Thursday, February 23, 2023

Esai Bandung Mawardi | Pemberi(an) Hadiah Sastra

Esai Bandung Mawardi



Berita lama, berita (belum) bahagia. Kita sedang membaca lagi berita lama mengenai sastra. konon, kita jarang berbahagia bila memikirkan sastra di Indonesia. Kita mengartikan sastra berbahasa Indonesia dan sastra dengan bahasa-bahasa bertumbuh di Indonesia: Jawa, Sunda, Madura, Batak, Bali, dan lain-lain.


Sastra dengan beragam bahasa itu biasa diberitakan sedang merana atau mengalami “keberakhiran”. Keluhan dan peringatan sering bermunculan atas nasib sastra bukan berbahasa Indonesia tapi memiliki hak hidup dan bersemi di Indonesia. Sastra-sastra itu ada duluan ketimbang sastra cap modern berbahasa Indonesia. Orang-orang biasa menganggap itu warisan leluhur. “Sambungan” penggubahan sastra dikerjakan pengarang-pengarang abad XX kadang menguak prihatin dan kecewa atas pengabaian dari pihak pemerintah dan perguruan tinggi.


Di majalah Gatra, 20 September 1997, kita membaca berita dua halaman mengenai Hadiah Sastra Rancage. Hadiah diberikan untuk gubahan sastra beragam bahasa tapi bukan berbahasa Indonesia. Penghargaan itu dimulai sejak puluhan tahun lalu. Penghargaan demi kebaikan dan kehormatan.


Kita mengingat Rancage berarti mengingat Ajip Rosidi. Pada 31 Januari 2023, kita bisa membuat peringatan ulang tahun untuk almarhum dengan membaca berita lama di majalah Gatra. Di situ, kita membaca penjelasan Ajip Rosidi: “Sastra itu rohani bangsa. Apabila diabaikan, apa jadinya negeri ini.” Sejak menempuhi jalan sastra, Ajip Rosidi bukan sebagai tukang omong. Ia teringat dengan ikhtiar dan capaian dalam memajukan sastra-sastra di Indonesia. Rancage itu pembuktian untuk pemuliaan sastra tanpa menunggu kebijakan-kebijakan pemerintah.


Ajip Rosidi telah pamit tapi ikhtiar memajukan sastra beragam bahasa di Indonesia terus berlanjut. Rancage menjadi acuan penghormatan meski ada pelbagai jenis penghargaan mulai diadakan oleh pelbagai institusi. Kita disadarkan dengan ketulusan Ajip Rosidi menunda “kiamat” sastra-sastra berbahasa daerah.


Kita membuka buku tebal. Kita menghadapi buku untuk mengenang Ajip Rosidi dan mendoakan Rancage terus diberikan setiap tahun untuk buku-buku sastra dan pengarang menghidupi rohani di Indonesia. Buku itu berjudul Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan (2008). Buku diterbitkan saat peringatan 70 tahun Ajip Rosidi. Kini, kita membaca bermaksud mengerti misi Ajip Rosidi dan Rancage.


Babak permulaan mengadakan penghargaan Rancage: “Aku memilih nama ‘Rancage’ untuk hadiah tersebut. Kata ini kupungut dari carita pantun, artinya aktif-kreatif. Hadiahnya setiap tahun hanya satu, agar jumlahnya agak besar tidak terpecah-pecah menjadi beberapa hadiah, yaitu kutetapkan satu juta rupiah. Secara relatif uang sejumlah itu pada waktu 1988 bisa disebut besar, terutama bagi para penulis dalam bahasa Sunda yang dari majalah yang memuatnya hanya diberi honorarium beberapa belas ribu rupiah saja. Dan yang penting, jumlah itulah yang bisa kusisihkan dari gajiku di Jepang.”


Sejak remaja, Ajip Rosidi rajin menulis puisi, cerita pendek, novel, dan esai. Ia menulis dalam dua bahasa: Indonesia dan Sunda. Ia mengerti nasib pengarang berkaitan dengan honor dari koran, majalah, atau penerbit buku. Ia memahami peran atau faedah sastra di Indonesia. Ia terus menempuhi jalan sastra dan bekerja dengan gaji cukup besar. Ia memihak sastra. Sebagian dari gaji digunakan untuk memuliakan pengarang dan memajukan sastra bukan berbahasa Indonesia.


“Hadiah Rancage lebih mengandung makna simbolik daripada makna materiil,” keterangan Ajip Rosidi. Semula, ia berpikir untuk pengarang dan sastra berbahasa Sunda saja. Pada masa berbeda, misi itu bertambah dan berdampak besar. Di majalah Gatra, kita membaca: “Sejak 1994, Hadiah Sastra Rancage mengalami pelebaran wilayah dengan diberikannya hadiah juga kepada sastra Jawa.”


Pada 2023, kita mengingat Ajip Rosidi dan Rancage saat sastra di Indonesia tampak sedang lesu. Konon, lesu gara-gara nasib media cetak dan penerbitan buku sedang tak keruan. Lesu pun bertambah dengan ketiadaan acara-acara bermutu berbarengan dengan kecerewetan mengeluhkan sastra di zaman bergawai. Begitu.


_________

Penulis


Bandung Mawardi, Kuncen Bilik Literasi. Penulis buku Silih Berganti (2021), Titik Membara (2021), Tulisan dan Kehormatan (2021), Bersekutu: Film, Majalah, Buku (2021), Dahulu: Mereka dan Puisi (2020), Pengutip(an) (2020), Terbit dan Telat (2020), Pengisah dan Pengasih (2019).


redaksingewiyak@gmail.com