Friday, February 24, 2023

Puisi-Puisi M. Firdaus Rahmatullah

Puisi M. Firdaus Rahmatullah




Ketakutan


seharusnya tak perlu ketakutan itu datang

menusuk penglihatanmu dengan sinaran rembulan

bagai lembing membara.


bukankah cinta telah kutiupkan serupa udara

memenuhi seluruh isi jantungmu?


di tempatku, malam adalah keindahan

panorama berbagai muda-mudi memadu kasih

menyalurkan hasrat serta keinginan-keinginan yang menurutku

disebut coba-coba


sementara cinta adalah bahasa kiasan tentang itu

ketika tangan saling genggam

dan tubuh saling mengeram.


tapi, itu dulu

sebelum waktu menjelma batu

dan awan kian kelabu

dan tsunami merenggut rumahmu.



Aku Terbiasa Menangis


aku terbiasa menangis

di kelam sunyi

di malam sepi

mengalurkan airmata yang bercerita tentang

derai alirnya menuju hilir pekat kehidupan,

siapa sangka genangannya membentuk telaga dalam hati

‘ku-banjir-sekali pun-sekarat hanya mampu berdiri-memaklumi.


aku terbiasa menangis

di puncak pucuk

di ujung tanduk

memplotkan airmata yang berkisah tentang

lakon kehidupan di balik deras arus panjang

membentuk napas baru di bilik kornea mata hati

bah tersengal dihambat lajunya, menuju muara.


aku terbiasa.

aku menangis.

terbiasa menangis.


di mana pun.


9/30


ada wangi kesturi pecah

tatkala waktu berhenti dan angin luruh

kenangan adalah angin yang diwiridkan purba

ingatan masa

bercampur serumpun bunga kamboja.


ada wangi kembang merekah dilapisi duka

ada wangi darah dalam lara

tetapi mereka telah jadi sejarah

tercatat dalam buku kenang-kenangan

di sekolah

tersebab sebuah prasasti terlampau mahal harganya.


ada yang bangga, ada yang kecewa

ada waktu yang dilipat

barangkali sengaja diringkas

supaya ceritamu cerkas

dan melupa hingga tandas.


tersebab semua fana

berduka.



Sendiri 


ia seorang diri dalam gelap:

malam menjadi asin dan doa yang dipanjatkannya berlalu

sementara hanya itu yang ia mampu.


ada laba-laba di sudut dinding dan ingatan membeku

tentang takut

tentang maut.


mereka datang dan ia hanya bisa memeluk lutut.


meski di mataku, ia belum pantas demikian

coba habiskan diri di tubuh kelam

jatuhkan diri di rusuk malam;

memanggil-manggil namamu serupa jarak miliaran tahun cahaya.


dan pinta menjelma dalam muram.



Sendiri (ii)


tetapi sunyi tetaplah sunyi

jika langit memendar cahaya dan malam menjadi mimpi

aku sendiri

sementara kau terus melaju dan tak pernah mampu kurengkuh

dalam malam-malam yang bisu

dalam rindu yang kutangguh.


tapi, di sini, peristiwa-peristiwa berlarian

tak ada yang singgah apalagi akan berhenti

kau kian kencang menuju peraduan

dan aku tertinggal bagai hendak mati.


maka, buat apa kutunggu sepi yang makin menjadi

dan kelam yang tak pernah beranjak pagi

bila esok adalah kemustahilan, bagai fiksi,

dan kenyataan selalu ingin pergi.


kekasih,

izinkan kutitipkan sunyiku

pada kekasih

yang benar-benar tangguh.


_______

Penulis


M. Firdaus Rahmatullah, lahir di Jombang. Menggemari sastra dan kopi. Puisi-puisinya pernah dimuat di beberapa media massa. Puisi-puisinya juga termaktub dalam buku Selasa di Pekuburan Ma’la (2019), Perjumpaan: Antologi Sastra Festival Sastra Bengkulu (2019), Segara Sakti Rantau Bertuah: Antologi Puisi Jazirah 2 (2019), Banjarbaru Rain (2020), Perempuan-perempuan Kencana (2020), Wasiat Botinglangi’: Antologi puisi tentang Nilai-nilai Budaya Sulawesi Selatan (2022), dan Laut dan Kembara Kata-kata: Jazirah Sebelas (2022). Bukunya yang terbit Cerita-cerita yang Patut Kau Percaya (2019) dan Langit Ibu (2022). Kini berkhidmat di SMAN 1 Panarukan. 


redaksingewiyak@gmail.com