Resensi Kabut
Yang dimunculkan di awal adalah dua tokoh berumur tua. Pengarang menyebutkan Pak Baguna dan Mak Baguna. Dua tokoh yang hidup sederhana. Pembaca mudah mengartikan sederhana berarti mahir bersyukur dalam kehidupan sehari-hari. Bersyukur artinya menerima keadaan, menikmatinya tanpa terjebak keluhan dan meluapkan segala keinginan yang berlebihan.
Apakah dua tokoh itu selamanya sabar? Maka, pengarang yang bernama Anna M Massie dalam novel berjudul Matindas (1976) terbitan Pustaka Jaya mengajak pembaca mengetahui celah kesepian dan pengharapan yang dimiliki suami-istri setelah mengalami hidup bersama dalam kesederhanaan.
Pak Baguna bekerja sebagai nelayan. Sehari-hari, ia mencari ikan. Hasilnya biasa ditukar dengan beragam kebutuhan pokok (beras, kopi, minyak kelapa, dan garam). Pengarang menyebut kopi termasuk kebutuhan yang penting untuk Pak Baguna. Pembaca membayangkan kebiasaan Pak Baguna minum kopi di rumah sambil berbagi cerita bareng istri. Konon, kopi memberi pengaruh menjadikan orang tenang dan mengalami waktu tanpa tergesa-gesa.
Setiap hari, Pak Baguna merayakan hidup di laut. Apa yang dikerjakan Mak Baguna selama berada di rumah menanti kedatangan suami? Mak Baguna, perempuan yang bersyukur dengan tananam. Yang diceritakan Anna M Massie melalui penglihatan Pak Baguna saat sampai di rumah, setelah merasa tidak mujur dalam mencari ikan: “Ia memandang sekeliling, lalu tersenyum melihat bunga-bunga yang bermekaran. Di halaman rumahnya tumbuh kembang sepatu, melati, dan kana. Bunga kana hampir mengelilingi seluruh tepi halaman. Warnanya merah dan jingga. Pada halaman samping, terdapat bedeng yang luas dan ditanami rempah-rempah: selasih, bawang daun, kemangi, kunyit, bangle, dan banyak lagi. Pohon pepaya sedang sarat berbuah. Semua tanaman yang tumbuh subur itu hasil kerja Mak Baguna.”
Para pembaca berimajinasi rumah dan kebun yang elok, teduh, dan makmur. Pastinya rumah itu sederhana. Yang membuatnya istimewa adalah beragam tanaman. Rumah dan tanah yang subur. Sehingga, terbuktilah Mak Baguna mewujudkan syukur. Di tatapan mata Pak Baguna, raga yang bekerja di tanah pun mulia. Ia tidak bermaksud membandingkan nasibnya selama di laut. Pada tanah, kehidupan masih terus dirayakan untuk pangan, keindahan, dan kebahagiaan.
Pada hari yang kurang mujur, Pak Baguna takjub melihat kebun yang diurus Mak Baguna. Kita yang membaca boleh iri mengetahui sikap dan siasat hidup yang tidak berdasarkan nafsu serakah dan menginginkan segalanya harus segera terpenuhi.
Hidup mereka belum sempurna. Lumrah saja mereka sedih atau mengeluh. Suami dan istri yang menua tapi tidak punya anak. Hari-hari mereka berlalu tanpa tawa dan tangis anak. Rumah yang tiada teriakan, ulah nakal, dan keseruan anak dalam pengasuhan. Mereka berusaha tabah tapi sulit ingkar tetap menginginkan anak. Padahal, usia mereka sudah tua, merasa punya anak itu kemustahilan. Cerita yang digubah Anna M Massie memungkinkan memberi kebahagiaan kepada para tokohnya dengan keajaiban. Pengarang bertugas mengadakan keajaiban agar para pembaca terpukau.
Bermula dari mimpi, rumah itu tidak lagi sepi. Mak Baguna bermimpi didatangi lelaki tua berjanggut yang menyerahkan sepotong kayu. Pesan yang disampaikan: kayu harus diberikan kepada suaminya agar dibuat menjadi boneka. Mimpi mendapat tafsir dan pembuktian. Pembaca diajak para tokoh untuk percaya keajaiban. Yang jelas para tokoh menyatakan bahwa mimpi berarti petunjuk dari Yang Maha Kuasa.
Maka, Pak Baguna masuk hutan, mencari kayu yang dibuat menjadi boneka. Pembaca agak terkejut mengetahui si nelayan mahir dalam urusan kayu. Pembaca tidak perlu protes. Sebab, boneka yang dibuatnya tampak kasar. Mak Baguna memandangnya dengan pujian, menebus kelelahan Pak Baguna. Kita menyaksikan suami-istri yang tidak punya sifat-sifat buruk dalam kehidupannya. Pengarang tidak ingin memunculkan mereka dalam sengketa. Kebaikan-kebaikan terdapat dalam diri suami-istri yang menua.
Boneka ditaruh dalam ayunan seolah sebagai bayi. Mak Baguna berperan sebagai ibu yang mengasihi. Ia memberi makan dan bersenandung. Pembaca ikut terharu. Suami yang kurang mujur dalam mencari ikan mendapatkan “pengganti” berupa hasil kebun dan kehadiran boneka di rumah. Pembaca lagi-lagi diajak memuji cara hidup mereka, yang terungkap dalam perkataan Mak Baguna: “Tuhan Maha Pengasih. Bagaimanapun susah hidup kita, tetapi kita tidak kelaparan. Masih ada ubi jalar, pepaya, pisang dan singkong yang dapat dimakan.” Kita mengandaikan anak-anak yang membaca buku cerita berjudul Matindas itu mendapat pencerahan. Mereka sadar tentang segala pemberian Tuhan wajib disyukuri. Kita menduga ucapan Mak Baguna berkaitan sedikitnya beras yang diperoleh dari hasil menukar ikan. Jadi, kebutuhan makan tidak mutlak harus beras yang dimasak menjadi nasi. Kita tidak perlu menganggapnya sebagai kritik lembut atas kebijakan pangan.
Keajaiban pun terjadi! Hari berganti, yang berada di ayunan pun berganti. Mak Baguna tidak menemukan boneka tapi bayi. Ia terkejut sekaligus girang. Peristiwa setelah bangun dari tidur adalah keajaiban. Yang dilihatnya itu bayi. Mimpi telah terbukti. Petunjuk dari Tuhan telah tampak di depan mata.
Pembaca diharapkan percaya bahwa keajaiban itu ada. Pembaca ikut hadir dalam rumah, merasa menjadi saksi: “Tiba-tiba bayi itu menggeliat. Matanya terbuka. Mata itu bulat dan bening. Langsung menatap wajah Mak Baguna. Mulutnya yang mungil seperti tersenyum. Mak Baguna membungkuk dan mencium pipinya.” Yang pandai bersyukur mendapat tambahan limpahan kenikmatan dari Tuhan. Mak Baguna dan Pak Baguna pantas berbahagia meski keberadaan anak bukan berasal dari hubungan suami-istri, yang menimbulkan kehamilan. Rumah sudah sempurna dengan adanya anak.
Cerita untuk anak memang melazimkan keajaiban-keajaiban. Kita yang membaca selaku orang dewasa ikut menerima saja bahwa keajaiban yang akan membuat cerita makin seru.
Tiba saatnya pembaca mengakui bahwa Pak Baguna dan Mak Baguna bernasib mujur, berbeda dari pengakuan di awal cerita saat Pak Baguna yang merasa tidak mujur dalam mencari ikan. Kehadiran anak mengesahkan kemujuran Pak Baguna yang rajin mencari ikan, setelah adanya anak yang dinamakan Matindas, rezeki terbukti makin lancar. Pengarang mengungkapkan kegembiraan si nelayan: “Matahari belum di atas kepala, tetapi perolehannya telah banyak. Ikan-ikan bergelimpangan di dalam perahu. Keranjang ikan sudah penuh.” Pembaca diminta merenung kaitan anak dan rezeki.
Di tengah buku, pembaca mulai mengikuti kejadian-kejadian tokoh anak. Matindas mulai punya peran yang menarik perhatian. Pada usia 8 tahun, ia tumbuh menjadi anak yang memiliki sifat-sifat baik. Pokoknya, pengarang tidak ada keinginan menjadikan Matindas itu berbohong, pemarah, malas, atau minder. Pengarang boleh menciptakan para tokoh itu sepenuhnya baik, tidak pernah salah dan terkutuk.
Buktinya adalah Matindas menyelamatkan angsa yang sayapnya terluka. Angsa itu bernama Koko. Matindas berbuat baik, memberi pertolongan tanpa pamrih. Pada saat sudah sehat, Koko terbang mencari istrinya yang bernama Kiki. Sejak itu, Matindas memiliki teman berupa angsa (Koko dan Kiki). Binatang-binatang yang bisa bicara dengan manusia itu membuat pertemanan yang unik.
Pengarang tidak menceritakan Matindas bermain bersama bocah-bocah di kampung. Apakah pengarang lupa di kampung ada bocah-bocah yang akrab dengan Pak Baguna? Sebab, di awal cerita, Pak Baguna selesai mencari ikan biasa berhenti dulu di gerbang kampung: menyapa dan melihat anak-anak yang sedang bermain.
Perlahan, pembaca diajak mengikuti cerita bertokoh Matindas dan beberapa binatang. Angsa muncul duluan. Selanjutnya adalah naga. Pada suatu hari, saat Matindas membawa perahu untuk mencari ikan, dirinya diculik naga. Matindas sudah remaja, berusia belasan tahun, yang berniat membantu mencari rezeki untuk kebutuhan keluarga. Namun, ia diculik naga yang ingin menyantap tubuhnya. Pembaca boleh menganggukkan kepala jika dalam pelbagai cerita anak sering dimunculkan naga. Anna M Massie menghadirkan naga yang jahat.
Matindas yang baik mendapat cobaan besar. Pak Baguna dan Mak Baguna sedih. Matindas berusaha melarikan diri sebelum menjadi santapan naga. Segala cara dilakukan agar selamat. Akhirnya, Matindas bisa memanjat pohon kenari. Para naga marah dan ingin membuat Matindas jatuh. Pohon dihancurkan naga-naga. Mujur milik Matindas. Di pohon yang mau jatuh, ia diselamatkan Koko dan Kiki. Matindas naik angsa pulang ke rumah. Pembaca mendapat lagi keajaiban. Tokoh yang baik tidak boleh kalah dan cepat mati.
Matindas berhasil kembali ke rumah. Yakinlah bahwa keluarga itu selalu mujur. Keluarga yang berhak mendapat keajaiban. Akhir cerita yang bahagia. Pembaca terlarang sedih dan kecewa. Kemujuran mereka bertambah dengan adanya hubungan yang selaras antara Matindas, tanaman, dan binatang. Semula, kupu-kupu bersyukur gara-gara Mak Baguna rajin merawat tanaman, yang dampaknya kupu-kupu dapat hidup bahagia di antara bunga-bunga. Mereka bersyukur dan ingin membalas dengan kebaikan. Yang dilakukan adalah kupu-kupu menjadi teman Matindas: “Kedua kupu itu memandang takjub pada Matindas, lelau terbang dan hinggap di pundak Matindas.”
Pesan di akhir cerita bukan masalah hubungan yang indah antara Matindas, tanaman, dan binatang. Namun, pengarang berseru agar anak-anak berani bercita-cita menjadi nelayan. Anjuran yang cocok bagi anak-anak yang membaca buku cerita berjudul Matindas. Mereka tidak harus bercita-cita menjadi presiden, dokter, menteri, pengusaha, atau artis. Yang mau bercita-cita menjadi nelayan diharapkan mujur dan mendapat keajaiban-keajaiban.
_________
Penulis
Kabut, penulis lepas.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com