Friday, May 3, 2024

Cerpen Juli Prasetya | Perempuan Anonim

Cerpen Juli Prasetya



Pernahkah kau mencintai seseorang yang tak kau kenal? Seseorang yang kau sendiri tak tahu siapa namanya. Aku pernah, dan ini adalah kisah tentang pertemuanku dengan seseorang yang tak kukenali itu, seorang perempuan yang aku sendiri tidak tahu siapa namanya, dan akhirnya kusebut saja ia sebagai Perempuan Anonim: perempuan yang tak kukenali tapi entah mengapa, aku merasa aku mencintainya.


***


Tepat pukul 18.13 gerbong Kereta Api Kulon Progo jurusan terakhir Stasiun Pasar Senen yang aku tumpangi berangkat dari Stasiun Purwokerto. Saat tengah mencari bangku tempat duduk, aku melihat di tempat duduk yang seharusnya aku tempati sudah duduk seorang perempuan cantik yang sedang menghadap keluar jendela. Aku menghampirinya dan kami saling bertatapan sejenak dan saling melempar senyum. Aku segera duduk di sampingnya.


Ia memiliki rambut hitam sebahu dan mengenakan celana pendek boxer berwana cokelat dengan motif hitam bintik-bintik, serta yang khas dari wajahnya adalah ia memiliki satu tahi lalat kecil di bawah mata kirinya. Untuk memudahkan penggambarannya begini saja, apakah kau tahu karakter Shoko di serial Manga Jujutsu Kaisen? Nah, begitulah letak tahi lalatnya, dan begitulah kecantikannya.


Kereta berjalan, dan langit sudah berubah menjadi malam. Di antara kebisuan yang perlahan merayapi kami, tiba-tiba ia bertanya padaku “Apakah sebentar lagi kita akan melewati Stasiun Prupuk?” katanya. Aku diam sejenak, dan mencoba mengingat apakah setelah ini adalah Stasiun Prupuk.


“Ya, setelah stasiun ini, kau akan melewati stasiun Prupuk,” kataku tak yakin.


Dari percakapan yang pendek dan sederhana itu, aku tidak tahu bahwa kemudian percakapan pendek itu akan meninggalkan gema yang amat panjang dalam hidupku. Dari percakapan sederhana itu kemudian aku membuka percakapan dan obrolan lain, dan tahulah aku bahwa ia akan turun di Stasiun Jatinegara. Perempuan Anonim itu (ya aku menjulukinya sebagai Perempuan Anonim, karena aku tidak tahu siapa namanya) mengaku bahwa ia bekerja di Halim, maksudnya mungkin Bandara Halim Perdanakusuma. Ia mengaku habis berlibur ke Jogja.


“Berarti kau mengunjungi Malioboro?” tanyaku.


“Oh tentu saja, ke Jogja tanpa berkunjung ke Malioboro itu seperti makan mi instan tanpa bumbu,” katanya. 


Obrolan kami pada akhirnya terhenti ketika kami saling diam, dan sejenak kemudian ia menyenderkan kepalanya ke jendela. Lalu, tertidur begitu saja.


Di antara Stasiun Bekasi dan Jatinegara, aku memperhatikannya yang begitu resah dan gelisah dalam tidurnya, kupikir ia kedinginan. Ya, pendingin ruangan di kereta sepertinya bocor. Soalnya aku juga merasakan hawa dingin begitu menusuk kulit. Ia kemudian menarik kakinya ke bangku duduknya. Mungkin untuk mengurangi efek hawa dingin, lalu ia merapatkan badannya mencoba untuk tidur sambil memeluk lututnya sendiri seperti trenggiling, dan perlahan ia tertidur lagi. 


Dan entah setan atau malaikat mana yang kemudian merasukiku. Aku kemudian berpikir untuk menyelimutinya. Tapi sebagaimana kisah-kisah cinta yang sudah aku baca, aku malah bergelut dengan pikiran dan hatiku sendiri. Antara aku akan menyelimutinya atau tidak, sedangkan kursi di hadapanku adalah dua orang lelaki paruh baya yang tak peduli dengan sekitarnya. Aku berpikir mungkin saja apa yang aku lakukan nanti akan dianggap sebagai modus, dan pelecehan, tapi pada akhirnya kulawan segala pikiran jelek yang menyelimuti kepalaku dan kuputuskan untuk menyelimuti perempuan itu, dengan harapan supaya aku tidak ada penyesalan apa pun di kemudian hari. Ya, aku tak ingin menyesal dengan tidak melakukan apa pun.


Aku segera melepas jaket hitam bulukku yang telah robek dan bolong di sana-sini, jaket pemberian kakakku setelah ia mengalami kecelakaan dan mungkin mengutuknya, tapi aku yakin akan fungsi dan kehangatan jaketku sendiri. Perlahan aku menyelimutinya dengan jaket, begitu perlahan supaya aku tidak membangunkannya, untungnya ia masih diam dan pulas dalam tidurnya sambil tetap memeluk lutut dan tubuhnya sendiri, sambil menyenderkan kepalanya ke kaca jendela kereta. 


Aku kemudian melanjutkan pikiranku apakah cinta adalah sebuah kepedulian? Apakah yang kulakukan kepada perempuan di sampingku ini sebentuk kepedulian, dan itu artinya adalah cinta? Mungkin aku mencintainya meskipun tak mengenalnya. Dan aku makin yakin bahwa aku sudah jatuh cinta padanya saat pandangan pertama.


Kereta terus berjalan menembus malam, sekitar 15 menit sebelum kereta sampai di Stasiun Jatinegara, ia terbangun, dan aku entah mengapa terkejut dan langsung berpura-pura tertidur. Aku merasa malu dan tak enak sendiri dengan apa yang aku lakukan kepadanya, menyelimutinya tanpa persetujuan. Tapi ternyata hal yang tak kuduga kemudian terjadi, ia balik menyelimutiku dengan jaket bututku itu. Ia mengembalikan jaketku dengan cara menyelimuti tubuhku, ya ampun bukankah ini yang dinamakan saling menyelimuti, bukankah secara tidak langsung tubuh kami pernah menyatu, keringat dan bau tubuh kami pernah menjadi satu, ya Tuhan.


Aku bisa merasakan sisa kehangatan tubuhnya di tubuhku dengan mata terpejam. Setelah menyelimutiku, ia berpindah tempat. Aku tak tahu apakah ia berpindah tempat karena sebentar lagi kereta akan sampai ke Stasiun Jatinegara, tempat tujuannya, atau karena ia merasa jijik dengan sikapku. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu membuat perasaanku galau sekali, aku menjadi minder dan overthingking. Aku bingung apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Aku merasa serba salah dan akhirnya aku hanya bisa pura-pura terpejam dengan kepala penuh dengan pertanyaan-pertanyaan.


Segala prasangka dan pertanyaan di pikiran mengepung kepalaku. Apakah ia takut? Apakah ia merasa jijik dengan kepedulianku? Apakah ia merasa risih dengan apa yang aku lakukan? Apakah jaketku bau? Pertanyaan-pertanyaan macam itu terus menyelimuti kepalaku, dengan kepala yang dipenuhi kekhawatiran dan pertanyaan-pertanyaan. Aku kemudian mencoba untuk membuka mata, dan aku memang terjaga karena aku tak pernah benar-benar tertidur. Aku kemudian melamun dan merenungkan diri sambil melihat keluar jendela kereta, persis seperti apa yang perempuan itu lakukan.  


Dalam lamunanku yang panjang dan dalam, lamat-lamat terdengar suara seorang perempuan memanggil. Dan ketika aku menoleh, aku tak percaya dengan apa yang kualami, ternyata yang memanggilku adalah perempuan yang kuselimuti itu, perempuan dengan tahi lalat kecil di bawah mata kirinya, perempuan yang tak ku tahu siapa namanya, Perempuan Anonim.


“Mas, Mas, makasih ya,” katanya sambil sedikit membungkukan badannya. Aku hanya bisa terkesima dibuatnya, dan mencoba tersenyum sambil melambai dari kejauhan tanpa bisa mengucapkan sepatah kata. Itu adalah akhir yang tak terduga, segala pikiran dan kekhawatiranku lenyap seketika karena memang tidak terbukti. Kereta masih berjalan, melambat, dan berhenti tepat di Stasiun Jatinegara. Perempuan tak bernama itu lalu menarik kopernya dan turun dari kereta kemudian menghilang di balik gerbong. Entah mengapa tepat ketika ia turun dan menghilang dari balik gerbong kereta, tiba-tiba saja mataku berkaca-kaca, aku merasakan kepedihan dan kesedihan, tapi aku tak tahu mengapa hatiku begitu sedih dan pedih, mungkin karena perpisahan, atau entahlah aku tak tahu. Apakah perpisahan dengan orang yang tak dikenal, rasanya akan semenyakitkan ini? Tapi setidaknya tak ada yang perlu kusesali, karena aku sudah melakukan sesuatu dengan perasaanku itu, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.


Jakarta-Purwokerto, 2022--2023


________


Penulis 


Juli Prasetya, penulis muda Banyumas. Sekarang sedang berproses di Bengkel Idiotlogis asuhan Cepung Desa Purbadana. FB: Juli Prasetya Alkamzy.


Kirim naskah ke 

redaksingewiyak@gmail.com