Puisi M. Firdaus Rahmatullah
Ketakutan
seharusnya tak perlu ketakutan itu datang
menusuk penglihatanmu dengan sinaran rembulan
bagai lembing membara.
bukankah cinta telah kutiupkan serupa udara
memenuhi seluruh isi jantungmu?
di tempatku, malam adalah keindahan
panorama berbagai muda-mudi memadu kasih
menyalurkan hasrat serta keinginan-keinginan yang menurutku
disebut coba-coba
sementara cinta adalah bahasa kiasan tentang itu
ketika tangan saling genggam
dan tubuh saling mengeram.
tapi, itu dulu
sebelum waktu menjelma batu
dan awan kian kelabu
dan tsunami merenggut rumahmu.
Aku Terbiasa Menangis
aku terbiasa menangis
di kelam sunyi
di malam sepi
mengalurkan airmata yang bercerita tentang
derai alirnya menuju hilir pekat kehidupan,
siapa sangka genangannya membentuk telaga dalam hati
‘ku-banjir-sekali pun-sekarat hanya mampu berdiri-memaklumi.
aku terbiasa menangis
di puncak pucuk
di ujung tanduk
memplotkan airmata yang berkisah tentang
lakon kehidupan di balik deras arus panjang
membentuk napas baru di bilik kornea mata hati
bah tersengal dihambat lajunya, menuju muara.
aku terbiasa.
aku menangis.
terbiasa menangis.
di mana pun.
9/30
ada wangi kesturi pecah
tatkala waktu berhenti dan angin luruh
kenangan adalah angin yang diwiridkan purba
ingatan masa
bercampur serumpun bunga kamboja.
ada wangi kembang merekah dilapisi duka
ada wangi darah dalam lara
tetapi mereka telah jadi sejarah
tercatat dalam buku kenang-kenangan
di sekolah
tersebab sebuah prasasti terlampau mahal harganya.
ada yang bangga, ada yang kecewa
ada waktu yang dilipat
barangkali sengaja diringkas
supaya ceritamu cerkas
dan melupa hingga tandas.
tersebab semua fana
berduka.
Sendiri
ia seorang diri dalam gelap:
malam menjadi asin dan doa yang dipanjatkannya berlalu
sementara hanya itu yang ia mampu.
ada laba-laba di sudut dinding dan ingatan membeku
tentang takut
tentang maut.
mereka datang dan ia hanya bisa memeluk lutut.
meski di mataku, ia belum pantas demikian
coba habiskan diri di tubuh kelam
jatuhkan diri di rusuk malam;
memanggil-manggil namamu serupa jarak miliaran tahun cahaya.
dan pinta menjelma dalam muram.
Sendiri (ii)
tetapi sunyi tetaplah sunyi
jika langit memendar cahaya dan malam menjadi mimpi
aku sendiri
sementara kau terus melaju dan tak pernah mampu kurengkuh
dalam malam-malam yang bisu
dalam rindu yang kutangguh.
tapi, di sini, peristiwa-peristiwa berlarian
tak ada yang singgah apalagi akan berhenti
kau kian kencang menuju peraduan
dan aku tertinggal bagai hendak mati.
maka, buat apa kutunggu sepi yang makin menjadi
dan kelam yang tak pernah beranjak pagi
bila esok adalah kemustahilan, bagai fiksi,
dan kenyataan selalu ingin pergi.
kekasih,
izinkan kutitipkan sunyiku
pada kekasih
yang benar-benar tangguh.
_______
Penulis
M. Firdaus Rahmatullah, lahir di Jombang. Menggemari sastra dan kopi. Puisi-puisinya pernah dimuat di beberapa media massa. Puisi-puisinya juga termaktub dalam buku Selasa di Pekuburan Ma’la (2019), Perjumpaan: Antologi Sastra Festival Sastra Bengkulu (2019), Segara Sakti Rantau Bertuah: Antologi Puisi Jazirah 2 (2019), Banjarbaru Rain (2020), Perempuan-perempuan Kencana (2020), Wasiat Botinglangi’: Antologi puisi tentang Nilai-nilai Budaya Sulawesi Selatan (2022), dan Laut dan Kembara Kata-kata: Jazirah Sebelas (2022). Bukunya yang terbit Cerita-cerita yang Patut Kau Percaya (2019) dan Langit Ibu (2022). Kini berkhidmat di SMAN 1 Panarukan.
redaksingewiyak@gmail.com