagu tapi pembaca menerimanya ketimbang Arswendo Atmowiloto memberi judul “Keluarga Duit”.
Anak-anak yang membaca novelnya akan berpikiran bahwa keluarga ditentukan uang. Pada babak pemikiran dan renungan yang berbeda, murid SD yang membacanya dapat melakukan ralat. Yang terpenting dalam pembentukan keluarga bahagia tidak mutlak dan selamanya uang. Masalah-masalah itu membikin pembaca serius dalam tafsir dan mengadakan dialog bareng kaum dewasa. Novel yang terhormat jika menimbulkan percakapan dan debat oleh beberapa pembaca yang beda usia dan latar belakang sosial-kultural.
Arswendo Atmowiloto menampilkan tokoh bocah dalam keluarga miskin. Ia bernama Bonang. Bocah yang terbiasa menanggung dilema-dilema. Yang diceritakan Arswendo Atmowiloto lekas menjerat pembaca dalam kerumitan masalah dalam keluarga.
Bocah yang mengaku terdampak ayahnya yang sakit dan ibunya yang tabah. Ayah hanya berbaring, tidak dapat melakukan apa-apa. Sosok yang tidak bekerja menghasilkan nafkah. Sakitnya malah menghabiskan banyak uang, yang berakibat menambah jumlah utang. Ibunya dalam pengabdian, merawat dan berharap kesembuhan. Ibu yang harus mengurusi anak-anak. Bonang dan saudara-saudaranya butuh makan setiap hari. Mereka pun memerlukan ongkos sekolah. Keluarga yang ditimpa derita. Keluarga yang payah.
Bonang hidup dalam segala kebingungan. Ia bisa benci, marah, kecewa, dan menyesal tapi hidup dalam keluarga yang miskin adalah kenyataan. Ayahnya pernah bekerja tapi mengalami beragam masalah, yang membuatnya sakit parah. Ibu sebenarnya berasal dari keluarga yang mapan tapi “sengketa” telah menimbulkan kesengsaraan. Bonang perlahan mengetahui hubungan ibunya dengan nenek tidak harmonis. Hubungan bapak dengan neneknya malah lebih parah. Jadi, keluarga yang miskin itu sulit diselamatkan.
Anak-anak SD atau SMP yang membaca novel Keluarga Bahagia “dipaksa” melulu sedih dan prihatin. Para pembaca akan mudah kasihan dengan tokoh-tokoh yang diharuskan miskin. Tabah tidak cukup untuk membuat keluarga itu bertahan. Yang terjadi adalah pertengkaran atau konflik dalam keluarga sekaligus permusuhan dengan pihak-pihak di luar keluarga. Bonang yang masih murid SD menjadi tokoh yang dekat dengan para pembaca yang masih belajar di SD atau SMP. Pembaca dapat membayangkan perasaan dan pikiran Bonang.
Keluarga yang tidak selalu dapat makan setiap hari. Bonang disuruh minta nasi kepada paman untuk dimakan ayah. Ibu dan anak-anak jarang sekali makan nasi yang pantas dan kecukupan. Pengarang keterlaluan “menyiksa” pembaca memasuki pengalaman kemiskinan. Namun, novel ini penting ketimbang anak dan remaja mendengarkan pidato presiden, menteri, gubernur, atau bupati yang rajin membual bahwa mau mengentaskan kemiskinan. Bualan yang berlipat ganda, bukan terbukti secara kecil-kecilan.
Nasi buruk menimpa Bonang. Piring yang dia bawa ke warung paman hilang. Pokoknya pembaca percaya saja bahwa pengarang membuat peristiwa cukup mengejutkan, yang membuat piring itu hilang. Bonang terlalu sedih dan takut untuk pulang. Ia mengerti ayah bakal marah besar. Ayah yang sakit biasa marah.
Pembaca tidak usah membayangkan menjadi Bonang. Susah! Bonang tidak pulang. Situasi keluarga makin tidak keruan. Belasan halaman awal yang dibuat Arswendo Atmowiloto mustahil membuat pembaca tertawa. Pengarang yang “kejam”, yang menjebak para pembaca dalam petaka kemiskinan.
Apakah menceritakan kemiskinan dalam sastra anak dapat menimbulkan kepekaan sosial-ekonomi-kultural? Yang disasar untuk membaca novel adalah murid-murid SD masa Orde Baru. Jika pembaca itu berasal dari keluarga miskin, membaca novel gubahan Arswendo Atmiwoloto tidak akan membuatnya terkejut. Pembaca yang hidup dalam keluarga mapan mungkin pusing memikirkan nasib para tokoh dalam keluarga miskin. Yang hebat dari Arswendo Atmowiloto adalah mencipta tokoh ayah, ibu, dan anak-anak yang memiliki tumpukan masalah tapi tetap bersatu. Mereka berhasil dalam kesepakatan terus hidup bersama dalam duka dan duka. Urusan suka nanti dulu. “Penderitaan orang yang paling berat ialah penderitaan orang yang miskin,” kata ibu Bonang. Kalimat itu diyakini Bonang mengandung kebenaran yang tidak perlu dibantah.
Keluarga itu rapat dengan keputusan menjual rumah. Uang yang diperoleh untuk membayar utan. Sisanya untuk hidup sambil berharap ayah dapat bekerja lagi. Pengarang sengaja “memudahkan” penyelesaian masalah. Penjualan rumah itu jawaban bagi keluarga miskin. Mengapa masalah-masalah dalam novel seperti salinan dari dilema kemiskinan yang sering dibahas para pengamat sosial dan ekonomi di Indonesia? Konon, masih banyak keluarga miskin pada masa Orde Baru tapi rezim sering menutupi dan mengelabui. Malu kepada dunia!
Arswendo Atwmowiloto berhasil membuat protes kemiskinan melalui novel yang dibaca anak-anak. Ia tidak mau bersaing membela kaum miskin dengan puisi-puisi gubahan Rendra. Pada masa Orde Baru, banyak pengarang yang bertema kemiskinan. Arswendo Atmowiloto wajib tercatat, selain kemonceran melalui Keluarga Cemara.
Pengarang membuka aib besar warga miskin di Indonesia. Kita yang membaca merasa kasihan atau bertambah marah. Yang dikatakan ayah Bonang: “…. Tiap hari, utang kita makin besar. Kita sudah terjerat dalam utang rentenir yang tinggi bunganya. Kita membayar terus setiap saat. Jalan satu-satunya hanyalah membayar lunas.” Rumah dijual untuk membayar utang itu keputusan yang mendesak. Kita yang membaca kepikiran kemiskinan dan rentenir. Masalah itu berlaku sampai sekarang. Keluarga miskin adalah keluarga utang yang berbunga.
Usaha untuk menjadi keluarga bahagia masih sangat berat. Arswendo Atmowiloto “mengejek” pembaca melalui judul novel. Sedikit halaman saja, pembaca menemukan keluarga itu sempat bahagia. Uang dari sisa pembayaran utang digunakan membangun rumah bambu. Pembaca prihatin lagi. Keluarga miskin yang tidak bisa dikalahkan ketabahannya.
Bonang belajar pada ayah mengenai sikap hidup. Ayah memang sakit-sakitan dan miskin. Ayah yang ikut menyebabkan ibu dan anak-anak lama dalam kemiskinan. Namun, ayah menjadi teladan dari keberanian menghadapi masalah dan menunaikan hidup yang terjerat kemiskinan. Bonang justru mendapat banyak kesadaran dari sikap-sikap ayah, selain ketabahan ibu.
Yang diceritakan Arswendo Atmowiloto: “Ayah Bonang bukan sekadar memberi nasihat, tetapi juga dengan tindakan. Ayah bonang tidak malu menatap sinar matahari, yaitu tidak malu bertemu para tetangga, berbicara seperti biasanya. Meskipun kini semua tahu rumahnya hanyalah bambu…”
Novel berisi pelajaran-pelajaran kemiskinan. Novel yang dibeli pemerintah untuk dapat dibaca anak-anak di seantero Indonesia. Arswendo Atmowiloto melalui Keluarga Bahagia sebenarnya ikut memberi kritik terhadap kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru. Pengarang mengerti bahwa rezim memunculkan keluarga-keluarga kaya dan mencipta serakah tanpa batas berbarengan kemiskinan yang sangat sulit diselesaikan.
Dulu, bila novel itu berjudul “Keluarga Miskin”, sulit bagi Arswendo Atmowiloto untuk turut dalam pengadaan buku Inpres. Novel yang justru membua aib birokrasi, kaum modal yang doyan uang, kelemahan kaum miskin, dan lain-lain. Arswendo Atmowiloto mahir mengisahkan kemiskinan ditunjang biografinya. Jadi, para pembaca jangan terlalu cepat memuji bila pengarang melakukan riset yang panjang dan serius.
________
Penulis
Kabut, penulis lepas.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com