Thursday, September 16, 2021

Esai Arip Senjaya | Wasit

 Esai Arip Senjaya




Jangan berdiam di latar lembah!

Jangan mendaki kelewat tinggi!

Indah bumi tak terperi

Baru tampak dari tengah


(Nietzshce, “Kearifan” terjemahan Agus R Sarjono dan Berthold Damshäuser)



Jadi, bagaimana ceritanya saya sampai masuk jurusan Biologi saat SMA, padahal saya sangat menyukai novel-novel. Dan, SMA saya saat itu ada jurusan Bahasa dengan fasilitas Lab Bahasa yang memadai: ditempatkan secara khusus di atas tanah yang sejuk, dengan taman yang hijau, dengan perangkat meja serba kayu, dan sungai kecil meliuk di sampingnya?


Ceritanya panjang.


Ayah saya adalah seorang lulusan ST (Sekolah Teknik, kini macam SMK) dan beliau bekerja dengan penuh kebanggaan dalam urusan pengelasan. Makin besar karya las yang dikerjakannya, seperti konstruksi besi jembatan, masjid, pabrik-pabrik, beberapa kampus, semakin banggalah beliau. Bayangkan saja bangganya menjadi orang macam Hasiholan Reguel Sidjabat yang ilmu dan kerja kerasnya bisa mewujudkan Masjid Istiqlal, terutama kubahnya yang gede itu. Ia tak pantas merasa bangga sebagai insiyur sipil penuh integritas kalau cuma bisa bikin kubah musala.


Dan tentu sebagaimana bidang lain bahwa bekerja itu suatu titian karier dari yang sederhana ke yang rumit. Ayah saya juga pernah membuka bengkel untuk pengelasan rak piring yang sesekali mungkin juga melayani tukang becak yang besi behelnya lepas karena tersenggol roda pedati dan minta dilas. Namun, hal ini jarang beliau banggakan. Saya tahu masa sulit beliau dari jejak-jejak di gudangnya: ada fosil perangkat las karbit yang menandakan segala diawali oleh masa lalu yang lebih sederhana.


Dan kebanggaan setiap orang pada dasarnya merupakan kebanggan teoretik karena setiap narasi tentang keberhasilan adalah merupakan bangun abstraksi dari pengalaman subjektif. Apa yang membanggakan ayah saya seharusnya tidak mesti membuat saya ikut-ikutan bangga, latah, apalagi memuji-muji tanpa fakta memadai. Ketika belakangan saya menyadari bahwa banyak orang bisa melakukan apa yang dilakukan beliau, bahkan sejak zaman Nabi Daud kebudayaan logam sudah sangat hebat. Saya tahu hal yang membuat saya bangga dari beliau bukan capaian-capaian pengelasan konstruksi-konstruksi besar, tapi bagaimana dunia kerja membangun visinya tentang masa depan saya. Ingat, tidak semua ayah punya visi untuk hidup anaknya! 


Suatu hari ayah saya berkata pelan, “Kampus yang baik itu ITB, dan cobalah kamu nanti daftar ke Teknik Sipil.” 


Saya hanya mengangguk dan merasakan ada yang lucu juga dari visi ini, meskipun sebenarnya kalau saya bisa masuk sipil saya suatu hari bisa bangun masjid juga seperti Pak Sidjabat. Lucu itu karena ayah saya orang teknik, bekerja di bidang teknik pengelasan, tapi rupanya ada bidang teknik lain yang ia mimpikan, sipil itu. Mungkin ia pernah bertemu orang macam Prof. Roosseno (dosennya Sidjabat, juga perancang Istiqlal) dalam salah satu pekerjaannya membangun masjid Amal Bakti Pancasila dan kagum pada gambar-gambar dan perhitungan sarjana sipil. Mimpi tak tercapai itu beliau tawarkan kepada saya untuk saya raih dalam “tidur” belajar. (Mungkin Anda harus membaca puisi William Blake yang menerangkan bahwa mereka yang berilmu mekanistis adalah mereka yang tidur dan bermimpi meminum beningnya air pengetahuan. Jadi, belajar adalah “tidur”. Lihat puisi Blake “You Don’t Believe”).


Ah, Ayah…


Karena itulah saya masuk kelas Biologi sebagai kelas tengah-tengah! Untuk masuk ke kelas Fisika, rasanya saya kok teknik banget atau nurut banget kepada ayah. Untuk masuk ke sosial, rasanya saya tak menghargai mimpi beliau. Paling tidak di Biologi, pikir saya, saya masih bisa membaca novel karena pelajaran Fisika dan Matematika jauh lebih sedikit daripada di kelas Fisika. Dan kalau menjelang lulus saya memang ingin menjadi seorang insinyur sipil, saya boleh saja coba daftar. 


Dan sepanjang itu pula saya ngiler kepada teman-teman yang sangat spesial—hanya satu kelas—di kelas Bahasa itu. Mereka belajar bahasa Jerman dan Perancis selain Inggris dan kalau tidak salah juga Jepang. Tidakkah dunia itu ada dalam bahasa dan mesti mereka yang belajar bahasalah yang benar-benar tahu dunia ini? Lari dari kekecewaan dan rasa pilihan yang salah ini, memilih tengah-tengah, saya terbenam di perpustakaan, dan membaca novel. Kebetulan perpustakaan SMAN Cicalengka saat itu ada di tengah-tengah juga. Di kelas Biologi, saya terbenam di pojok kelas dan hafal siapa saja guru yang bisa saya tipu seolah-olah saya membaca materi atau mengerjakan tugas padahal saya sedang merampungkan novel. 


Pelajaran Biologi, Kimia, dan Fisika saat itu benar-benar sudah tereduksi menjadi simbol-simbol matematis sehingga apa pun tema pelajarannya kami sebenarnya sedang belajar pola-pola melalui bahasa matematis. Padahal sempat saya membayangkan bahwa dengan belajar biologi saya akan belajar menjaga masa depan bumi, seolah-olah biologi itu pelajaran tentang moral lingkungan. Rupanya saya benar-benar mimpi dan mimpi tersebut tidak dalam keadaan tertidur! 


Ya, saya ingat saya belajar teori Mendel, hereditas itu, tentang kacang kapri dan sapi perah, dan kami pun mengira-ngira bagaimana manusia satu dan manusia lain mewarisi gen ayah ibunya. Pelajaran ini rasanya sepintas seperti pelajaran tentang hidup, maka dekat dengan moral, tapi ternyata lebih pada pola itu, sehingga muncullah tabel dan kode "x" atau "y" seakan bahasa kehidupan makhluk hidup adalah tinggal sisa bahasa persamaan matematis. 


Dengan kata lain, sejak SMA saya sudah menjadi pengikut Descartes yang mempreteli kehidupan sehingga kehidupan kehilangan totalitasnya, dan yang ada adalah bahasa macam "x"dan "y" tadi, sehingga rambut Dedi yang keriting pasti mewarisi kritingnya rambut ibu atau ayah Dedi. Berkali-kali saya mampir ke rumah teman sekelas itu, Mendel benar: rambut ayah Dedi keriting! Tidak hanya Dedi, juga kakak-kakaknya Dedi berambut keriting. Melalui dominannya sang ayah dalam rambut keriting, saya pun menyimpulkan bahwa sang ayah kuat (berdasarkan teori gen yang lemah dan gen yang dominan, teori tentang gen mempengaruhi saya dalam memandang manusia). 


Tidak cukup dengan Dedi, saya juga main ke rumah Eri dan dagu Eri yang lancip sama dengan dagu ayahnya Eri. Kakak-kakaknya Eri pun memiliki dagu-dagu yang lancip. Hidung Eri yang mancung juga dimiliki oleh kakak-kakaknya dan adik perempuannya yang selalu tersenyum cemerlang. Hidung mancung juga dari ayah mereka. Gara-gara Mendel pula saya kerap percaya bahwa mereka yang beda dari kedua orang tuanya sangat mungkin bukan anak orang tuanya meskipun teori Mendel mengatakan tentang gen-gen yang bertempur sama kuat sehingga menghasilkan turunan yang anomali, termasuk mereka yang cacat adalah hasil dari kekuatan yang sama! “Makanya,” kata guru saya waktu itu, “agama Islam melarang pernikahan satu darah, karena akan mempertemukan gen yang sama—sama kuat atau sama lemah—dan menghasilkan anak-anak yang cacat!”


Tapi jika esensi hidup adalah tentang berlangsungnya kekuasaan pada yang dikuasainya, gen kuat mengalahkan gen yang lemah, tidakkah biologi Mendel itu sedang mengajarkan atau terpapar oleh pikiran Karl Marx? Apakah ini berarti materialisme historis mendahului teori hereditas? Ah, bagaimana bisa saya berpikir begitu jika mengingat kini bahwa keduanya lahir di zaman yang sama. Tentu saat itu saya tidak menyadari bahwa penyelenggaraan sebuah negara hanya dimungkinkan jika sebagian menguasai sebagian yang lain, yang punya modal menguasai orang-orang tipis modal. Itu semua tidak pernah saya pikirkan di saat saya belajar biologi di SMA karena biologi yang kami pelajari adalah biologi cartesian-mekanistik dan menjauhkan kami dari hidup sebagai totalitas. Apa yang dikatakan biologi saat itu belum tersambung dengan fakta sosial, budaya, filsafat, seni, bahkan alam yang dibicarakannya—betapa ironis. Aneh sekali Hukum Mendel sampai ke Indonesia tanpa pernah disertai dunia Mendel sendiri yang adalah lulusan filsafat dan pertanian, ahli domba, hidup di lingkungan keluarga saleh dan para ahli peternakan, memanfaatkan taman gereja untuk jadi laboratorium, seorang imam Augustinian, ahli fisika (mahasiswanya Doppler), dan sepak terjangnya di dunia astronomi juga tak pernah jadi bagian dari informasi. Hereditas Mendel digunting dari dunia Mendel yang jau lebih bermakna. Seharusnya belajar Mendel membuat kami yang bergaul sebagai aktivis-aktivis masjid dapat memanfaatkan taman masjid sekolah sebagai laboratorium, paling tidak, sehingga pohonan dan manusia tidak kami bicarakan dalam “x” dan “y”.


Menyadari makin terbatasnya pandangan saya pada hidup, makin terbenamlah saya dalam kompleksnya kehidupan di dalam novel-novel. Novel-novel yang saya baca itu mengajarkan saya bahwa setiap manusia adalah unik (misalnya beberapa karya Iwan Simatupang); manusia dan hidup adalah misteri (beberapa novel detektif karya S. Mara GD yang secara kebetulan selalu diawali oleh kata misteri seperti Misteri Rumah Warisan, Misteri Kolam yang Dangkal, Misteri Asmara di Pondok Songka); juga saya bersentuhan dengan beragam kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda seperti karya Yus Rusyana dan Godi Suwarna sehingga sejak kelas dua SMA saya menulis cerita pendek di koran berbahasa Sunda Galura.


Dengan kata lain, saya rupanya mendidik diri untuk hidup di tengah-tengah, belajar sains modernis, tapi memupuk diri dengan para romantikus. Romantikus dalam sastra Indonesia (sastra Sunda termasuk dalam sastra Indonesia) tentu bukan romantikus yang melawan modernisme, tetapi sastra selalu memiliki gen romantik. Bahkan buku puisi Sutardji Calzoum Bachri yang dibanggakan guru kami dan kami pun sangat membanggakan guru tersebut (terima kasih Pak Tedi Gunawan, saya tak pernah melewatkan apa pun yang Bapak sampaikan!) saya pahami sebagai karya romantik meskipun lebih tepat disebut romantik-anomali. O Amuk Kapak Sutardji itu tidak hanya menolak cara pandang yang kaku pada hidup, tapi juga pada sastra (puisi) itu sendiri. Ia ingin membebaskan kata dari makna sehingga muncullah puisi-puisi yang sifatnya atau dalam rangka membangkitkan sugesti. Sisi romantik tersebut secara harfiah saya pahami pada dipilihnya kembali bentuk mantera dalam tradisi sastra lisan kita dan menjadi anomali karena lahir di tengah-tengah puisi-puisi modern pasca-Chairil Anwar yang makin jauh dari sastra lisan. Dan mungkin saja romantisisme sebagai paham perlawanan terhadap modernisme sudah muncul dalam diri Sutardji demi saya rasakan jeniusnya penyair yang satu ini yang juga menjeniuskan Pak Tedi serta semoga muridnya yang satu ini.


Bahkan sebenarnya, meskipun terhadap puisi-puisi angkatan Chairil hingga kini kita memberikan label ‘modern’, puisi bukan bagian langsung dari modernisme tersebut. Mungkin begini: (1) modernisme itu diamini oleh liberalisme sehingga melahirkan paham kebebasan, dan puisi-puisi sebelum Chairil terlalu patuh pada konvensi puisi yang tidak membebaskan. Kebebasan inilah merupakan inti modernitas dalam sastra, bukan karena sastra berpikir secara cartesian, mekanistik, dan apalagi memisah pikir dan jasmani. Kemungkinan kedua (2) munculnya "aku" sejak Chairil menandakan munculnya manusia sebagai makhluk-makhluk yang sendirian dalam kebebasan. Individualisme itu dapat dijelaskan oleh kelindan subjek-modernisme dan subjek-liberalisme.


Jadi, kenapa saya masuk jurusan Biologi? Saya tidak tahu saat itu, kecuali karena saya menghormati harapan ayah saya agar saya masuk ke ITB setelah lulus SMA dan saya mencintai Mendel sebagai pemuda saleh. Akhirnya ketika lulus saya mengambil jalan tengah pula: daftar ke Univ. Winaya Mukti sebagai mahasiswa Teknik Sipil dan Pendidikan Bahasa dan Sastra dan Daerah di IKIP Bandung (sekarang UPI). Tapi saya tidak pernah masuk sekalipun di Winaya Mukti, hanya daftar demi mengelabui ayah saya. Kalau saya ditanya ayah, saya akan tunjukan bukti saya mendaftar, begitu saja. Saya memilih kuliah secara total di UPI saja. Total itu ya kuliah ya beraktivitas sungguh-sungguh di lapangan sastra sehingga aktif di ASAS (Arena Studi Apresiasi Sastra) serta TMIB (Teater Mahasiswa IKIP Bandung, kini berganti Lakon-UPI). Di ASAS saya belajar membaca dan menulis sastra serta kritik sastra, di TMIB saya belajar bertengkar dan bersabar dengan para senior yang pintar-pintar tentang realitas panggung dan realitas-realitas lainnya (tanpa sadar saya menyiapkan diri memasuki lapangan ontologi kefilsafatan dari TMIB/Lakon, karena ontologi itu cabang seni yang mempertengkarkan realitas, di sini kita bisa kembali ke teori condro—lihat esai "Atas Nama Condro".


Sejak saya kuliah S-1, biologi-hereditas-yang digunting itu perlahan mengabur jadi kenangan. Saya tidak lagi melihat manusia dengan kaca mata “x” dan “y”, tapi dengan kaca jiwa Anton Checkhov, Konstantin Stanislavski (meski ia juga terpapar modernisme), William Shakespeare, Suyanta Anirun, Rendra, dan kelak menulis skripsi dengan judul Verfremdungsefekt Berthold Brecht (Brecht adalah penyair dan sutradara Jerman), dan bergaul keras dengan para senior yang terpapar Sigmund Freud, Karl Marx, eksistensialisme yang menghubungkan saya lagi dengan novel-novel Iwan Simatupang, bahkan dengan dunia kesenirupaan dan musik dan filsafat, selain linguistik saussurean dan teori-teori sastra strukturalis yang dikembangkan di kelas kami tanpa perkembangan (ilmu-ilmu di kelas adalah ilmu-ilmu yang disampaikan sebagai hal-hal yang siap pakai, beres, jadi, sila dicoba kalau mau lulus sebagai si ilmiah!).


Pendek kata, kuliah adalah cara saya hijrah dari jalan tengah yang mendustai diri dan orang tua untuk memasuki dunia yang masih tetap tengah-tengah. Linguistik dan teori sastra yang saya pelajari itu modernistik (bahasa dan sastra dipreteli dalam komponen-komponen kecil), tapi sastra dan teater yang menggodok saya di dua organisasi yang sudah disebutkan itu bersifat romantik. Di dalam romantismelah saya merasa lebih depan daripada teman-teman saya yang mencukupkan diri pada ilmu yang berkembang--tapi sebenarnya sudah selesai berkembang itu di kelas.


Belakangan saya mendengar beberapa diskusi tentang Muslim yang baik, yakni yang berdiri di tengah-tengah (ummatan wasathan). Alhamdulilah kalau begitu, sebab sejauh ini saya merasa hidup sebagai wasit (agaknya kata ini berasal dari wasath), dan dengan demikian setiap wasit adalah Muslim (maksud saya, setiap Muslim mestilah wasit). Wasit adalah pribadi yang menyaksikan dan disaksikan, dan menciptakan keadilan. Ayat tentang hal ini persis di tengah-tengah surat Al-Baqarah. Mudah-mudahan saya bisa tetap begitu, tetap mengaji Al-Qur'an, mendengar ceramah para kiai ternama, para habaib penyejuk hati, melihat ribut-ribut agama dan negara agar bisa merenungi bangsa, sambil tetap juga belajar filsafat, sastra, sekali-kali berpikir objektif pula macam modernis betulan, sekali-kali subjektif macam sekarang ini bagai pengarang esai terkenal, sekali-kali kirim Al-Fatihah buat ayah saya dan guru-guru saya yang gemilang. Semoga Allah menjaga almarhum ayah dan guru-guru saya yang masih hidup dan telah meninggalkan saya di tengah-tengah cahaya-Nya. Amin ya rabbal alamin



Penulis

Arip Senjaya, dosen Filsafat Ilmu di Untirta.




Kirim naskahmu ke
redaksingewiyak@gmail.com