Showing posts with label Resensi. Show all posts
Showing posts with label Resensi. Show all posts

Saturday, September 6, 2025

Resensi Kabut | Orde Baru dan Keluarga Miskin

Resensi Kabut



Para pengarang masa Orde Baru meraih kebanggaan, kebahagiaan, dan kesejahteraan dengan stempel pemerintah. Mereka tetap menulis teks sastra tapi memiliki kepentingan agar mendapat gelontoran duit dari pemerintah. Apakah itu bukti Soeharto memajukan kesusastraan di Indonesia? Kita agak sulit menjawab. Namun, adanya gelontoran dana besar ditentukan tanda tangan Soeharto dan stempel resmi kepresidenan, dilanjutkan ke tingkat kementerian.


Dulu, menulis buku tidak menjanjikan mendapatkan rezeki yang melimpah. Banyak penulis yang terjerat impian. Penerbit belum berani bersumpah bahwa menulis buku bakal memberi kesejahteraan. Padahal, para penulis biasa berharap kepada penerbit-penerbit agar buku-buku memberi bahagia melalui uang dan kemonceran.


Yang paham hidup dalam bualan pembangunan nasional memilih berada di arus kepentingan pemerintah. Mereka menulis buku untuk anak dan remaja, yang berharap lolos dalam stempel inpres (instruksi presiden, yang memungkinkan pembelian dan penyebaran buku oleh pemerintah.


Kita membuka buku kecil. Di sampul bagian dalam, yang tercantum: “Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penyediaan Buku Bacaan Anak-Anak Sekolah Dasar, Inpres No 6 Tahun 1984, Tahun Anggaran 1988/1989.” Keterangan menegaskan rezeki yang diperoleh penulis (Arswendo Atmowiloto) dan penerbit (Rosda, Bandung). Pada babak awal, Arswendo Atmowiloto banyak menulis buku untuk anak dan remaja. Beberapa laris di penerbit komersial. Beberapa mendapat kesejahteraan melalui proyek pemerintah Orde Baru.


Yang kita buka dan baca adalah novel berjudul Keluarga Bahagia (1988) gubahan Arswendo Atmowiloto. Novel yang tidak seterkenal Keluarga Cemara atau Imung. Apa misi pengarang yang mengisahkan keluarga untuk pembaca yang statusnya murid-murid di sekolah dasar? Mengapa tema itu diajukan saat pemerintah menginginkan keberhasilan proyek keluarga berencana dan seruan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera? Bila membaca judul saja, kita mengira Arswendo Atmowiloto sedang membuat penyuluhan melalui sastra. Pengarang boleh menjadi juru bicara atau juru cerita untuk kepentingan-kepentingan pemerintah?


Yang jelas novel itu memastikan Arswendo Atmowiloto mendapat duit tidak sedikit. Selanjutnya, kita menikmati cerita, yang memiliki pokok konflik: duit. Novelnya mengenai keluarga tapi penentuan nasib adalah duit. Jadi, kefasihan pengarang bercerita sering memuasat duit, yang membuat pembaca mengenali manusia yang tabah, sombong, serakah, jujur, dan lain-lain. Judul novel yang wagu tapi pembaca menerimanya ketimbang Arswendo Atmowiloto memberi judul “Keluarga Duit”.      


Anak-anak yang membaca novelnya akan berpikiran bahwa keluarga ditentukan uang. Pada babak pemikiran dan renungan yang berbeda, murid SD yang membacanya dapat melakukan ralat. Yang terpenting dalam pembentukan keluarga bahagia tidak mutlak dan selamanya uang. Masalah-masalah itu membikin pembaca serius dalam tafsir dan mengadakan dialog bareng kaum dewasa. Novel yang terhormat jika menimbulkan percakapan dan debat oleh beberapa pembaca yang beda usia dan latar belakang sosial-kultural.


Arswendo Atmowiloto menampilkan tokoh bocah dalam keluarga miskin. Ia bernama Bonang. Bocah yang terbiasa menanggung dilema-dilema. Yang diceritakan Arswendo Atmowiloto lekas menjerat pembaca dalam kerumitan masalah dalam keluarga.


Bocah yang mengaku terdampak ayahnya yang sakit dan ibunya yang tabah. Ayah hanya berbaring, tidak dapat melakukan apa-apa. Sosok yang tidak bekerja menghasilkan nafkah. Sakitnya malah menghabiskan banyak uang, yang berakibat menambah jumlah utang. Ibunya dalam pengabdian, merawat dan berharap kesembuhan. Ibu yang harus mengurusi anak-anak. Bonang dan saudara-saudaranya butuh makan setiap hari. Mereka pun memerlukan ongkos sekolah. Keluarga yang ditimpa derita. Keluarga yang payah.


Bonang hidup dalam segala kebingungan. Ia bisa benci, marah, kecewa, dan menyesal tapi hidup dalam keluarga yang miskin adalah kenyataan. Ayahnya pernah bekerja tapi mengalami beragam masalah, yang membuatnya sakit parah. Ibu sebenarnya berasal dari keluarga yang mapan tapi “sengketa” telah menimbulkan kesengsaraan. Bonang perlahan mengetahui hubungan ibunya dengan nenek tidak harmonis. Hubungan bapak dengan neneknya malah lebih parah. Jadi, keluarga yang miskin itu sulit diselamatkan.


Anak-anak SD atau SMP yang membaca novel Keluarga Bahagia “dipaksa” melulu sedih dan prihatin. Para pembaca akan mudah kasihan dengan tokoh-tokoh yang diharuskan miskin. Tabah tidak cukup untuk membuat keluarga itu bertahan. Yang terjadi adalah pertengkaran atau konflik dalam keluarga sekaligus permusuhan dengan pihak-pihak di luar keluarga. Bonang yang masih murid SD menjadi tokoh yang dekat dengan para pembaca yang masih belajar di SD atau SMP. Pembaca dapat membayangkan perasaan dan pikiran Bonang.


Keluarga yang tidak selalu dapat makan setiap hari. Bonang disuruh minta nasi kepada paman untuk dimakan ayah. Ibu dan anak-anak jarang sekali makan nasi yang pantas dan kecukupan. Pengarang keterlaluan “menyiksa” pembaca memasuki pengalaman kemiskinan. Namun, novel ini penting ketimbang anak dan remaja mendengarkan pidato presiden, menteri, gubernur, atau bupati yang rajin membual bahwa mau mengentaskan kemiskinan. Bualan yang berlipat ganda, bukan terbukti secara kecil-kecilan.


Nasi buruk menimpa Bonang. Piring yang dia bawa ke warung paman hilang. Pokoknya pembaca percaya saja bahwa pengarang membuat peristiwa cukup mengejutkan, yang membuat piring itu hilang. Bonang terlalu sedih dan takut untuk pulang. Ia mengerti ayah bakal marah besar. Ayah yang sakit biasa marah.


Pembaca tidak usah membayangkan menjadi Bonang. Susah! Bonang tidak pulang. Situasi keluarga makin tidak keruan. Belasan halaman awal yang dibuat Arswendo Atmowiloto mustahil membuat pembaca tertawa. Pengarang yang “kejam”, yang menjebak para pembaca dalam petaka kemiskinan.


Apakah menceritakan kemiskinan dalam sastra anak dapat menimbulkan kepekaan sosial-ekonomi-kultural? Yang disasar untuk membaca novel adalah murid-murid SD masa Orde Baru. Jika pembaca itu berasal dari keluarga miskin, membaca novel gubahan Arswendo Atmiwoloto tidak akan membuatnya terkejut. Pembaca yang hidup dalam keluarga mapan mungkin pusing memikirkan nasib para tokoh dalam keluarga miskin. Yang hebat dari Arswendo Atmowiloto adalah mencipta tokoh ayah, ibu, dan anak-anak yang memiliki tumpukan masalah tapi tetap bersatu. Mereka berhasil dalam kesepakatan terus hidup bersama dalam duka dan duka. Urusan suka nanti dulu. “Penderitaan orang yang paling berat ialah penderitaan orang yang miskin,” kata ibu Bonang. Kalimat itu diyakini Bonang mengandung kebenaran yang tidak perlu dibantah.


Keluarga itu rapat dengan keputusan menjual rumah. Uang yang diperoleh untuk membayar utan. Sisanya untuk hidup sambil berharap ayah dapat bekerja lagi. Pengarang sengaja “memudahkan” penyelesaian masalah. Penjualan rumah itu jawaban bagi keluarga miskin. Mengapa masalah-masalah dalam novel seperti salinan dari dilema kemiskinan yang sering dibahas para pengamat sosial dan ekonomi di Indonesia? Konon, masih banyak keluarga miskin pada masa Orde Baru tapi rezim sering menutupi dan mengelabui. Malu kepada dunia!


Arswendo Atwmowiloto berhasil membuat protes kemiskinan melalui novel yang dibaca anak-anak. Ia tidak mau bersaing membela kaum miskin dengan puisi-puisi gubahan Rendra. Pada masa Orde Baru, banyak pengarang yang bertema kemiskinan. Arswendo Atmowiloto wajib tercatat, selain kemonceran melalui Keluarga Cemara.


Pengarang membuka aib besar warga miskin di Indonesia. Kita yang membaca merasa kasihan atau bertambah marah. Yang dikatakan ayah Bonang: “…. Tiap hari, utang kita makin besar. Kita sudah terjerat dalam utang rentenir yang tinggi bunganya. Kita membayar terus setiap saat. Jalan satu-satunya hanyalah membayar lunas.” Rumah dijual untuk membayar utang itu keputusan yang mendesak. Kita yang membaca kepikiran kemiskinan dan rentenir. Masalah itu berlaku sampai sekarang. Keluarga miskin adalah keluarga utang yang berbunga.


Usaha untuk menjadi keluarga bahagia masih sangat berat. Arswendo Atmowiloto “mengejek” pembaca melalui judul novel. Sedikit halaman saja, pembaca menemukan keluarga itu sempat bahagia. Uang dari sisa pembayaran utang digunakan membangun rumah bambu. Pembaca prihatin lagi. Keluarga miskin yang tidak bisa dikalahkan ketabahannya.


Bonang belajar pada ayah mengenai sikap hidup. Ayah memang sakit-sakitan dan miskin. Ayah yang ikut menyebabkan ibu dan anak-anak lama dalam kemiskinan. Namun, ayah menjadi teladan dari keberanian menghadapi masalah dan menunaikan hidup yang terjerat kemiskinan. Bonang justru mendapat banyak kesadaran dari sikap-sikap ayah, selain ketabahan ibu.


Yang diceritakan Arswendo Atmowiloto: “Ayah Bonang bukan sekadar memberi nasihat, tetapi juga dengan tindakan. Ayah bonang tidak malu menatap sinar matahari, yaitu tidak malu bertemu para tetangga, berbicara seperti biasanya. Meskipun kini semua tahu rumahnya hanyalah bambu…”


Novel berisi pelajaran-pelajaran kemiskinan. Novel yang dibeli pemerintah untuk dapat dibaca anak-anak di seantero Indonesia. Arswendo Atmowiloto melalui Keluarga Bahagia sebenarnya ikut memberi kritik terhadap kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru. Pengarang mengerti bahwa rezim memunculkan keluarga-keluarga kaya dan mencipta serakah tanpa batas berbarengan kemiskinan yang sangat sulit diselesaikan.


Dulu, bila novel itu berjudul “Keluarga Miskin”, sulit bagi Arswendo Atmowiloto untuk turut dalam pengadaan buku Inpres. Novel yang justru membua aib birokrasi, kaum modal yang doyan uang, kelemahan kaum miskin, dan lain-lain. Arswendo Atmowiloto mahir mengisahkan kemiskinan ditunjang biografinya. Jadi, para pembaca jangan terlalu cepat memuji bila pengarang melakukan riset yang panjang dan serius.


________


Penulis


Kabut, penulis lepas.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Saturday, August 30, 2025

Resensi Kabut | Anak dan Hutan

Resensi Kabut


Indonesia, negara yang senantiasa diceritakan dengan ungkapan-ungkapan indah. Pada masa lalu, beberapa peneliti asing berdatangan untuk masuk ke hutan-hutan. Mereka kagum melihat beragam flora dan fauna. Kedatangan bermisi ilmu. Yang meneliti hutan menyibak segala misteri yang ingin tersiarkan di dunia. Nusantara atau Indonesia adalah referensi yang sangat penting. Kedatangan para naturalis pada masa kolonial menghasilkan buku-buku yang menyumbang perdebatan ilmu di dunia, dari masa ke masa. Mereka moncer dan berpengaruh gara-gara hutan-hutan yang terletak di pulau-pulau Nusantara.


Hutan tidak selamanya indah, lebat, dan hijau. Pada akhir abad XX, kita mengetahi hutan adalah nestapa yang berkepanjangan. Pembakaran hutan sering terjadi, yang berakibat buruk untuk pelbagai negara. Kebijakan atau nalar bisnis dengan alih fungsi hutan untuk perkebunan dan beragam kepentingan ikut mempercepat hancurnya hutan-hutan. Pada abad XXI, hutan-hutan makin sengsara. Di Indonesia, ada undang-undang dan menteri yang mengurusi hutan tapi tiada kabar baik dan kegembiraan. Di setiap mendapat berita bertema hutan, kita lekas kecewa, marah, dan menyesal.


Kita tidak sedang memasalahkan hutan masa sekarang, yang terlalu sulit dipulihkan atau diselamatkan. Yang ingin kita mengerti adalah pemunculan hutan dalam suguhan sastra untuk anak. Artinya, anak-anak yang membaca cerita memiliki rasa ingin tahu dan menentukan sikap tentang hutan. Ada yang berseru pelestarian. Ada pula yang menginginkan pemajuan ilmu. Di hutan, ada masyarakat adat, yang semestinya mendapatkan hak-haknya. Yang menyedihkan tentu usaha besar dalam melindungi satwa dan pohon-pohon yang menandai peradaban dunia.


Yang kita baca adalah buku tipis berjudul Di Tengah Hutan Jati (1969) gubahan Trim Sutidja. Buku yang enteng bila berada di tangan anak-anak. Yang membaca sambil tiduran tidak bakal kerepotan. Buku yang diterbitkan Balai Pustaka itu ringan dalam penampilan tapi memiliki bobot-bobot “berat” dalam tema dan bujukan pemaknaan.


Buku cuma memuat tiga cerita pendek. Yang awal adalah cerita berjudul “Di Tengah Hutan Jati”. Kita diperkenalkan dengan anak-anak yang suka menggembala sapi. Perkenalan yang mengesankan: “Apabila sapi-sapi mereka telah dilepaskan di tengah hutan jati, maka tenanglah sudah hati mereka. Dan, anak-anak gembala itu boleh bermain sesuka hatinya: bentik, dam, tiga. Mereka tidak perlu khawatir lagi sapinya akan hilang. Sebab, kawanan sapi itu selalu akan berkumpul mengikuti beberapa induknya.” Anak-anak yang riang sebagai gembala. Mereka tidak lupa bermain agar hari-harinya tidak hanya lelah.


Di hutan, sapi-sapi mudah menemukan makanannya. Para gembala tidak terlalu direpotkan. Masuk hutan berarti mendapat kesenangan dan makanan. Anak-anak biasa mendapatkan kenikmatan-kenikmatan selama di hutan. Kenikmatan yang tampak adalah buah-buahan. Yang mereka inginkan adalah buah nangka. Di situ, banyak pohon nangka yang menggiurkan. Ada yang bercerita bahwa bapaknya memetik nangka yang dibawa pulang untuk dibikin gudeg. Selain pohon nangka, ada pohon buahan-buahan yang lain. Namun, anak-anak sedang kepincut nangka.


Tiga gembala di hutan menunaikan misi: “Suara genta sapi-sapi kedengaran tidak jauh dari sana. Bergema menambah keindahan suasana di tengah hutan. Di sela nyanyi burung tekukur, burung murai, kokok ayam jantan dan gurau kera-kera di dahan-dahan. Di tengah nyanyi segala margasatwa. Membikin perasaan di hati menjadi damai dan tenteram. Angin bertiup membawa kesegaran udara hutan yang sangat nyaman.” Pembaca dibuat iri, berharap bisa ikut para tokoh untuk berada dalam hutan. Pengarang yang memberi gambaran suasana mengena, memicu rasa ingin tahu pembacanya ikut belajar tentang hutan.


Kalimat-kalimat yang melukiskan: “… Di sana, hampir tidak pernah diinjak oleh kaki manusia. Bukit itu tidak begitu tinggi. Pohon-pohon jati di bukit ini terhitung tua-tua. Bahkan di puncaknya tumbuh sebatang pohon jati yang konon ceritanya yang paling tua di seluruh hutan. Di lereng bukit, terdapat sebuah jurang. Di tebing-tebing jurang tumbuh beberapa pohon nangka dengan suburnya. Tempatnya sangat terasing. Tidak semua gembala mengetahuinya. Ke sinilah tujuan ketiga anak gembala.” Kita membayangkan pemandangan itu tampil dalam lembaran foto atau tayangan film. Para gembala yang berani dan beruntung. Mereka berhasil mendapatkan nangka. Yang kita mengerti, anak-anak pasti belajar macam-macam mengenai flora dan fauna di hutan. Mereka berilmu selain menggembala sapi.


Pengarang tidak menggamblangkan bahwa dalam keseharian mereka adalah murid yang memiliki kewajiban-kewajiban di sekolah. Kita dibuat senang menbaca cerita anak yang tidak usah terlalu mementingkan belajar atau menggunakan latar sekolah. Mengapa Trim Sutedja seperti mengenalkan kegembiraan yang berfaedah ketimbang memusat di sekolah? Yakinlah tiga gembala bahagia tanpa buku pelajaran, seragam, dan tugas-tugas yang bikin pusing.


Cerita yang kedua tetap hutan. Pengarang tampak melakukan penyadaran hutan agar anak-anak yang membacanya ikut memiliki hutan yang lestari. Pembaca mendapat tiga tokoh anak yang bernama Tana, Jana, dan Jita. Mereka tidak berada di lingkungan sekolah. Cerita yang tidak ada sangkut pautnya dengan propaganda politik-pendidikan.


Yang terpuji adalah kemauan mereka: “… bersepakat untuk menempuh jarak antara kampung mereka ke kota Y, yang jauhnya lima puluh kilometer dengan jalan kaki. Memang aneh kedengarannya. Tetapi, bagi mereka bertiga, berjalan kaki merupakan kegemaran. Apalagi bila malam terang bulan. Kesempatan demikian jarang sekali mereka lewatkan dengan begitu saja.” Mereka yang bisa membaca tanda-tanda alam. Yang membuat mereka bahagia adalah berjalan, bukan mengadakan kesenangan-kesenangan yang pasif dan konsumtif.


Perhatikan pengakuan bahwa jalan kaki itu kegemaran. Berarti mereka terbiasa pergi berjalan kaki, tidak memiliki ketergantungan pada sepeda onthel, sepeda motor, atau mobil. Anak-anak yang memuliakan kaki, percaya kaki itu punya kekuatan yang memberi kegirangan yang melebihi pamrih turis atau pelancong.


Imajinasi yang indah: jalan kaki di bawah cahaya bulan. Mereka tidak hidup di kampung yang berlimpah cahaya lampu. Cerita yang menimbulkan kekaguman atas keberanian berjalan kaki saat malam dengan cahaya dari langit. Namun, ada bantuan senter bila memang gelap. Mereka melakukannya saat liburan. Jadi, masalah sekolah hanya sedikit sekali muncul dalam cerita. Pengarang mungkin menganggapnya tidak penting.


Perjalanan melewati hutan jati. Pada tengah malam, mereka memasuki hutan. Perjalanan sudah dua puluh kilometer. Mereka membutuhkan kekuatan, keberanian, dan kesanggupan melawan kantuk. Di tengah perjalanan, mereka digoda oleh pengendara mobil, yang ingin mengajak mereka menumpang saja ketimbang jalan kaki. Tekad sudah bulat. Mereka menanggapi godaan dengan tetap jalan kaki. Pembaca membayangkan lelah dan gairah yang bercampur.


Renungan yang dimunculkan pengarang: “Dan, bulan yang lemah lembut itu seolah-olah tetap mengajaknya terus berjalan berdampingan. Sampai saatnya ia nanti terbenam di balik bumi sebelah barat. Apalagi mereka telah mengambil keputusan jalan kaki itu kegemaran dan olah raga.” Peristiwa yang puitis. Anak-anak yang berani membuat keputusan dan sadar risiko. Pada bulan, mereka merasa mendapat dukungan untuk sampai ke alamat dengan jalan kaki.


Di hutan, mereka sudah mafhum bakal bertemu pelbagai binatang. Ada binatang yang mungkin membuat mereka takut atau gagal sampai tujuan. Siasat bertahan dan melawan sudah dipelajari. Tiga anak yang tidak gentar. Anak-anak yang membaca cerita mereka pasti ingin ikut mengalami berjalan kaki melintasi hutan saat malam. Yang menjengkelkan adalah keinginan itu dapat penolakan dari orang tua atau pihak-pihak yang meragukan kemampuan anak-anak.


Di akhir cerita, mereka berhasil keluar dari hutan dengan selamat. Waktu pun berubah, Kondisi mereka tidak lagi perkasa, Yang sulit dilawan adalah kantuk. Mereka berjalan dengan rasa mengantuk saat mengetahui fajar telah merekah. Sampai di kota Y dengan kelegaan dan ketulusan untuk lekas menerima cahaya matahari.


Cerita yang ketiga tetap menghadirkan hutan tapi tokoh yang terpenting adalah Pak Buang, sosok yang tua dan merasa sudah selesai dalam pekerjaan menjaga palang kereta api di suatu kampung. Ia ingin menikmati hari-hari tua dengan pulang ke gunung. Anak-anak menyukai Pak Buang yang mahir mendongeng saat ditemani anak-anak menjaga palang kereta api. Hutan tetap terimajinasikan meski pembaca tidak mendapat pengisahan panjang mengenai anak-anak.


Pada saat menulis cerita dan terbit, Trim Sutedja mungkin mengetahui nasib hutan-hutan di Indonesia. Penguasa baru yang menggantikan Soekarno sedang getol dengan pembangunanisme, yang bakal mewujud besar-besaran pada masa 1970-an. Buku itu cetak ulang pada 1974 dan 1977, yang mengartikan dampak dan makna cerita bisa berkaitan risiko pembangunanisme di Indonesia.


________


Penulis 


Kabut, penulis lepas.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 

Saturday, August 23, 2025

Resensi Kabut | Petani dan Tentara

Resensi Kabut



Selama bulan Agustus, anak-anak bersuka cita. Yang membuat mereka memiliki hari-hari bergairah adalah beragam lomba. Di Indonesia, Agustus berarti hari-hari yang berisi lomba-lomba: serius atau lucu-lucuan. Peserta yang berbahagia dan ambisius adalah anak-anak. Sejak dulu, ada puluhan lomba “tetap” yang membuat anak-anak menghitung jumlah kemenangan yang bisa diraihnya. Kalah dalam lomba Agustusan bikin kecewa dan malu. Pokoknya, anak-anak ingin menang dan mendapat hadiah atas nama perayaan kemerdekaan.


Artinya, sejarah bagi anak-anak adalah keceriaan yang tiada putus. Yang diinginkan adalah ikut lomba, menang, dan mengumpulkan hadiah sebanyak-banyaknya. Serunya lagi bila kemenangan diumumkan kepada warga sekampung. Pemenang bakal terkenal dan bangga, menjadi cerita di kampung. Kemerdekaan adalah kesenangan untuk anak-anak.


Namun, anak-anak kadang agak cemberut dan malas-malasan. Mengapa mereka ingin senang mutlak, tidak boleh ada gangguan? Pada setiap 17 Agustus, anak-anak yang menjadi murid di SD dan SMP diwajibkan ikut upacara. Mereka hadir dalam upacara, tidak boleh membolos dengan alasan tidak bermutu! Padahal, anak-anak memilih lomba, bukan upacara yang bikin lelah dan tersiksa panas matahari.


Anak-anak tidak bisa membantah. Ikut lomba sampai lelah itu hak tapi menjadi peserta upacara itu wajib. Yang menghibur mereka adalah panggung Agustusan. Di situ, ada pidato, pentas seni, paduan suara, dan lain-lain. Apakah semua itu cukup untuk merayakan kemerdekaan? Yang jarang disuguhkan kepada anak-anak adalah cerita bereferensi sejarah atau masa lalu. Kita tidak mengharuskan ada hari-hari khusus bercerita atau mengajak anak-anak membaca buku agar Agustus makin bermakna.


Kita membayangkan ada anak-anak yang menyempurnakan pengalaman Agustus dengan membaca buku berjudul Kenang-Kenangan di Jaman Perang (1977) yang ditulis oleh Hardjana HP. Buku tipis, yang tidak perlu dikhatamkan selama tujuh hari. Satu atau dua jam saja sudah bisa rampung dibaca. Buku diterbitkan Rora K, Jakarta. Pembaca yang paham bahasa Indonesia segera mengoreksi judul. Pembaca berpendapat penulisan yang benar adalah “zaman”, bukan “jaman”.


Buku berisi “kenangan”, tidak menyebutkan sebagai “sejarah” atau “fiksi”. Kenangan berlatar sejarah, yang mengingatkan pembaca tentang suka dan duka kemerdekaan. Kenangan memuat yang benar tapi memungkinkan khayalan, bisa pula kekeliruan dalam kesesuaian dengan “data-data” sejarah. Kenangan bisa dibaca sambil pembaca membuat ralat, bantahan, atau tambahan.


Merayakan Agustus dengan membaca kenangan mungkin tidak terlalu menggembirakan jika jelek dan banyak “salah”. Kita mulai dari paragraf pertama: 


“Waktu itu umurku 13 tahun. Aku masih duduk di bangku sekolah dasar klas V. Sebab itu aku belum mengerti, apa sebenarnya yang sedang terjadi di tanah air kita dikala itu. Hanya ayah dan ibuku yang berkata bahwa negara kita Indonesia sedang berperang melawan penjajah.” 


Pembaca yang pintar dalam pelajaran Bahasa Indonesia membuat koreksi. Pengarang menulis “klas”, seharusnya “kelas”. Ada kesalahan lagi: “dikala” semestinya ditulis “di kala”. Paragraf pertama sudah meragukan dalam bahasa, memicu ragu dalam mutu cerita.


Kenangan yang ditulis Hardjana HP bukan bertahun 1945 tapi 1949. Kenangan yang tetap saja dipicu peristiwa 17 Agustus 1945. Murid-murid yang mendapat pengajaran sejarah mungkin ingat peristiwa-peristiwa penting setelah pembacaan Teks Proklamasi. Yang ingat akan merasa mudah membaca buku yang berhak mendapat banyak ralat.


Yang dikisahkan berlatar dusun di pegunungan Menoreh, yang kedatangan banyak pengungsi akibat perang: 


“Orang-orang kota itu tentu dengan susah payah mendaki gunung. Sudah berharian mereka berjalan tanpa berhenti. Peperangan ini terjadi di tahun 1949. Orang menyebutnya clash kedua. Adapun chlas kesatu terjadi di tahun 1947. Pada tahun-tahun ini kendaraan pengangkut penumpang belum begitu banyak… Jadi dapat dibayangkan bagaimana para pengungsi itu menahan lapar dan letih, menempuh perjalanan puluhan kilometer dengan langkah kakinya.”


Situasi sulit menimpa banyak orang yang tinggal di dusun maupun para pengungsi yang berdatangan dari kota. Yang sangat diperlukan adalah pangan. Hari-hari yang buruk masih mengisahkan kebaikan dan kebersamaan. Para pengungsi kehabisan uang dan makanan. Maka, mereka menjual barang-barang kepada warga dusun agar dapat digunakan membeli makanan.


Hardjana HP menceritakan: 


“Mendengar ratap seperti itu banyak pula penduduk yang tetap tak tega. Terpaksa harus menolong lagi dan memberikan sebagian dari berasnya yang sudah menipis. Kebetulan sekali waktu itu sawah tak begitu memuaskan hasilnya.” 


Desa atau dusun itu sumber pangan. Yang tinggal di situ adalah petani. Pembaca diminta meyakini kultur agraris, yang menguak masalah pangan sekaligus sikap hidup. Para petani tidak diceritakan dalam pamrih cari untung sebesar-besarnya tapi mempertimbangkan nasionalisme dan kemanusiaan.


Hari-hari kehidupan warga dusun dan para pengungsi makin seru dengan hadirnya para tentara. Berbaur bersama warga, para tentara berbagi cerita dan turut dalam kesibukan-kesibukan demi kepentingan bersama. Pada masa Orde Baru, jenis bacaan yang dihasilkan oleh Hardjana HP menyatakan keunggulan tentara atau militer dalam sejarah (kemerdekaan) Indonesia. Pengertian itu secara serius diajarkan di sekolah-sekolah dan dipropagandakan dalam masyarakat. Yang dimengerti adalah tentara sangat menentukan kemerdekaan Indonesia.


Pembaca kenangan-kenangan yang diajak mengetahui situasi 1949 cukup mendapatkan penjelasan-penjelasan penting yang disampaikan para tokoh. Pembaca mungkin mudah bermufakat merujuk yang disampaikan tokoh anak bernama Siswanto: 


“Seorang tentara ternyata mempunyai tugas yang berat. Dia harus mau merelakan nyawanya di saat negara membutuhkan dan ibu pertiwi dalam bahaya. Ibuku pernah berkata bahwa seorang tentara yang meninggal di medan laga tentu akan naik surga. Dia disebut pahlawan atau bunga bangsa.” 


Murid-murid yang membaca buku Hardjana HP terduga percaya dan terpengaruh untuk bercita-cita menjadi tentara.


Anak-anak yang ada di dusun (Samigaluh) terpesona menyaksikan para tentara. Mereka mendapat banyak cerita yang mengesankan dari para tentara. Pertemuan petani dan tentara di dusun menimbulkan pemahaman bagi anak-anak: 


“Petani dusun seperti kami kemampuannya hanya menyandang cangkul dan menggiring kerbau ke sawah. Mana mungkin kami bisa menggunakan senjata dan pistol? Meski begitu, jadi petani pun mulia.”


Yang terbayangkan oleh para pembaca bahwa sejarah Indonesia tercipta bukan hanya oleh tentara. Petani juga berperan besar dalam ketersediaan pangan selama perang dan usaha menjaga kedaulatan Indonesia. Bila kita membuka ingatan bersumber biografi dan pidato-pidato Soeharto, maka petani dan tentara memang dipentingkan di Indonesia. Dulu, Soeharto lahir di desa, mengaku sebagai anak dari keluarga petani. Akhirnya, ia menjadi tentara, yang berlanjut menjadi presiden.


Yang diceritakan adalah perang. Kehancuran dan kematian selalu terkandung dalam perang. Di Samigaluh, banyak kerusakan yang terjadi. Sekolah termasuk yang terkena serangan: hancur dan rusak parah. Akibatnya, pengajaran untuk murid-murid diadakan di rumah-rumah penduduk. Belajar tetap dipentingkan agar anak-anak di desa mendapat banyak ilmu, yang nantinya digunakan dalam memajukan Indonesia. Cerita mengenai belajar itu mungkin menyemangati para pembaca yang berstatus murid SD pada masa pembangunan nasional. Penyesuaian belajar selama perang dilakukan: “Sekolah itu masuk siang hari dan pulangnya sore. Maksudnya, diwaktu pagi agar bisa digunakan oleh anak-anak untuk membantu orang tuanya di sawah atau di ladang atau mencari rumput untuk hewan piaraan.”


Sampai di tengah buku, para pembaca mendapat imajinasi perang dan dampaknya di dusun. Kenangan yang memuat banyak penderitaan tapi ditanggapi dengan keberanian dan ketabahan. Bacaan yang cocok untuk menegaskan makna kemerdekaan dan kedaulatan. Anak-anak yang membacanya akan makin menghormati pengorbanan tentara, petani, guru, dan lain-lain. Ingat, Indonesia itu mulia oleh segala pengorbanan banyak pihak yang tidak sia-sia.


Selama perang, anak-anak belajar prihatin. Yang paling terasa adalah makanan. Beras cepat habis. Maka, warga pun harus prihatin: makan singkong atau jagung. Yang terbiasa makan nasi wajib menyadari bahwa perang menghancurkan sawah dan membahayakan petani yang ingin tetap bekerja di sawah. Perang adalah kesengsaraan. Bagaimana nasib anak-anak selama perang? Hardjana HP memang mengisahkan anak-anak yang terdampak perang tapi mereka tetap menyusun biografinya yang seru: bermain, belajar, membantu orang tua, dan ambil (sedikit) peran dalam perang.


Buku berjudul Kenang-Kenangan di Jaman Perang memiliki 43 halaman. Bacaan yang pendek. Namun, pengarang menjejali para pembaca dengan beragam pesan, yang berat dan mengesankan mirip petuah-petuah pemerintah berkaitan sejarah Indonesia dan usaha mewujudkan pembangunan nasional.


________


Penulis 


Kabut, penulis lepas.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Saturday, August 16, 2025

Resensi Kabut | Anak dan Perang

Resensi Kabut



Pada masa kecil, “perang” itu permainan. Anak-anak melakukannya di kebun, sawah, atau pekarangan. Aneh, anak-anak itu tidak takut “perang”. Mereka malah menciptakannya dengan dramatik dan angan heroisme. Yang tampak adalah mereka mendadani diri mirip serdadu, gerilyawan, jenderal, atau prajurit. Senjata yang digunakan bisa apa saja. Maksudnya, benda-benda yang diperoleh di dapur atau gudang digunakan untuk senjata. Benda mendapat nama baru agar perang-perangan menjadi seru. Jadi, mereka mudah menyebut benda-benda itu bedil, tombak, pedang, dan lain-lain.


Dari mana anak-anak mendapat sumber belajar tentang perang? Mereka menonton televisi, yang menyiarkan film-film bertema perang. Ada yang mengetahui perang dari buku-buku pelajaran. Banyak sumber yang digunakan anak untuk bermain perang-perangan. Di Indonesia, anak-anak yang bermain perang-perangan itu seolah-olah (ingin) ingat sejarah atau membuat “imitasi” berbekal imajinasi yang klise.


Perang mengajarkan anak-anak tentang menang dan kalah sekaligus hidup dan mati. Perang adalah darah, jeritan, air mata, ratapan, doa, makian, dan lain-lain. Perang pun memiliki lagu-lagu. Pokoknya, perang adalah peristiwa yang (sangat) diminati anak-anak sebelum mereka mendapat teknologi mutakhir dengan permainan-permainan tanpa mereka berkeringat, berdebu, jatuh di tanah, atau berlumpur. Mereka tetap saja terobsesi perang. Anak-anak malah bermimpi perang, yang menempatkannya sebagai tokoh penting dalam pengorbanan dan meraih kemenangan.


Anak-anak yang belajar di SD atau SMP kadang berkunjung ke perpustakaan. Kunjungan bukan hanya gara-gara penugasan oleh guru. Bayangkan ada beberapa anak yang tidak jajan ke kantin tapi memilih duduk di perpustakaan untuk beberapa menit! Mereka mungkin tidak punya uang saku tapi bisa menikmati menit-menit istirahat di perpustakaan: “jajan” cerita. Yang dilakukan adalah membaca buku-buku yang tersedia di perpustakaan. Pada masa Orde Baru, ratusan atau ribuan buku untuk anak dan remaja biasanya bercap milik negara. Artinya, buku tidak diperdagangkan. Yang membeli atau menyediakan adalah pemerintah, yang menyebarkannya ke ribuan perpustakaan di seantero Indonesia.


Maka, ada anak yang mengambil buku di rak. Buku tipis itu berjudul Anak Gerilyawan (1978) gubahan Marcus AS. Yang menerbitkan Pustaka Jaya. Buku cerita yang cocok dibaca selama Agustus. Judul buku sudah menunjuk latar atau suasana perang yang terjadi di Indonesia masa lalu. Anak yang memilih dan membacanya tidak segera menuduh bahwa buku berisi propaganda sejarah yang dibuat rezim Orde Baru. Anak belum berpikiran jauh. Ia hanya menuruti penasaran mengenai perang. Pada suatu hari, buku menjadi referensi untuk mencipta permainan perang bersama teman-teman.


Sampulnya bergambar ibu dan anak. Pastinya gambar anak yang yang mengesahkan judul novel: Anak Gerilyawan. Mengapa gambar si gerilyawan tidak ditampilkan di sampul depan agar menambah hebohnya imajinasi perang? Padahal, gambar si gerilyawan jika tidak dicetak di sampul depan bisa ditaruh di sampul belakang. Aneh, sampul belakang kosong, tiada gambar dan kata.


Cerita untuk anak menampilkan tokoh anak. Wajarlah! Tokoh anak itu bernama Amir. Ia dan ibunya pindah ke kota, meninggalkan desa. Ibu berharap menemukan ayah di kota. Amir kadang percaya dengan omongan-omongan ibunya. Namun, beberapa kali ia punya rasa ingin tahu yang besar tapi tidak terjawab secara cepat. Ibunya menyimpan rahasia.


Cerita yang mengandung rahasia memang menarik perhatian. Marcus menyadarinya dengan membuka cerita memiliki cicilan misteri: “Sejak kedatangannya di kota kecil itu, perempuan yang menyewa petak Haji Jafar, menjadi pembicaraan tiap orang. Banyak orang yang mengambil kesimpulan yang bermacam-macam. Maklum perempuan itu masih muda. Cantik pula wajahnya. Orang laki-laki membicarakan kecantikan wanita itu. Sebaliknya, kaum wanitanya. Menjadi iri karenanya.”


Anak-anak yang membaca novel sedikit tersenyum sambil bertanya: “Benarkah ini cerita tentang perang?” Pembukanya mirip skandal asmara yang terjadi akibat kedatangan orang baru di kota. Anak mungkin menunda dulu tuduhan bahwa asmara yang akan berkuasa dalam cerita. Judul dan gambar di sampul tidak mengarah ke asmara. 


Yang datang ke kota itu adalah perempuan muda bersama anaknya yang bernama Amir. Nasib Amir juga buruk. Ia mendapat ejekan dari para tetangga atau tatapan yang membenci. Dua tokoh yang harus menderita sejak halaman pertama. Apakah itu siasat pengarang agar para pembacanya mau mengikuti penasaran sampai halaman terakhir?


Dua sosok yang dibenci para tetangga. Omongan-omongan yang sembarangan mendefinisikan mereka sebagai masalah. Kedatangan yang tidak mendapat sambutan baik tapi “permusuhan”. Ibu dan anak yang tidak dikehendaki untuk turut hidup sejenak di kota dalam situasi perang. Ibu dan anak berusaha sabar, tidak gegabah menjawab semua kecurigaan para tetangga.


Amir masuk ke sekolah sebagai murid baru. Ia kesulitan mendapatkan teman. Cerita yang sering menampilkan tokoh-tokoh menderita biasanya mendapat perhatian pembaca. Tokoh yang akan dikasihani dan diharapkan akhirnya berbahagia. Derita-derita yang dialaminya adalah syarat atau keniscayaan.


Di sekolah, Amir mendapat dua teman. Ia cukup bahagia meski harus berhadapan dengan gerombolan yang memusuhi. Akibatnya, Amir menjadi sasaran ejekan. Amir dalam situasi yang sulit. Pengarang segera memunculkan perkelahian, yang membuat benar dan salah agak terlihat. Amir ikut terlibat dalam perkelahian. Penyebab yang menyakitkan: Amir dibilang anak haram. Yang menuduh punya “bukti” bahwa Amir tidak memiliki bapak.


Pembaca diminta sabar. Cerita belum sampai perang. Bila yang membaca anak, masalah perkelahian memberi kesan besar yang patut ditafsirkan. Pengarang memberi peran untuk beberapa tokoh anak, yang dapat menjadi renungan. Harjo mau bersahabat dengan Amir, membuat pembelaan: “Jangan begitu, Sidik. Tak baik menghina sesama makhluk Tuhan!” Pembelaan yang menimbulkan ledekan susulan. “Sejak kapan kau jadi kiai?” bertanya Sidik dengan mulut dicibirkan. Kita membayangkan anak-anak yang akan berkelahi bersenjatakan kata-kata dulu dan pamer tampang.


Mereka tidak langsung terbakar marah, “Musyawarah” terjadi untuk memastikan terselenggaranya perkelahian. Kesepakatan yang dibuat adalah perkelahian bukan di sekolah tapi di kuburan tua. Jadwalnya setelah pulang dari sekolah. Anak-anak yang masih memiliki akal sehat.


Perkelahian tidak asal pukul atau tendang. Ada tanda-tanda yang membuat mereka mengawali atau meladeni. Pengarang tampak sudah melakukan pengamatan bertema perkelahian. Jadi, babak berkelahi dalam novel dinilai bermutu. Kita membayangkan menjadi penonton dua kubu yang mau berkelahi di kuburan tua, yang adegan awalnya: “Harjo meludah ke tanah. Perbuatan ini dianggap oleh Sidik dan kawan-kawannya sebagai penghinaan. Mereka juga meludah ke tanah.” Meludah itu tantangan. Meludah itu penghinaan.


Kesepakatan mendadak pun dibuat untuk memulai perkelahian. Sidik berseru: “Siapa yang lebih dahulu memegang hidungnya dia jagoan!” Peristiwa yang unik. Perkelahian mirip “lomba”. Hidung menjadi sasaran agar perkelahian segera terjadi dalam penentuan yang menang dan kalah.


Perkelahian berbeda dengan perang. Marcus sebenarnya bercerita perang demi kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Di babak awal, ia tetap memberi hak para pembaca (anak) yang tidak segera memasuki masalah-masalah kaum dewasa. Anak-anak yang berkelahi yang membuat novel dapat berpengaruh bagi anak-anak. Berkelahi bukan mengajarkan anak-anak menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Perkelahian itu “kenyataan” yang biasa dihadapi anak-anak dalam pergaulan di sekolah dan kampung.


Perkelahian mengawali perang yang berkobar, yang membenarkan judul novel. Amir terlibat dalam perkelahian. Pulang ke rumah, ia mendapat pertanyaan dan nasihat dari ibunya. Anak yang menyadari dilema-dilema dalam zaman perang. Pada mulanya, Amir diajak ibu ke kota untuk mencari bapak. Amir berharap bertemu bapak tapi kehidupannya adalah sulit dan sulit. Perkelahian membenarkan sulit yang ditanggungkan.


Pembaca belum sampai perang. Pengarang pintar mengatur alur dan “memperlambat” keinginan pembaca dalam perang yang membara. Misteri-misteri dihadirkan pengarang, yang membuat pembaca ikhlas menyelesaikan buku yang tipis.


Kejadian yang mungkin tidak ditebak pembaca adalah ajakan ibu agar Amir berjualan kue untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Amir bersemangat dalam mencari nafkah. Pada keputusan berjualan, pembaca mulai diminta tidak berpikiran hitam dan putih.


Amir tampil sebagai anak yang patuh. Ia tidak mementingkan kesenangannya sendiri. Anjuran ibu dipenuhinya dengan berjualan kue, membawanya keliling dari rumah ke rumah. Masa perang, masa orang harus berhemat dan berpikir kebutuhan pokok. Amir tidak dapat berharap jualan laku dan cepat habis. Pembaca menilai pengarang menunjukkan logika dalam ceritanya.


Yang dialami Amir saat berkeliling di kota: “Tapi yang membeli tak banyak. Dagangan Amir masih menumpuk. Amir tak kehabisan akal, ia memberanikan diri. Masuk ke tangsi Belanda. Di depan gardu penjaga, Amir memberi hormat. Penjaga tersenyum kepadanya. Ternyata penjaga itu baik, ia mengizinkan Amir masuk.” Apa yang terjadi dengan Amir? Mengapa ia berharap dagangannya laku di tempat yang dihuni oleh para musuh, yang ingin menghancurkan kedaulatan Indonesia.


Kita tidak mudah menilai posisi dan misi Amir. Dagangan kuenya laku. Yang membeli adalah para tentara Belanda dan KNIL. Dagangan yang ada di tampah habis. Para tentara suka, berharap keesokan hari Amir datang lagi membawa kue. Amir senang. Para tentara pun senang. Yang kita ikuti adalah cerita mengenai anak yang mencari nafkah. Pembelinya bukan penduduk kota atau bumiputra. Beberapa yang membeli dan menikmati kue buatan ibunya adalah tentara-tentara Belanda. Selain dagangan laku, Amir mendapat pesanan dari keluarga Belanda untuk mencarikan telur ayam.


Pembaca boleh terkejut mengikuti percakapan ibu dan Amir. Percakapan yang tidak menggampangkan orang mengecap manusia dalam perang. “Bu, dagangan kita laku di tangsi! Amir menyampaikan dengan bangga dan gembira. Tanggapan ibu: “Oh, ya. Kau tidak takut, Mir?” Ibu yang ingin mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Bocah itu enteng menjawab: “Tidak, Bu. Belanda itu baik-baik, tak segalak tetangga kita!” Kita menganggapnya kejujuran. Namun, ibu lekas bersikap: “Hus! Jangan bicara begitu!”


Amir bertemu para tentara Belanda. Pertemuan hanya sebentar. Amir sebagai pedagang kue. Para tentara Belanda sebagai pembeli. Dagangan yang habis dan sikap para tentara Belanda itu cepat memberi kesan yang baik kepada Amir. Artinya, Amir mendapat perlakuan sopan dan rezeki lancar. Konklusi yang dibuatnya semestinya tidak terlalu bermasalah. Bocah di tanah jajahan mengatakan tentara Belanda itu baik. Pujian yang diberikan dengan membandingkan nasibnya di antara tetangga yang menghina dan membenci. Pengarang berani menimbulkan polemik kepada pembaca. Bagi orang yang keras dan kolot, tentara Belanda pasti jahat. Argumen termudah: Belanda itu penjajah atau musuh Indonesia. Namun, pembaca diminta menilai sikap para tetangga. Sesama orang Indonesia tapi tidak menunjukkan sikap-sikap yang baik, yang bisa dipelajari dan dipedomani Amir dalam masa pertumbuhannya.


Pengertian penting diperoleh Amir saat mengamati tangsi Belanda. Ia perlahan mengerti perang:. “Di tangsi sangat sibuk, Belanda sedang bersiap-siap untuk menghadapi serangan gerilya,” kata Amir kepada ibu. Padahal, ibunya lebih banyak tahu tapi sengaja menyembunyikan banyak informasi agar Amir tidak ketakutan dalam hari-hari perang.


Cerita buatan Marcus terbukti bermutu. Pembaca tidak dimudahkan dalam membuat penilaian. Pembaca juga tidak merasa mendapat doktrin-doktrin “sejarah” yang dibuat oleh rezim Orde Baru. Cerita yang berlatar sejarah menimbulkan sedikit polemik. Namun, pembaca mengetahui novel itu memiliki beberapa kelemahan dalam karakter tokoh dan alur. Yang terpenting, anak-anak bisa membaca novel tentang perang, yang tidak hanya masalah menang dan kalah.


Pada akhirnya, Amir mengetahui bahwa bapaknya adalah pemimpin pasukan gerilya, yang akan menghancurkan tangsi Belanda. Di rumah, beberapa orang berkumpul untuk mengatur strategi. Amir terjaga dan melihat keadaan yang aneh. Ia berjumpa bapaknya. Ia pun mendapat penjelasan-penjelasan mengenai perang. Malam itu Amir mungkin berpikir lagi untuk tetap menganggap tentara Belanda itu baik atau mengikuti pendapat para gerilyawan.


Ketegangan tercipta. Pengarang melegakan para pembaca yang penasaran perang. Yang diceritakan Marcus adalah peristiwa ibu dan Amir mengungsi tapi sempat mengetahui ledakan dan api, yang memastikan tangsi Belanda hancur: “Keduanya melanjutkan perjalanan dengan cepat. Tiba di hutan jati, mereka bertemu rombongan keluarga gerilya. Mereka meneruskan perjalanan. Kota menjadi panik. Belanda yang mendapat serangan mendadak sangat terkejut. Gudang mesiu meledak, perbelakalan terbakar, dan berpuluh-puluh senjata telah hilang. Gerilya menyerang ke dalam kota, penduduk panik. Dalam sekejap mata saja tangsi menjadi merah. Bertruk-truk Belanda mengadakan patroli tapi gerilya telah mundur jauh.” Peristiwa yang mengesahkan anak-anak yang membacanya berani membela kedaulatan Indonesia. Mereka makin bangga menjadi Indonesia.


Di halaman-halaman belakang, pengarang tampak sulit mengendalikan cerita. Ia terlalu mudah menampilkan adegan-adegan yang mencipta pahlawan dan menyatakan pengorbanan-pengorbanan yang berair mata. Yang membaca merasakan alur terlalu cepat. Di situ, pengarang tergesa memberi pesan-pesan melalui beragam peristiwa, termasuk adanya adegan orang-orang yang menjaga kekuatan dengan lagu-lagu perjuangan. Novel itu perlahan mirip propaganda, yang mengurangi mutu setelah pembaca mendapat halaman-halaman yang pantas memicu polemik sejarah bagi pembaca.


Yang sempat terpikirkan serius di buku bagian belakang adalah membandingkan kota dan hutan jati. Selanjutnya, pembaca diajak mengetahui peran sungai dalam episode gerilya dan menegakkan kedaulatan Indonesia. Pengarang mengisahkan Citarum, sungai yang menentukan keselamatan kaum gerilya dan kekalahan yang ditanggungkan pasukan Belanda. Penutup yang cukup bikin pembaca merenung ketimbang mengikuti beragam propaganda demi sejarah.


_______


Penulis


Kabut, penulis lepas.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Saturday, August 9, 2025

Resensi Kabut | Mujur dan Ajaib

Resensi Kabut



Yang dimunculkan di awal adalah dua tokoh berumur tua. Pengarang menyebutkan Pak Baguna dan Mak Baguna. Dua tokoh yang hidup sederhana. Pembaca mudah mengartikan sederhana berarti mahir bersyukur dalam kehidupan sehari-hari. Bersyukur artinya menerima keadaan, menikmatinya tanpa terjebak keluhan dan meluapkan segala keinginan yang berlebihan.


Apakah dua tokoh itu selamanya sabar? Maka, pengarang yang bernama Anna M Massie dalam novel berjudul Matindas (1976) terbitan Pustaka Jaya mengajak pembaca mengetahui celah kesepian dan pengharapan yang dimiliki suami-istri setelah mengalami hidup bersama dalam kesederhanaan.


Pak Baguna bekerja sebagai nelayan. Sehari-hari, ia mencari ikan. Hasilnya biasa ditukar dengan beragam kebutuhan pokok (beras, kopi, minyak kelapa, dan garam). Pengarang menyebut kopi termasuk kebutuhan yang penting untuk Pak Baguna. Pembaca membayangkan kebiasaan Pak Baguna minum kopi di rumah sambil berbagi cerita bareng istri. Konon, kopi memberi pengaruh menjadikan orang tenang dan mengalami waktu tanpa tergesa-gesa.


Setiap hari, Pak Baguna merayakan hidup di laut. Apa yang dikerjakan Mak Baguna selama berada di rumah menanti kedatangan suami? Mak Baguna, perempuan yang bersyukur dengan tananam. Yang diceritakan Anna M Massie melalui penglihatan Pak Baguna saat sampai di rumah, setelah merasa tidak mujur dalam mencari ikan: “Ia memandang sekeliling, lalu tersenyum melihat bunga-bunga yang bermekaran. Di halaman rumahnya tumbuh kembang sepatu, melati, dan kana. Bunga kana hampir mengelilingi seluruh tepi halaman. Warnanya merah dan jingga. Pada halaman samping, terdapat bedeng yang luas dan ditanami rempah-rempah: selasih, bawang daun, kemangi, kunyit, bangle, dan banyak lagi. Pohon pepaya sedang sarat berbuah. Semua tanaman yang tumbuh subur itu hasil kerja Mak Baguna.”


Para pembaca berimajinasi rumah dan kebun yang elok, teduh, dan makmur. Pastinya rumah itu sederhana. Yang membuatnya istimewa adalah beragam tanaman. Rumah dan tanah yang subur. Sehingga, terbuktilah Mak Baguna mewujudkan syukur. Di tatapan mata Pak Baguna, raga yang bekerja di tanah pun mulia. Ia tidak bermaksud membandingkan nasibnya selama di laut. Pada tanah, kehidupan masih terus dirayakan untuk pangan, keindahan, dan kebahagiaan.


Pada hari yang kurang mujur, Pak Baguna takjub melihat kebun yang diurus Mak Baguna. Kita yang membaca boleh iri mengetahui sikap dan siasat hidup yang tidak berdasarkan nafsu serakah dan menginginkan segalanya harus segera terpenuhi.


Hidup mereka belum sempurna. Lumrah saja mereka sedih atau mengeluh. Suami dan istri yang menua tapi tidak punya anak. Hari-hari mereka berlalu tanpa tawa dan tangis anak. Rumah yang tiada teriakan, ulah nakal, dan keseruan anak dalam pengasuhan. Mereka berusaha tabah tapi sulit ingkar tetap menginginkan anak. Padahal, usia mereka sudah tua, merasa punya anak itu kemustahilan. Cerita yang digubah Anna M Massie memungkinkan memberi kebahagiaan kepada para tokohnya dengan keajaiban. Pengarang bertugas mengadakan keajaiban agar para pembaca terpukau.


Bermula dari mimpi, rumah itu tidak lagi sepi. Mak Baguna bermimpi didatangi lelaki tua berjanggut yang menyerahkan sepotong kayu. Pesan yang disampaikan: kayu harus diberikan kepada suaminya agar dibuat menjadi boneka. Mimpi mendapat tafsir dan pembuktian. Pembaca diajak para tokoh untuk percaya keajaiban. Yang jelas para tokoh menyatakan bahwa mimpi berarti petunjuk dari Yang Maha Kuasa.


Maka, Pak Baguna masuk hutan, mencari kayu yang dibuat menjadi boneka. Pembaca agak terkejut mengetahui si nelayan mahir dalam urusan kayu. Pembaca tidak perlu protes. Sebab, boneka yang dibuatnya tampak kasar. Mak Baguna memandangnya dengan pujian, menebus kelelahan Pak Baguna. Kita menyaksikan suami-istri yang tidak punya sifat-sifat buruk dalam kehidupannya. Pengarang tidak ingin memunculkan mereka dalam sengketa. Kebaikan-kebaikan terdapat dalam diri suami-istri yang menua.


Boneka ditaruh dalam ayunan seolah sebagai bayi. Mak Baguna berperan sebagai ibu yang mengasihi. Ia memberi makan dan bersenandung. Pembaca ikut terharu. Suami yang kurang mujur dalam mencari ikan mendapatkan “pengganti” berupa hasil kebun dan kehadiran boneka di rumah. Pembaca lagi-lagi diajak memuji cara hidup mereka, yang terungkap dalam perkataan Mak Baguna: “Tuhan Maha Pengasih. Bagaimanapun susah hidup kita, tetapi kita tidak kelaparan. Masih ada ubi jalar, pepaya, pisang dan singkong yang dapat dimakan.” Kita mengandaikan anak-anak yang membaca buku cerita berjudul Matindas itu mendapat pencerahan. Mereka sadar tentang segala pemberian Tuhan wajib disyukuri. Kita menduga ucapan Mak Baguna berkaitan sedikitnya beras yang diperoleh dari hasil menukar ikan. Jadi, kebutuhan makan tidak mutlak harus beras yang dimasak menjadi nasi. Kita tidak perlu menganggapnya sebagai kritik lembut atas kebijakan pangan.


Keajaiban pun terjadi! Hari berganti, yang berada di ayunan pun berganti. Mak Baguna tidak menemukan boneka tapi bayi. Ia terkejut sekaligus girang. Peristiwa setelah bangun dari tidur adalah keajaiban. Yang dilihatnya itu bayi. Mimpi telah terbukti. Petunjuk dari Tuhan telah tampak di depan mata.


Pembaca diharapkan percaya bahwa keajaiban itu ada. Pembaca ikut hadir dalam rumah, merasa menjadi saksi: “Tiba-tiba bayi itu menggeliat. Matanya terbuka. Mata itu bulat dan bening. Langsung menatap wajah Mak Baguna. Mulutnya yang mungil seperti tersenyum. Mak Baguna membungkuk dan mencium pipinya.” Yang pandai bersyukur mendapat tambahan limpahan kenikmatan dari Tuhan. Mak Baguna dan Pak Baguna pantas berbahagia meski keberadaan anak bukan berasal dari hubungan suami-istri, yang menimbulkan kehamilan. Rumah sudah sempurna dengan adanya anak.


Cerita untuk anak memang melazimkan keajaiban-keajaiban. Kita yang membaca selaku orang dewasa ikut menerima saja bahwa keajaiban yang akan membuat cerita makin seru.


Tiba saatnya pembaca mengakui bahwa Pak Baguna dan Mak Baguna bernasib mujur, berbeda dari pengakuan di awal cerita saat Pak Baguna yang merasa tidak mujur dalam mencari ikan. Kehadiran anak mengesahkan kemujuran Pak Baguna yang rajin mencari ikan, setelah adanya anak yang dinamakan Matindas, rezeki terbukti makin lancar. Pengarang mengungkapkan kegembiraan si nelayan: “Matahari belum di atas kepala, tetapi perolehannya telah banyak. Ikan-ikan bergelimpangan di dalam perahu. Keranjang ikan sudah penuh.” Pembaca diminta merenung kaitan anak dan rezeki.


Di tengah buku, pembaca mulai mengikuti kejadian-kejadian tokoh anak. Matindas mulai punya peran yang menarik perhatian. Pada usia 8 tahun, ia tumbuh menjadi anak yang memiliki sifat-sifat baik. Pokoknya, pengarang tidak ada keinginan menjadikan Matindas itu berbohong, pemarah, malas, atau minder. Pengarang boleh menciptakan para tokoh itu sepenuhnya baik, tidak pernah salah dan terkutuk.


Buktinya adalah Matindas menyelamatkan angsa yang sayapnya terluka. Angsa itu bernama Koko. Matindas berbuat baik, memberi pertolongan tanpa pamrih. Pada saat sudah sehat, Koko terbang mencari istrinya yang bernama Kiki. Sejak itu, Matindas memiliki teman berupa angsa (Koko dan Kiki). Binatang-binatang yang bisa bicara dengan manusia itu membuat pertemanan yang unik.


Pengarang tidak menceritakan Matindas bermain bersama bocah-bocah di kampung. Apakah pengarang lupa di kampung ada bocah-bocah yang akrab dengan Pak Baguna? Sebab, di awal cerita, Pak Baguna selesai mencari ikan biasa berhenti dulu di gerbang kampung: menyapa dan melihat anak-anak yang sedang bermain.


Perlahan, pembaca diajak mengikuti cerita bertokoh Matindas dan beberapa binatang. Angsa muncul duluan. Selanjutnya adalah naga. Pada suatu hari, saat Matindas membawa perahu untuk mencari ikan, dirinya diculik naga. Matindas sudah remaja, berusia belasan tahun, yang berniat membantu mencari rezeki untuk kebutuhan keluarga. Namun, ia diculik naga yang ingin menyantap tubuhnya. Pembaca boleh menganggukkan kepala jika dalam pelbagai cerita anak sering dimunculkan naga. Anna M Massie menghadirkan naga yang jahat.


Matindas yang baik mendapat cobaan besar. Pak Baguna dan Mak Baguna sedih. Matindas berusaha melarikan diri sebelum menjadi santapan naga. Segala cara dilakukan agar selamat. Akhirnya, Matindas bisa memanjat pohon kenari. Para naga marah dan ingin membuat Matindas jatuh. Pohon dihancurkan naga-naga. Mujur milik Matindas. Di pohon yang mau jatuh, ia diselamatkan Koko dan Kiki. Matindas naik angsa pulang ke rumah. Pembaca mendapat lagi keajaiban. Tokoh yang baik tidak boleh kalah dan cepat mati.


Matindas berhasil kembali ke rumah. Yakinlah bahwa keluarga itu selalu mujur. Keluarga yang berhak mendapat keajaiban. Akhir cerita yang bahagia. Pembaca terlarang sedih dan kecewa. Kemujuran mereka bertambah dengan adanya hubungan yang selaras antara Matindas, tanaman, dan binatang. Semula, kupu-kupu bersyukur gara-gara Mak Baguna rajin merawat tanaman, yang dampaknya kupu-kupu dapat hidup bahagia di antara bunga-bunga. Mereka bersyukur dan ingin membalas dengan kebaikan. Yang dilakukan adalah kupu-kupu menjadi teman Matindas: “Kedua kupu itu memandang takjub pada Matindas, lelau terbang dan hinggap di pundak Matindas.”


Pesan di akhir cerita bukan masalah hubungan yang indah antara Matindas, tanaman, dan binatang. Namun, pengarang berseru agar anak-anak berani bercita-cita menjadi nelayan. Anjuran yang cocok bagi anak-anak yang membaca buku cerita berjudul Matindas. Mereka tidak harus bercita-cita menjadi presiden, dokter, menteri, pengusaha, atau artis. Yang mau bercita-cita menjadi nelayan diharapkan mujur dan mendapat keajaiban-keajaiban.


_________


Penulis 


Kabut, penulis lepas.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Saturday, March 29, 2025

Resensi Alexander Robert Nainggolan | Susi dalam Puisi

 Oleh Alexander Robert Nainggolan




Judul: Susi (Sajak-Sajak 2008-2013)

Penulis: Gus tf

Penerbit: JBS, Yogyakarya

Terbit:  September 2024

Tebal: 86 hlm.



Lorong tubuhmu: daging terbakar menuju padam. Ah,

erangku parau, biru-lebam, tersangkut di nganga jeram (Puisi “Susi: dari Batangku”, hal. 15)



Untuk apa sebenarnya puisi ditulis? Apaklah hanya sebatas pergumulan ide dan penyulingan diksi dari dalam benak penyairkah? Apakah puisi bisa berubah menjadi sebuah “tangan”, meminjam ucapan Sutardji Calzoum Bachri—untuk memberikan reaksi terhadap sebuah peristiwa dan membalikkan keadaan.


Nyatanya memang, puisi senantiasa bergumul dengan sejumlah peristiwa; segala hal ihwal yang membalutnya acapkali tak akan dapat lepas dari realitas. Dengan sejumlah citraan yang dibangunnya, puisi mungkin bisa aneh dan ambigu, namun sesungguhnya ia tak pernah lepas dari kenyataan yang terjadi—tentunya dari setiap kejadian kehidupan ataupun keseharian dari penyair yang menuliskannya. 


Dan apakah puisi acap mengisahkan tentang biografi seseorang, katakanlah jika tokoh yang diciptakan penyair nyata adanya dengan satu nama yang sama: Susi. Susi yang berkelebat dan melingkupi pelbagai ruang, peristiwa, citra, anarsir. Susi yang menelusup ke seluruh bagian kehidupan. Susi yang bisa berubah bentuk menjadi apa pun. Metamorfosa dalam sejumlah kata dan fragmen. 


Adalah Gus tf, seorang penyair—dengan pergumulannya lewat kata seperti mendedahkan segala hal ihwal tentang Susi dalam buku ini. Ia mengembara dengan sejumlah ingatan, menelusup ke pelbagai sisi metafisika, mengambil petuah, mendedahkan luka juga anomali. Pun ia hadir dalam wujud yang lain, mencari saripati kata juga menyingkap segala tabir dari sejumlah kitab suci. Sejumlah puisi yang hadir terasa absurd, namun setelah dibaca berulang kali membuka pelbagai sisi ruang yang lain.


Dengan pergulatannya terhadap sejumlah metafora, ia menciptakan kelindan yang baru. Memberikan sejumlah “ruang” dan menciptakan dunia lain yang berbeda—barangkali agak asing, kesepian, namun menawarkan sketsa yang baru terhadap bingkai peristiwa itu sendiri.  Buku ini merupakan kumpulan puisi dengan titimangsa 2008-2013, terdiri dari lima bagian: Sesudah Tahun-Tahun, susi dari Siang dan Malam, Susi dari Puisi, Susi dari Rumah Gadang dan Atau Apa pun Itu. 


Sebagaimana yang pernah diungkapkan penyair Gwen Dolyn Brooks, jika puisi adalah kehidupan yang disuling. Setidaknya, di tangan Gus tf, puisi memang menghasilkan nektar kata yang murni, ia terbaca sebagai jejak kata yang karib lebih bertenaga dan menghasilkan citra dengan penuh kejernihan. 


Bagaimana dirinya membedah mitologi dalam puisi “Susi dari Cashinava”: 


Apa yang dulu nyata, kini menjadi dongeng kuno,

apa yang dulu dongeng kuno, kini menjadi mitologi


Si pemegang kunci yang mengenalkan diri sebagai Damis, tak pernah kautemui di Nineveh. Nineveh yang dulu kaukenal sebagai kota, pun kini cuma tinggal sebuah sumur tua. Tak ada timba. Ada seekor ular menjaga; ular yang setiap kaubutuh air dan berhasil menimba, setiap kali itu pula akan berganti kulitnya: dari putih ke hijau, hijau ke biru, biru ke jingga. Dan setiap kembali ke putih, kau segera tahu wujud aslinya: Heracles.  (hlm. 30)


Atau bagaimana Gus tf membaca sebuah riwayat dalam puisi “Susi dari Shandiar” yang turut mengambil kisah dari Al-Qur’an surat 37 ayat 21:


Kaudengar, pahat itu lengking, nyaring pilu batu. Rayng-sedan, hari pemisahan. Dua juta tahunku—empat puluh lima ribu tahunmu, mengerut surut di Baradostian. Sesrat mengendap, dedaging bertahan, ruang-waktu pudur di Barda Balka. “Wahai, tangga spiral berputar itu, yang dulu kaubawa dari Sumeria, pernahkah sudah sampai ke Inca?” (hal. 40)



Labirin Puisi


Mulanya terlihat sebagai ruang yang sempit, namun ia banyak membuka ruang lainnya menjadi semakin lebar dan luas. Meskipun kita berhadapan dengan banyak pintu yang lain, semacam usaha untuk mencari jalan keluar. Sebagaimana yang pernah diungkapkan Joko Pinurbo, jika membaca puisi ibarat memasuki rimba dan di tangan pembacalah bagaimana bisa memilah terhadap hal ihwal yang ditemui di dalam rimba tersebut. 


Membaca puisi-puisi Gus tf, seperti masuk ke “rimba” semacam itu, seperti hinggap di labirin puisi. Kita seperti diajak untuk mencari segala ilmu pengetahuan yang jarang terkuak dengan turut memadukan semua pengetahuan yang dimiliki.. Namun dengan mengkhidmati setiap bauran kata yang dihadirkan, seperti menemukan pintu dari jalan tersebut. 


Dan, Gus tf, telah tanak menuliskan puisinya, ia memegang teguh jika puisi memang sebuah sulingan dari dunia itu sendiri. Ia tak cadas mengisahkan kebingaran dunia dan seisinya, ia mendedahkan sebuah dunia baru di mata pembaca. Setidaknya, bagi saya, Gus tf telah berhasil menyuguhkan puisi-puisi yang mencerahkan. Ia menawarkan puisi dari sisi lain, dengan tetap menjaga kekhasan dari gaya ucap.


Bagaimana ia menghidupkan segala musabab yang telah lama menghilang di kehidupan:


karena tak cukup kata-kata dalam dirimu bisa mengerti

kata-kataku, bisu mengamuk pada bibirmu. Bisu milikku.

karena setiap kau memanggil hanya tebal dinding yang

menyahut, lengang memekik di dadamu. Lengang milikku.

karena semua apapun telah pulang kecuali Susi yang kau

rindu. ah, kekal menunggu sampai bungkuk. Kekal milikku.

(Puisi “Susi, Karena”, hal. 75)


Dan semua puisi dalam buku ini mengambil nama :Susi. Susi yang bisa bermetamorfosa ke pelbagai hal, peristiwa, kisah, keadaan—ataupun dalam segala macam benda. Susi yang acap mengembara dan menyuguhkan bentangan lanskap yang lain. Untuk hal ini saya teringat Goenawan Mohamad dalam tulisannya, akhirnya, pada gilirannya kita mengikuti bahasa—bukan bahasa yang mengikuti kita. Saya hadir bukan sebagai subyek. Pun dalam puisi, penyair tak lagi sepenuhnya menentukan aliran diksi-diksinya akan ke mana sepenuhnya bermuara. Kata-kata bebas dengan sendirinya. 


Kata-katanya sebagaimana dalam puisi “Susi Gema” menjelma jadi gema yang panjang dan tak jarang kerap bersahutan. Puisinya meninggalkan rongga dengan sjeumlah pertanyaan yang tak pernah tuntas untuk dijawab:


Dari sebuah gua, kau teriakkan sebuah nama.

namamukah? Dinding bukit memantulkan,

menjadikannya dua-tiga suara; memisah,

sat uke masa lalu, satu lagi ke masa depanku.

“Jangan biarkan ia terpisah,” katamu. Apa peduliku? (hlm. 47)



______

Penulis


Alexander Robert Nainggolan (Alex R. Nainggolan) lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Kota Adm. Jakarta Barat. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di media cetak dan online. Bukunya yang telah terbit Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, Nulis Buku, 2012), Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, Nulis Buku, 2012), Silsilah Kata (kumpulan puisi, Penerbit basabasi, 2016), Dua Pekan Kesunyian (kumpulan puisi, Penerbit JBS, 2023), Fragmen-fragmen bagi Sayyidina Muhammad (kumpulan puisi, Penerbit Diva Press, 2024).

Facebook: alexr.nainggolan@yahoo.co.id- Alex R.  Nainggolan

Email: alexr.nainggolan@gmail.com / alexr.nainggolan@yahoo.co.id

Instagram: alexrnainggolan

Kini berdomisili di Taman Royal 3 Cluster Edelweiss 10 No. 16 Kel. Poris Plawad Kec. Cipondoh Kota Tangerang Banten.



Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com

Saturday, June 15, 2024

Resensi Aurel Hiskia Putri | Mengakrabi Cerita tentang Bali melalui Potret Kisah Putu, Seorang Penari Tradisional Bali

Oleh Aurel Hiskia Putri



Judul: Yang Menari dalam Bayangan Inang Mati

Pengarang: Ni Made Purnama Sari

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Tahun Terbit: 2022

Teba: 176 halaman



Menarilah seperti ular yang melindungi sarang telur tersembunyi


Secuil kalimat yang bisa dikatakan sebagai pintu gerbang masuk ke dalam cerita buku. Kalimat pembuka dalam buku Yang Menari dalam Bayangan Inang Mati cukup membuat kebingungan dan menimbulkan pertanyaan ketika pertama kali membuka buku ini. Buku yang mengangkat tema kebudayaan karangan Ni Made Purnama Sari ini banyak membahas mengenai polemik kehidupan masyarakat Bali yang bersejajar dengan tradisi masyarakat Bali, khususnya kesenian tari. Tidak heran mengapa buku ini mengangkat cerita berlatarkan kehidupan Bali, karena penulisnya sendiri berasal dari Bali, sehingga mengenal dekat apa yang di ceritakannya dalam buku. Berlatar waktu Bali era 1970-an dengan sedikit dibumbui cerita kelam tahun 1965 membuat siapa pun yang membaca akan mendapatkan gambaran kondisi Bali pada waktu itu. 


Cerita buku ini dikelompokkan dalam tiga bagian: pertama (Topeng), kedua (Teror), dan  ketiga (Tunas). Bab satu penulis mengisahkan suatu tarian yang diibaratkan ular ketika melindungi sarang telur yang disembunyikan. Dengan kalimat pembuka tersebut, mau tidak mau saya di bawa masuk untuk membaca lebih dalam lagi, apa makna yang terkandung dalam kalimat pembuka buku. 


Pada bab satu ini untaian kata-kata dirangkai begitu indah oleh penulis. Walau hanya berbicara mengenai pengandaian “menari” dan sedikit cerita Putu, sang tokoh utama yang kembali ke tanah kelahirannya setelah pergi mengembara di waktu yang lama. Dengan dihadapkan sebuah kebimbangan dan keraguan mencari alasan, mengapa ia kembali ke Bali, sedangkan tidak ada momen berkesan yang ia dapatkan di tempat kelahirannya. Cerita selesai dengan ditutup dengan ungkapan penulis bahwa itulah takdir yang tidak bisa dihindari walau sebenci apa pun dan sejauh apa pun kita tidak menyukainya. Namun, haru kita terima bagaimanapun caranya.


“Ngiseh... sledet… agem kanan. Buin, ngiseh, sledet….” 


Penggunaan bahasa Bali yang dijadikan sebagai kalimat pembuka pada bab dua ini membuktikan bahwa variasi bahasa jelas dipakai dalam penulisan novel. Bahasa Bali yang digunakan terkadang membuat pembaca bingung karena beberapa penggunaan bahasa tidak disertai arti atau terjemahan dalam bahasa Indonesia. Sehingga akan membutuhkan waktu lebih untuk memahaminya, atau bahkan tidak memahami bahasa tersebut sama sekali. Dampaknya pada pemahaman cerita yang terputus dari alur cerita sebelumnya dan membuat saya sendiri sebagai pembaca merasa bertanya-tanya apa arti dan maksudnya. Bisa dikatakan bahwa beberapa part novel kurang ramah untuk pembaca non-Bali.


Di sisi lain, penulis tampaknya memadukan unsur seni, khususnya seni lukis dalam novel karyanya. Adanya lukisan-lukisan ilustrasi yang diletakkan di beberapa bab buku halaman terakhir bisa dimaknai dengan lukisan yang menggambarkan kehidupan Putu, si tokoh novel dalam gambaran yang lebih berwarna. Hal ini bisa menjadi poin plus karena tidak banyak karya sastra, khususnya novel yang menggunakan kolaborasi seni lukis dalam penyajian ceritanya. Misalnya, seperti lukisan yang berada di halaman 22 novel, tergambar jelas seseorang yang memakai baju penari dan gerakan tangannya terangkat membentuk gerakan tari. Dari contoh ilustrasi ini saling berkaitan dengan isi novel bab dua buku, di mana pada bab tersebut Putu mengikuti sebuah “tanggapan” pentas tari untuk pertama kalinya dalam rangka menghibur para pelancong salah satu hotel.


Cerita berpusat pada Putu, si penari Bali yang hidup dihantui asal-usul masa lalunya, tentang siapa ayah dan ibunya. Putu seorang anak tunggal dengan masa lalu yang kelam, hidupnya dianggap sebagai aib dan ia hidup diasuh oleh neneknya yang kerap dipanggil dengan Ninik. Hubungan antara Putu dan Ninik mulai terlihat pada bab tiga novel. Di situ disebutkan bahwa Ninik memberikan izin Putu untuk masuk ke dalam salah satu sanggar tari Pak Wayan Kaler. Betapa bahagianya Ninik mengetahui bahwa Putu memiliki bakat tari sehingga mendapat tawaran dari sanggar tari Pak Wayan Kaler, maka dari itu sudah pastilah Ninik memberikan izin Putu. 


Penceritaan pada bab tiga juga mulai membahas mengenai awal pembangunan Pulau Bali yang saat ini terkenal menjadi pulau wisata dengan banyaknya hotel dan tempat penginapan. Pembangunan hotel awal mulanya didirikan pada tahun 1930-an, Robert Koke, begitu namanya di sebutkan dalam novel. Bule yang dengan berani mendirikan tempat penginapan pertama kalinya di pondok tepi Pantai, tidak jauh dari Kawasan isolasi para pengidap kusta dari Puri Denpasar dan sekitarnya. Nama bule inilah yang tersohor sebagai salah satu perintis lahirnya Kawasan turistik di Kuta.


Seni tari pada zaman itu mulanya hanya dijadikan sebagai seni pementasan untuk ritual-ritual keagamaan atau acara-acara adat di Bali. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, seni tari ini dijadikan ajang pertunjukan untuk wisatawan-wisatawan yang berkunjung di Bali. Walau memang pada tahun 70-an belum marak pementasan untuk wisatawan, tapi pada tahun tersebut seni tari menjadi tonggak awal diikutsertakan sebagai seni pertunjukan umum. Masyarakat Bali tentu menyambutnya dengan sukacita, karena dengan ini seni tari Bali dapat dikenal masyarakat luas juga bermanfaat bagi masyarakat Bali untuk menambah penghasilan.


Setelah melalang buana berkelana di desa-desa bali bersama Pak Wayan Kaler, Putu merasa sangat bahagia lantaran bisa melihat berbagai pementasan tari di berbagai desa dengan jenis, kostum, dan gerakan yang begitu beragam. Dan dengan berkelananya tersebut Putu jadi lebih mengerti tarian apa yang menjadi ciri khas dan akan ia tekuni. Tari Topeng merupakan satu dari banyaknya tarian yang dipilih oleh Putu. Dengan tarian tersebut syarat akan filosofi membuat putu tertarik mendalaminya. Pada dasarnya Putu menari bukan karena tergiur dengan imbalan atau uang yang didapatkannya, ia menari karena memang seni tari menjadi kesenangannya, seni tari membuatnya menjadi hidup dan dengan menari ia bisa menyalurkan perasaannya. 


Kendati demikian, Ninik beranggapan bahwa putu harus menari dan mendapatkan uang. Tidak diketahui secara pasti apa alasan Ninik sedikit tergambar “mata duitan” di benak Putu karena hanya berharap Putu menghasilkan uang saja dengan menari. Bahkan di saat waktu istirahat Putu, atau waktu di mana Putu bersantai di rumah tanpa belajar menari, Ninik akan marah dan menyuruhnya agar belajar menari atau setidaknya pergi ke sanggar tari.


Cerita berlanjut hingga memasuki bab kedua (Teror). Dalam bab ini di ceritakan Putu menginjak masa remaja. Dikisahkan bahwa putu mulai tertarik pada seorang gadis yang ditemuinya saat belajar menari, kisah asmara terjalin begitu manis walau memang putu tidak mendapatkan respons yang baik dari pihak keluarga perempuan. Putu masih terbayang-bayang akan asal-usulnya di masa lalu. Rumor-rumor yang mengatakan bahwa orang tuanya adalah seorang pembelok kiri menyebabkan ia tidak percaya diri dengan dirinya sendiri, anggapan bawa latar belakangnya terlalu tidak jelas yang membuat Putu sedemikian rendah diri.


Pada awal bab besar kedua (teror) buku ini memakai alur maju mundur. Kilas balik cerita ketika Putu kecil belajar menari di sanggar Pak Wayan Kaler dan selalu disambut hangat oleh keluarga Pak Wayan. Pada bab ini cerita berubah ke zaman tahun 1980-an di mana Putu mendapat tawaran Pak Kakul, guru tarinya yang mengajari berlatih tarian topeng. Lewat Pak Wayan, putu ditawarkan berkuliah di ASTI, karena Pak Kakul mempunyai koneksi di perguruan tinggi tersebut, dan Pak Kakul melihat bahwa Putu memang benar-benar berbakat dan layak mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi lagi untuk mengembangkan hobinya tersebut. Dengan diiringi rasa bimbang dan juga mendapat restu dari Ninik walaupun pada awalnya Ninik merasa berat hati melepaskan Putu untuk pergi jauh dari rumah. Namun, akhirnya Ninik menyetujui Putu untuk mendaftar ASTI. Singkatnya, Putu diterima belajar di ASTI berkat bantuan Pak Kekul. 


Tarian bisa menjadi identitas siapa penarinya, siapa gurunya, dan apa kisahnya. Hal ini di alami Putu pada saat awal perkuliahan, banyak pertanyaan mengenai tempat tinggalnya, salah sedikit berkata-kata maka teman-teman atau dosennya akan menanyakan perihal Pak Kakul atau Pak Wayan. Dengan begitu Putu pun harus jujur bahwa ia adalah murid dari dua maestro tari yang terkenal tersebut. Tidak jarang juga ketika putu memperagakan gerakan tarian, para teman dan dosen langsung mengetahui bahwa tarian tersebut menjadi ciri khas dari Pak Wayan dan Pak Kakul. Maka tidak diragukan lagi cerita yang Putu ucapkan kepada teman-temannya.


Selama masa studinnya di ASTI, Putu merasa bahwa bukan ini yang ia inginkan. Bukan belajar tari yang kontekstual seperti ini, Putu biasa belajar tari-tarian dengan praktiknya langsung, bukan malah berdiam diri di kelas mendengarkan penjelasan yang tiada habisnya. Semakin lama Putu menjadi tidak betah dan semangatnya memudar dalam perkuliahan. Bahkan putu lebih sering membolos daripada berangkat pembelajaran, sampai akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri menjadi mahasiswa ASTI. Putu lebih menyukai belajar tari secara nyata bukan hanya teori, tari itu kebebasan, begitu ungkapnya.


Sejak keluar dari ASTI, Putu akhirnya melanjutkan kegiatan berkelananya seperti yang ia lakukan dulu bersama Pak Wayan Kaler menelusuri desa-desa di penjuru Bali agar lebih mengenal lagi tentang seni tari tradisional bali serta perkembangannya. Walau awalnya merasa bahwa hidupnya begitu-begitu saja, tapi jauh didalam hati, Putu merasakan kebebasan dan kebahagiaannya.


_______


Penulis


Aurel Hiskia Putri, penulis lepas.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Saturday, July 22, 2023

Resensi Shabrina Ws | Tokoh-Tokoh yang Tidak Sempurna dalam Minimarket yang Merepotkan

Resensi Shabrina Ws




Judul Buku : Minimarket yang Merepotkan

Penulis : Kim Ho-yeon

Penerjemah : Hyancinta Louisa

Penerbit : Penebit Haru

Tahun Terbit : Oktober 2022

Halaman : 400 hlm.

ISBN : 978-623-5467-01-6



Healing Fiction adalah salah satu genre dalam fiksi. Seperti namanya, buku ini adalah karya yang menghibur, menyegarkan, dan tanpa perlu memeras pikiran saat membacanya.


Minimarket yang Merepotkan adalah salah satunya. Novel karya Kim Ho-yeon yang diterjemahkan oleh Hyacinta Louisa, dan diterbitkan oleh penerbit Haru ini, terbit pertama di Korea ketika pandemi sedang melanda. Hal itu juga terlihat di bab-bab akhir Kim Ho-yeon menggambarkan bagaimana pandemi melanda Korea, orang-orang panik dan masker-masker yang habis.


Ada delapan cerita dalam buku ini yang semuanya disatukan oleh benang merah sama yaitu minimarket: "Nasi Kotak Lezat Istimewa", "PS of PS", "Manfaat Nasi Kepal", "Satu Gratis Satu", "Minimarket yang merepotkan", "Empat Kaleng 10.000 Won", "Produk yang Sudah Harus Dibuang tapi Tidak Apa-apa dan Always".


Masing-masing dari cerita itu fokus pada karakter dengan permasalahannya sendiri-sendiri. Macam-macam karakter itulah yang membuat buku ini bebas dibaca dari mana saja. Namun demikian, Kim Ho-Yeon mempertahankan satu tokoh yang membuka cerita, dan muncul di semua cerita, dengan misterinya sendiri.


Tokoh itu adalah Dokgo, seorang tunawisma hilang ingatan yang berkeliaran di Stasiun Seoul. Kim Ho-Yeon memunculkan Dokgo diawal cerita dengan memungut dompet seorang nenek yang ternyata pengelola sebuah minimarket. Nenek itu melihat ketulusan Dokgo dan memberinya pekerjaan di minimarket tersebut.


Dari situlah cerita mengalir. Dokgo yang panampakannya seperti beruang dari musim dingin, dengan suara yang kasar dan gagap karena sebelumnya tak pernah bicara, bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang yang tanpa sadar mengubah jalan hidup mereka.


Ada juga kisah seorang gadis yang tak tahu ingin jadi apa di masa depan, seorang ibu yang tidak bisa berkomunikasi dengan anaknya, seorang lelaki pegawai kantoran yang merasa rendah diri dan tidak diterima oleh istri dan putri kembarnya, juga seorang penulis putus asa yang hampir menyerah karena merasa tidak lagi bisa menghasilkan karya yang bagus.


Kim Ho-Yeon membuat cerita menarik karena menyisakan satu misteri terbesar dari semua karakter itu. Ia membuat pembaca bertanya-tanya siapakah sebenarnya Dokgo? Karakter unik Dokgolah yang menjadi jantung dari buku ini, karena Dokgo mucul dan bertemu karakter-karakter yang datang ke minimarket.


Tokoh-tokoh dalam cerita ini bukanlah karakter-karakter yang sempurna. Semuanya punya permasalahan dan seolah-olah ia menjadi tokoh-tokoh antagonis bagi tokoh lainnya. Namun justru itu yang membuat ceritanya menjadi menarik dan hangat.


Kisah-kisah mereka seperti jendela dan cermin. Bukankah di dunia ini semua berpotensi menjadi tokoh antagonis bagi orang lain? Sebab memang sebagian manusia adalah ujian bagi manusia lainnya.


Rasanya cocok jika buku ini rilis ketika dan pascapandemi. Sebagai healing di masa bangkit. Sebagai teman pulih setelah dunia dicekam pandemi dan orang-orang bertahan untuk tetap waras di tengah berbagai macam tekanan keadaan.


Tidak mudah menyusun bacaan ringan sekaligus bermakna, alih-alih menghibur, kadang sebagian malah terjebak membosankan. Namun, seperti yang diucapkan salah satu tokohnya dalam buku ini, “Menulis tanpa berpikir itu hanya mengetik, bukan menulis karya.” Terlihat sekali buku ini telah melewati proses berpikir dan merenung.


Stempel 15+ di sampul belakang benar-benar menandai sebagai buku yang aman untuk dibaca. Narasi-narasi hangat bertaburan dalam tiap halaman, dan cara Kim menutup setiap bab, membuat perasaan lega ketika ingin membuka bab baru, atau menutup buku untuk di lanjutkan kembali di lain waktu.


______

Penulis


Shabrina Ws, penjaga lapak buku Kolibri. Menulis novel, cerpen, puisi dan bacaan anak.


Kirim naskah ke
redsaksingewiyak@gmail.com


Saturday, January 7, 2023

Resensi Syamsul Bahri | Peristiwa dan Jiwa yang Patah dalam Novel "Surti dan Tiga Sawunggaling"

Resensi Syamsul Bahri




Judul: Surti dan Tiga Sawunggaling

Penulis: Goenawan Mohammad

Penerbit: DIVA Press

Tahun: 2022

Tebal: 77 halaman

ISBN: 978-623-293-731-4



Peristiwa dan Jiwa yang Patah


Setelah berburu buku di bulan yang penuh diskon ini, saya keranjingan untuk membeli buku yang tiba-tiba berada di whist-list otak saya secara ujug-ujug. Di awal bulan ini, saya mencoba membangun kebiasaan mengulas buku setelah menamatkannya. Mungkin, rentan waktu antara menamatkan dan mengulasnya secara waktu yang dekat akan lebih menguatkan daripada menunggunya sampai entah kapan akan mengulasnya kembali. 


Ulasan pertama ini, dibuka oleh novel karya Goenawan Mohamad dan selanjutnya akan disingkat menjadi GM saja. Kali pertama membaca fiksi milik GM. Sebelumnya saya sering kali membaca esei-nya baik di buku ataupun di beranda Facebook-nya. Saya sangat tertarik dengan tulisan-tulisan GM mengingat saya seorang hamba yang haus akan pengetahuan dan GM adalah sumur yang mungkin tak ada pangkalnya. 


Novel ini berjudul Surti dan Tiga Sawunggaling dengan tebal sekitar 77 halaman yang mungkin dibaca sekali duduk saja. Jika dilihat secara fisik, novel ini begitu tipis, tapi tidak dengan interpretasinya yang menurut saya sebenarnya sangat tebal sekali. Ada berbagai peristiwa yang menurut saya masih ada lanjutannya, tapi GM memilih untuk memangkas dan mengemasnya untuk tidak bertele-tele dalam menyampaikan sebuah pesan yang hendak disampaikan melalui kata-katanya.


Saya memulainya dengan pertanyaan skeptis tentang peristiwa. Di mana cerita itu berawal dari peristiwa dan berakhir dengan sebuah peristiwa. Pertanyaan yang berkelindan tentang peristiwa akan sering muncul dalam ulasan ini. Mari kita melangkah ke depan untuk memulainya.


Siapa yang menciptakan peristiwa? 


Apakah Tuhan atau manusia?


Menurut saya, bisa keduanya atau bahkan salah satu dari mereka. Saya pun tak begitu pasti mengetahuinya. Padahal keduanya saling mengenal atau mereka bermusuhan satu sama lain atau ada di antara mereka saling membenci? Saya tak tahu pasti. Tapi yang jelas, keduanya menciptakan peristiwa dengan berbagai bentuk baik yang beraturan atau yang tidak beraturan. Dari mana kita bisa mengetahui bentuk-bentuk tersebut. Dari turun hingga hadirnya peristiwa tersebut akan selalu maujud yang berupa alur atau plot cerita yang dijalankan oleh entitas-entitas itu. Karena itu ada baiknya jika salah satunya memutuskan untuk memberikan peristiwa yang dominan dalam peranan sebagai Sang Khalik dan makhluknya yang mengatur segala alur atau plot tersebut.


Novel ini beraliran realis-magis. Memang GM sangat lihai dalam memainkan setiap bait ceritanya yang merupa seperti puisi yang panjang. Dengan berlatar Jawa cerita itu sangat dekat dengan pembaca sehingga bisa sedikit dimengerti tentang peristiwa apa yang hendak diangkat oleh GM. Bahan baku dari novel ini adalah sejarah koloni Belanda yang selalu diceritakan dengan bumbu-bumbu kepedihan dan kesengsaraan yang melekat di dalam jiwa pribumi. Maka dari itu, manusia menolak lupa tentang jejak-jejak jajahan yang dilakukan oleh Negeri Kincir Angin itu. Luka itu masih membekas sampai sekarang. Tapi tidak sedikit orang yang "merasa" merdeka ketika sejarah itu ditulis ulang dan membuat sebuah monumen kepedihan oleh orang yang ingin menulis perihal peristiwa menyedihkan itu. Namun, ada juga orang yang tidak sama sekali ingin mengingatnya dan membuang semua bentuk masa lalu yang membuat hati dan pikirannya ditarik kembali dimana bangsanya ditindas dan diasingkan seperti manusia yang kehilangan akal dan budinya.


Pada dasarnya, ingatan akan selalu berkembang dan menemukan bentuknya seperti identitas. Identitas merupakan hal penting dalam hidup manusia. Ia bertahan karena identitas. Tanpa itu mereka hanya tinggal nama dan tak berguna sama sekali. Pencarian semacam ini memerlukan proses proyeksi yang begitu detil sebab jika hanya remang-remang dan mengawang-awang saja semuanya tidak dapat dituangkan ke dalam setiap cerita. Kita tidak mungkin hanya mengandalkan ingatan dan lidah sebagai penyambung yang bisa terpercaya atau tidak. Tapi dengan catatan, jejak-rekam peristiwa akan terlihat sangat jelas jika kita mampu untuk menjaga dan menghilangkan sejarah yang salah. 


Novel ini bercerita tentang seorang perempuan pembatik dan tiga burung atau  yang ia buat dalam kain morinya di rumah. Dalam dunia perbatikan, ia mempunyai banyak sekali motif yang dibuat oleh sang pembatik. Tentunya bukan hanya sekadar motif saja tapi mempunyai tanda atau makna yang filosofis. Setiap motif yang digoreskan oleh sang pembatik, memiliki sebuah cerita di mana ada sebuah pesan yang implisit yang hendak disampaikan oleh sang pembatik. Begitu juga dengan gambar-gambar lainnya. Jika dibaca dengan sangat mendalam, simbol atau tanda akan muncul di setiap bentuknya—dan melambangkan peristiwa yang patut diingat oleh umat manusia. Berbagai pola yang ada dalam batik, di antaranya, tumbuhan, hewan, bangunan dsb. Maka dari itu, membuat motif batik menyangkut segala aspek kehidupan duniawi dan bahkan ukhrawi. Itu adalah sebagian kecil dari dunia perbatikan. Ini hanya sependek pengetahuan saya saja perihal dunia perbatikan. Saya enggan mengulasnya lebih jauh—sebab ada yang lebih kompeten mengenai bidang tersebut.


Tokoh utama yang ditulis oleh GM adalah seorang perempuan jawa yang sekaligus sebagai pembatik. Ia bernama Suti. Ia senang dengan membatik di kain mori dan membuat pola tiga burung di batiknya dan diberi nama, Anjani, Baira dan Cawir. Menurut definisi yang saya dapat dari internet tentang asal kata sawunggaling. Motif sawunggaling merupakan perpaduan dari kata sawung yaitu 'ayam jantan' dan Galing yaitu 'Merak Jantan'. Ketiga burung itu selalu menemani dan datang di mimpi Suti. Ia telah akrab dengan sang maut. Segala yang dicinta dan dikasihnya pergi meninggalkannya. Kesunyian kerap kali mendekapnya begitu erat dan hanya membatik sebagai obat penawar rindu yang mampu membuatnya tenang dan berdiri menghadapi pedihnya kehidupan.


Alur cerita yang mengalir dan penokohan yang begitu kuat membuat novel ini tak terasa dikhatamkan dengan sekali lungguhan saja. Konflik yang GM bangun mampu membuat pembaca seperti saya mengalami rasa nyeri di hati dan pikiran terhadap peristiwa yang GM suguhkan sebagai bumbu cerita yang apik dan mengajak pembaca untuk terlibat dalam peristiwa pada saat itu. Datangnya Narto ke rumah Jen, suami Suti—adalah sebagai pembuka konflik di novel ini. Ia adalah seorang guru dan anak dari Bupati Temanggung. Ke mana pun ia pergi, gelar radennya selalu ia tunjukan kepada semua orang. Ia mempunyai maksud tertentu mengapa ia selalu begitu. Narto memiliki perangai yang gagah dan bertutur dengan baik. Namun, semenjak peristiwa bejat itu Narto dibenci oleh masyarakat dan hampir setiap malam Narto dikirimi amplop yang diisi sobekan kertas yang bertulisan RADEN SUNARTO diselimuti dengan tahi yang masih basah. Kebencian masyarakat sangat meluap-luap pada anak bupati itu hingga Narto menjadi buronan di Desa Batiombo itu.


Tidak hanya itu, Kiai Subkhi adalah seorang tokoh agama yang menurut masyarakat sekitar Batiombo adalah seorang kiai keramat dan memiliki banyak pendekar di pondok pesantrennya. 


“Mungkin orang keramat dekat dengan Tuhan dan keajaiban. Ia tak memerlukan tanah air?”


Terlihat bahwa peran tokoh agama pada saat itu sangat berpengaruh kepada masyarakat tapi tidak menutup kemungkinan sekarang juga masih seperti itu. Masyarakat percaya bahwa segala yang didawuhi oleh sang kiai itu benar dan datang dari Tuhan langsung. Jika ditelaah lebih dalam kerangka komunikasi. Jenis komunikasi seperti ini berasal dari yang atas menuju ke bawah atau biasa disebut dengan patron client. Karena itu patron client diterapkan dari zaman kerajaan dahulu hingga saat ini. Sebab menurut masyarakat luas yang tak memiliki kekuasaan apa pun, ia memandang raja sebagai orang yang benar dan tak pernah salah. Ia pasrah dengan nasib dan rezekinya yang diatur oleh sang raja dan ia tak mampu berbuat apa-apa selain mengangguk dan berjalan bungkuk di hadapan sang raja.


****


Narto dan Kiai Subkhi mempunyai hubungan khusus. Narto mempunyai julukan khusus dan ia tak suka dengan panggilan tersebut. menurut sepengetahuan orang-orang Batiombo ia adalah murid Kiai Subkhi yang selalu sowan setiap kali menjalankan tugas yang telah diberikan oleh sang kiai. Entah tugas seperti apa yang Oncor lakukan yang pasti ini ada hubungannya dengan penjajah itu.


Sebagai penutup ulasan kali ini, saya memberi rate novel ini dengan angka 85. Jika dikatakan bagus atau jeleknya, novel ini terbilang bagus untuk pembaca yang ingin mengetahui muasal dari sejarah dan makna batik motif sawunggaling ini. Satu dengan lainnya itu berkaitan dan mampu sejalur dengan judul yang ditentukan oleh GM. Akhir kata, peristiwa akan selalu datang silih berganti dengan berupa-rupa wajah dan warnanya yang membuat orang gila ketika ia menghadapinya.


Yogyakarta, 8 Oktober 2022


_______

Penulis

 

Syamsul Bahri, lahir di Subang dan sekarang tinggal di Yogyakarta. Sajak-sajaknya pernah tersiar di berbegai platform media daring dan luring. Bisa disapa melewati IG: @dandelion_1922.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Saturday, November 12, 2022

Resensi Sapta Arif | Menyesap Wangi Cinta dalam Sejarah Kretek Indonesia

Oleh Sapta Arif




Judul: Gadis Kretek

Penulis: Ratih Kumala

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama 

Cetakan: VI, 2022

ISBN: 978-979-22-8141-5

Tebal: 275 halaman


Tak mau kalah dengan karya suaminya—Eka Kurniawan, Gadis Kretek garapan Ratih Kumala membuat gebrakan. Terbit pertama kali bulan Maret 2012. Buku yang telah mengalami enam kali cetak ulang ini segera dialih-wahanakan menjadi film serial di Netflix. Kamila Andini dan Ifa Isfansyah didaulat sebagai sutradara. Tidak tanggung-tanggung, artis sekaliber Dian Sastrowardoyo, Ario Bayu, Putri Marino, hingga Arya Saloka digaet untuk memerankan tokoh-tokoh garapan Ratih.


Penikmat sastra Indonesia tentu sudah tidak sabar menantikan film ini. Apalagi, tokoh Jeng Yah (Dasiyah) akan diperankan oleh aktris cantik nan berkarakter: Dian Sastrowardoyo. Sementara itu, tokoh Soeraja akan diperankan oleh Ario Bayu. Mengingat ketenaran dua aktor ini, serta track record Kamila Andini dan Ifa Isfansyah dalam menggarap film, penikmat sastra tentu berharap alih wahana novel ini bisa menyuguhkan tayangan yang berkualitas.


Menyesap Cinta Beraroma Sejarah Indonesia


Konflik dalam novel ini dimulai sejak paragraf pertama. Bermula Soeraja yang sekarat, tiba-tiba mengigau nama “Jeng Yah”. Kejadian ini sempat membuat geger istri Soeraja, sekaligus menciptakan tanda tanya besar bagi Lebas, Karim, dan Tegar—tiga anak Soeraja. Keluarga ini diceritakan telah membangun dinasti perusahan kretek terbesar di Indonesia. Mengusung nama kretek “Djagad Raja”, nama ini sarat akan sejarah, konflik, hingga rahasia besar.


Ratih dengan piawai membuat dua alur besar dalam buku ini. Pertama, alur konflik antartokoh. Dimulai dari kisah cinta segi tiga antara Idroes Moeria, Roemaisa, dan Soejagad. Dilanjutkan kisah cinta nan pilu antara Soejagad dengan Jeng Yah “Si Gadis Kretek”. Dikisahkan, saat Indonesia tengah berjuang melawan penjajahan Jepang, Idroes muda memiliki ambisi mengembangkan pabrik kretek rumahan. Hal ini mendapatkan dukungan dari tambatan hatinya, Roemaisa. Idroes diceritakan sebagai pemuda yang gigih, ulet, dan ambisius. Lalu, Roemaisa—putri seorang Juru Ketik Belanda—bersetia menemani suaminya dalam getir kehidupan di jelang dan pasca kemerdekaan. Sedangkan Soejagad muda—bakal mertua Soeraja, sejak awal digambarkan sebagai tokoh antagonis dalam bahtera kehidupan cinta Idroes Moeria dan Roemaisa. Akhirnya, Idroes merintis Rokok Kretek Merdeka, sedangkan Soejagad merintis Rokok Kretek Proklamasi dengan ikon gambar Bapak Proklamator kita, Soekarno.


Persaingan Idroes dan Soejagad kian kental. Baik dalam usaha kretek hingga dalam menggaet Soeraja sebagai menantu. Ya, Seoraja yang awalnya diceritakan dekat dengan Jeng Yang, membelot lantaran keadaan yang genting pasca pemberontakan G30S PKI. Pemuda yang belajar banyak dunia kretek dari Soejagad dan kekasihnya ini, akhirnya menikah dengan Purwanti—putri Soejagad. Kisah cinta yang rumit ini berupaya diurai Ratih menggunakan dua pendekatan sudut pandang. Pertama pengisahan sudut pandang orang ketiga. Kedua, pengisahan sudut pandang orang pertama melalui suara tokoh.


Alur kedua, berkaitan dengan sejarah perkembangan kretek yang mewarnai manis getirnya sejarah Indonesia. Dari masa perjuangan kemerdekaan hingga masa-masa genting saat PKI merajalela. Ratih menyimbolkan hal tersebut melalui beragam hal. Mulai dari nama ikon rokok kretek yang dipakai. Pada awal kemerdekaan Indonesia, pembaca dikenalkan oleh dua ikon yang bersaing. Yaitu, rokok kretek “Merdeka” dengan kertas papier warna merah yang menyombolkan semangat kemerdekaan. Lainnya, rokok kretek “Proklamasi” dengan ikon Soekarno yang sedang merokok.


Seperti novel yang beririsan dengan sejarah Indonesia lainnya, Ratih tak luput menyisipkan bagaimana gejolak kehidupan tokoh pada masa-masa genting. Yaitu ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) bergerak hingga saat masa penumpasannya. Di sinilah puncak konflik cinta nan pilu antara Jeng Yah dengan Soeraja. Kisah cinta yang kelak menyimpan rahasia besar perusahaan Rokok Kretek Djagad Raja.


Realisme Sejarah yang Romantik


Sebagai penulis yang meniupkan napas realisme pada novelnya, Ratih berupaya memotret kejadian-kejadian yang mewarnai sejarah perkembangan Indonesia. Alih-alih memberikan gambaran yang teliti pada setiap detail cerita, Ratih justru kerapkali menyisipkan nilai-nilai sejarah di berbagai tubuh novel. Mulai dari kisah Haji Djamari yang dikenal sebagai penemu rokok asal Kudus pada abad ke-19. Kisah ini diceritakan oleh Soeraja pada kekasihnya—saat dengan Jeng Yah. Tak luput juga dia menyinggung lokasi geografis kota M beserta nilai sejarahnya dari kuliner dan nama jalan.


Yang paling ikonik dari novel ini tentu saja sosok Jeng Yang sebagai Gadis Kretek. Nama ini dibaptiskan oleh Idroes Moeria saat mendapati putrinya mampu melinting dengan cita rasa yang enak. Jeng Yah diceritakan merekatkan lintingan kreket dengan air ludahnya yang manis. Melalui tokoh Soeraja yang ahli dalam bercerita, Ratih menitiskan semangat juang Rara Mendut dalam tokoh Gadis Kretek. Penggambaran wataknya—Roro Mendut dengan Jeng Yah—pun begitu identik. Roro Mendut dikenal sebagai sosok gadis yang berpendirian teguh yang tidak sungkan untuk menolak setiap pinangan laki-laki yang diberikan kepadanya. Diceritakan, suatu ketika Roro Mendut tak memiliki harta karena seluruh kekayaan di kadipatennya—Pati—telah dirampas Mataram. Ia pun tidak kehabisan akal. Berbekal kecantikan dan kemolekannya, Rara Mendut mencari uang dengan menjual rokok yang dia rekatkan dengan ludahnya dan telah dia hisap. Hal inilah yang dititiskan Ratih Kumala pada sosok Jeng Yah alias “Si Gadis Kretek”.


Keteguhan hati Roro Mendut menitis pada keteguhan hati Jeng Yah untuk bangkit. Setelah mendapatkan kabar pernikahan Soeraja, ia sempat mengisap kretek baru yang sedang naik daun produksi Soeraja dan Soejagad (mertuanya). Tanpa pikir panjang, ia pun melabrak prosesi pernikahan itu dengan cara memukul semprong ke kepala Soeraja hingga menyisakan bekas luka permanen. Bekal luka yang menyimpan rahasia besar perusahaan Djagad Raja. Rahasia soal apa? Silakan baca novelnya! 


________


Penulis


Sapta Arif, penulis berkarya d(ar)i Ponorogo. Menjadi redaktur esai di lensasastra.id. Buku terbarunya Bulan Ziarah Kenangan.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com