Thursday, August 14, 2025

Esai Uwais Qorni | Tikus

Esai Uwais Qorni



Saya dan Ummik berpisah rumah. Saya berpisah bukan sebab ingin menguasai rumahnya, ingin mengambil alih kepemilikan rumah itu, bukan pula sebab pertengkaran antara istri saya dengan ibu mertuanya. Sebagai putra sulung konon seperti itulah nasibnya. Demikian juga yang Ummik alami sebagai putri sulung kakek-nenek. Mereka mengalah dan pindah rumah, sedangkan rumahnya sendiri dikasih kepada Ummik. Dari sini asal-usul hadiah pernikahan adalah rumah orang tua diberikan kepada anak sulungnya. Ini terjadi di keluarga saya saja, mungkin.


Sebagai yang bebal, saya suka bertanya kepada Ummik atas apa pun. Bisa dibilang juga itu sebagai kritik kecil saya atas kebiasaan yang sering dilakukannya tanpa dasar yang jelas. Tapi itu semua dengan adab. Dengan karakter kekanak-kanakan saya yang dibuat-buat, insyaallah tak sampai masuk hati apa-apa yang saya lontarkan kepadanya. Satu contoh masalah buwuhan atau undangan pesta nikahan. Kenapa harus di amplop tertera nama dan nominal pemberiannya? Kenapa dicatat segala dan membayarnya di kemudian hari itu wajib, di pesta nikahannya mereka yang pernah diundang itu? Kenapa harus ada pesta nikahan segala? Satu per satu Ummik menjawabnya dengan raut muka yang kebingungan. Semua itu didasari atas dasar, "seperti itulah adat di sini".


Dari sini terjawab kenapa orang tua pasutri baru biasanya kaya mendadak sehabis pesta pernikahan. Ya sebab buwuhan itu. Tidak semua amplop pernikahan masuknya ke kantong pasutri baru. Ada namanya sendiri-sendiri. Di malam itu juga kami sekeluarga menghitung jumlah uang pemberian tamu, memilah dan memilih berapa amplop yang masuknya ke kantong orang tua dan berapa amplop yang masuknya ke kantong kami. Pantas saja jika rumah ini secara cuma-cuma diberikannya kepada saya. Toh sudah balik modal.


Jadi, jelas kenapa kami berpisah rumah. Ya sebab sudah mandiri. Sudah dewasa dan punya bisnisnya sendiri-sendiri. Ummik punya toko, saya pun sudah punya pemasukan sendiri. Sekalipun saya akui saya bukan perintis, tapi alhamdulillah saja, disyukuri dan dikembangkan secara diam-diam tanpa menyombongkan diri segala.


Permasalahannya baru dimulai sekarang. Sekalipun itu rumah saya, tidak semuanya diatur oleh saya. Beberapa barang yang sebenarnya sudah masuk tipe rongsokan, tetap tidak boleh dibuang. Amat disayangkan, katanya, kalau dibuang. Menunggu rusak terlebih dahulu. Ada kenangannya.


Begitulah, sehingga saya berinisiatif membuang barang-barang itu sedikit demi sedikit. Kalau langsung semuanya dibuang, berabe nantinya. Sebab barang-barang yang berada di rumah saya tidak semuanya punya saya. Itu rumah pertama kali punya nenek, jadi barang-barang nenek ada di sana. Kemudian berpindah tangan ke Ummik, jadi barang-barang Ummik juga ada di sana sebagian. Dan sekarang berpindah tangan kepada saya, jadi barang-barang saya ada di sana. Belum lagi hadiah pernikahan itu. Belum lagi perabotan dan barang-barang dapur. Macam tiga keluarga barangnya ada di satu rumah saja. Dan itu tidak boleh dipindahkan, dibuang, dengan alasan haruslah punya hati kepada pemberinya yang awal. Kalau tidak suka atas pemberiannya, maka simpan saja. Jangan terang-terangan menolaknya. Simpan dulu sampai pemberinya sudah di alam lain. Alias sudah meninggal dunia.


Berhubung saya tipe orang yang menganut konsep modern minimalis dalam masalah berkehidupan, maka saya usahakan untuk selalu tampil rapi. Begitu juga untuk rumah yang saya tempati. Semuanya harus bersih. Hadiah pernikahan yang tidak terpakai lagi dibuang secara sembunyi-sembunyi biar tidak ketahuan Ummik. Untuk alat masak dikumpulkan di pojok ruangan terbuka saja. Tidak seperti dulu lagi, di mana saat itu perabotan ditaruh di bawah kolong tempat tidur. Hasilnya tak ditemui tikus-tikus mati yang sudah beranak belatung banyak itu. Sungguh menjijikkan mengingat-ngingat beberes rumah yang berkali-kali itu.


Sebenarnya saya kecapekan, kenapa orang-orang dulu suka menumpuk barang? Sampai sekarang masih banyak barang sisa-sisa peninggalan nenek dan Ummik. Mau dibuang takut ditanya. Tapi kenapa tidak ditaruh di rumahnya masing-masing? Pernah saya bertanya seperti itu. Ummik menggerutu. Kata Ummik, "kau sudah tak sayang sama kami ya?" Salah lagi... salah lagi....


Bukan maksud menolak hadiah, tapi hadiahnya terlalu banyak dan sudah tidak terpakai lagi. Saya pernah curhat sama Ummik terkait masalah tikus-tikus di dapur tiap malamnya. Ada saja gebrakannya. Entah mencuri makanan, pakaian dibolongin, digigit-gigit, bahkan lantai pun diberakinnya. Itu mengganggu ketenangan saya hidup bermalas-malasan di rumah ini. Ummik memberi saran supaya saya melanjutkan kebiasaannya di zaman dulu. Saat Ummik menempati rumah ini, ia sering menaruh "sesajen" di bawah tempat cuciannya piring tiap malamnya. Dipikir-pikir itu tindakan yang tak masuk akal.


Memang sih saat kami masih serumah dengan Ummik, tak ada didengar suara-suara berisik dari ocehan tikus di dapur itu. Senyap dan anteng. Sekali waktu saya melihat beberapa tikus duduk-duduk santai di bawah tempat cucian piring. Di sana ada baskom berukuran sedang yang sedang disantapnya. Pastilah ada makanan sisa keluarga yang dijadikan "sesajen" sama Ummik buat mereka. Kata Ummik, itu dibuat biar tikus tidak memberontak. Lebih baik bersedekah kepada tikus sebelum mereka terlebih dahulu yang memaksa kami membayar pajak. Eh.


Pikir saya, enak saja tikus-tikus tadi tiap malamnya tinggal makan, sedangkan kami sebagai manusia pekerja bersusah-susah terlebih dahulu untuk mendapatkan uang dan uang itu untuk membeli beras. Beras mahal, Bos! Jadi nasihat Ummik tadi tidak saya dengarkan.


Tapi itulah yang bikin saya kewalahan. Sering saya meracuni tikus, sering pula saya beberes rumah seluruhnya. Bangkai tikusnya bukan satu, dan itu pun matinya tidak langsung di liang lahatnya masing-masing. Tergeletak di mana-mana. Saya kecapekan mencari bau bangkai menyengat itu. Saya juga kecapekan menyucikan seisi rumah sebab bagaimanapun juga bangkai tikus itu najis. Dan saat ada bangkai tikus satu seakan-akan senada dengan pepatah "mati satu tumbuh seribu". Tak ada kapoknya tikus tadi mengganggu saya. Tak menyerah mereka beranak-pinak biar dapat balas dendam kepada keluarga kecil saya.


Saya overthinking sama masalah sesepele ini. Ini cuma tikus loh. Biasanya tikus bermusuhan sama kucing. Tapi eman-eman kalau pengeluaran bertambah demi ngasih makan hewan. Saya tidak percaya kucing. Saya juga benci kucing. Kucing itu hewan. Hewan juga tak akan pernah tahu masalah seutuhnya saya seperti apa. Dahlah, apa bagusnya tikus-tikus tadi saya makan juga ya? Hitung-hitung minim outcome. Kalau bisa dijadikan bahan ikhtiar baru nyari duit di tengah krisis lowongan pekerjaan di negeri ini. Tikus-tikus dijerat dan dijadikan sate. Dijual, dijadikan bisnis tambahan. Enak, bukan? Entahlah, nanti malam saya coba-coba terlebih dahulu.


Pajaran, 2025


__________


Penulis


Uwais Qorni, penulis yang gemar menulis puisi ini sedang belajar menulis esai. Ia pernah menjadi peserta kelas menulis di Klinik Menulis Angkatan #6. 


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com