Saturday, August 16, 2025

Resensi Kabut | Anak dan Perang

Resensi Kabut



Pada masa kecil, “perang” itu permainan. Anak-anak melakukannya di kebun, sawah, atau pekarangan. Aneh, anak-anak itu tidak takut “perang”. Mereka malah menciptakannya dengan dramatik dan angan heroisme. Yang tampak adalah mereka mendadani diri mirip serdadu, gerilyawan, jenderal, atau prajurit. Senjata yang digunakan bisa apa saja. Maksudnya, benda-benda yang diperoleh di dapur atau gudang digunakan untuk senjata. Benda mendapat nama baru agar perang-perangan menjadi seru. Jadi, mereka mudah menyebut benda-benda itu bedil, tombak, pedang, dan lain-lain.


Dari mana anak-anak mendapat sumber belajar tentang perang? Mereka menonton televisi, yang menyiarkan film-film bertema perang. Ada yang mengetahui perang dari buku-buku pelajaran. Banyak sumber yang digunakan anak untuk bermain perang-perangan. Di Indonesia, anak-anak yang bermain perang-perangan itu seolah-olah (ingin) ingat sejarah atau membuat “imitasi” berbekal imajinasi yang klise.


Perang mengajarkan anak-anak tentang menang dan kalah sekaligus hidup dan mati. Perang adalah darah, jeritan, air mata, ratapan, doa, makian, dan lain-lain. Perang pun memiliki lagu-lagu. Pokoknya, perang adalah peristiwa yang (sangat) diminati anak-anak sebelum mereka mendapat teknologi mutakhir dengan permainan-permainan tanpa mereka berkeringat, berdebu, jatuh di tanah, atau berlumpur. Mereka tetap saja terobsesi perang. Anak-anak malah bermimpi perang, yang menempatkannya sebagai tokoh penting dalam pengorbanan dan meraih kemenangan.


Anak-anak yang belajar di SD atau SMP kadang berkunjung ke perpustakaan. Kunjungan bukan hanya gara-gara penugasan oleh guru. Bayangkan ada beberapa anak yang tidak jajan ke kantin tapi memilih duduk di perpustakaan untuk beberapa menit! Mereka mungkin tidak punya uang saku tapi bisa menikmati menit-menit istirahat di perpustakaan: “jajan” cerita. Yang dilakukan adalah membaca buku-buku yang tersedia di perpustakaan. Pada masa Orde Baru, ratusan atau ribuan buku untuk anak dan remaja biasanya bercap milik negara. Artinya, buku tidak diperdagangkan. Yang membeli atau menyediakan adalah pemerintah, yang menyebarkannya ke ribuan perpustakaan di seantero Indonesia.


Maka, ada anak yang mengambil buku di rak. Buku tipis itu berjudul Anak Gerilyawan (1978) gubahan Marcus AS. Yang menerbitkan Pustaka Jaya. Buku cerita yang cocok dibaca selama Agustus. Judul buku sudah menunjuk latar atau suasana perang yang terjadi di Indonesia masa lalu. Anak yang memilih dan membacanya tidak segera menuduh bahwa buku berisi propaganda sejarah yang dibuat rezim Orde Baru. Anak belum berpikiran jauh. Ia hanya menuruti penasaran mengenai perang. Pada suatu hari, buku menjadi referensi untuk mencipta permainan perang bersama teman-teman.


Sampulnya bergambar ibu dan anak. Pastinya gambar anak yang yang mengesahkan judul novel: Anak Gerilyawan. Mengapa gambar si gerilyawan tidak ditampilkan di sampul depan agar menambah hebohnya imajinasi perang? Padahal, gambar si gerilyawan jika tidak dicetak di sampul depan bisa ditaruh di sampul belakang. Aneh, sampul belakang kosong, tiada gambar dan kata.


Cerita untuk anak menampilkan tokoh anak. Wajarlah! Tokoh anak itu bernama Amir. Ia dan ibunya pindah ke kota, meninggalkan desa. Ibu berharap menemukan ayah di kota. Amir kadang percaya dengan omongan-omongan ibunya. Namun, beberapa kali ia punya rasa ingin tahu yang besar tapi tidak terjawab secara cepat. Ibunya menyimpan rahasia.


Cerita yang mengandung rahasia memang menarik perhatian. Marcus menyadarinya dengan membuka cerita memiliki cicilan misteri: “Sejak kedatangannya di kota kecil itu, perempuan yang menyewa petak Haji Jafar, menjadi pembicaraan tiap orang. Banyak orang yang mengambil kesimpulan yang bermacam-macam. Maklum perempuan itu masih muda. Cantik pula wajahnya. Orang laki-laki membicarakan kecantikan wanita itu. Sebaliknya, kaum wanitanya. Menjadi iri karenanya.”


Anak-anak yang membaca novel sedikit tersenyum sambil bertanya: “Benarkah ini cerita tentang perang?” Pembukanya mirip skandal asmara yang terjadi akibat kedatangan orang baru di kota. Anak mungkin menunda dulu tuduhan bahwa asmara yang akan berkuasa dalam cerita. Judul dan gambar di sampul tidak mengarah ke asmara. 


Yang datang ke kota itu adalah perempuan muda bersama anaknya yang bernama Amir. Nasib Amir juga buruk. Ia mendapat ejekan dari para tetangga atau tatapan yang membenci. Dua tokoh yang harus menderita sejak halaman pertama. Apakah itu siasat pengarang agar para pembacanya mau mengikuti penasaran sampai halaman terakhir?


Dua sosok yang dibenci para tetangga. Omongan-omongan yang sembarangan mendefinisikan mereka sebagai masalah. Kedatangan yang tidak mendapat sambutan baik tapi “permusuhan”. Ibu dan anak yang tidak dikehendaki untuk turut hidup sejenak di kota dalam situasi perang. Ibu dan anak berusaha sabar, tidak gegabah menjawab semua kecurigaan para tetangga.


Amir masuk ke sekolah sebagai murid baru. Ia kesulitan mendapatkan teman. Cerita yang sering menampilkan tokoh-tokoh menderita biasanya mendapat perhatian pembaca. Tokoh yang akan dikasihani dan diharapkan akhirnya berbahagia. Derita-derita yang dialaminya adalah syarat atau keniscayaan.


Di sekolah, Amir mendapat dua teman. Ia cukup bahagia meski harus berhadapan dengan gerombolan yang memusuhi. Akibatnya, Amir menjadi sasaran ejekan. Amir dalam situasi yang sulit. Pengarang segera memunculkan perkelahian, yang membuat benar dan salah agak terlihat. Amir ikut terlibat dalam perkelahian. Penyebab yang menyakitkan: Amir dibilang anak haram. Yang menuduh punya “bukti” bahwa Amir tidak memiliki bapak.


Pembaca diminta sabar. Cerita belum sampai perang. Bila yang membaca anak, masalah perkelahian memberi kesan besar yang patut ditafsirkan. Pengarang memberi peran untuk beberapa tokoh anak, yang dapat menjadi renungan. Harjo mau bersahabat dengan Amir, membuat pembelaan: “Jangan begitu, Sidik. Tak baik menghina sesama makhluk Tuhan!” Pembelaan yang menimbulkan ledekan susulan. “Sejak kapan kau jadi kiai?” bertanya Sidik dengan mulut dicibirkan. Kita membayangkan anak-anak yang akan berkelahi bersenjatakan kata-kata dulu dan pamer tampang.


Mereka tidak langsung terbakar marah, “Musyawarah” terjadi untuk memastikan terselenggaranya perkelahian. Kesepakatan yang dibuat adalah perkelahian bukan di sekolah tapi di kuburan tua. Jadwalnya setelah pulang dari sekolah. Anak-anak yang masih memiliki akal sehat.


Perkelahian tidak asal pukul atau tendang. Ada tanda-tanda yang membuat mereka mengawali atau meladeni. Pengarang tampak sudah melakukan pengamatan bertema perkelahian. Jadi, babak berkelahi dalam novel dinilai bermutu. Kita membayangkan menjadi penonton dua kubu yang mau berkelahi di kuburan tua, yang adegan awalnya: “Harjo meludah ke tanah. Perbuatan ini dianggap oleh Sidik dan kawan-kawannya sebagai penghinaan. Mereka juga meludah ke tanah.” Meludah itu tantangan. Meludah itu penghinaan.


Kesepakatan mendadak pun dibuat untuk memulai perkelahian. Sidik berseru: “Siapa yang lebih dahulu memegang hidungnya dia jagoan!” Peristiwa yang unik. Perkelahian mirip “lomba”. Hidung menjadi sasaran agar perkelahian segera terjadi dalam penentuan yang menang dan kalah.


Perkelahian berbeda dengan perang. Marcus sebenarnya bercerita perang demi kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Di babak awal, ia tetap memberi hak para pembaca (anak) yang tidak segera memasuki masalah-masalah kaum dewasa. Anak-anak yang berkelahi yang membuat novel dapat berpengaruh bagi anak-anak. Berkelahi bukan mengajarkan anak-anak menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Perkelahian itu “kenyataan” yang biasa dihadapi anak-anak dalam pergaulan di sekolah dan kampung.


Perkelahian mengawali perang yang berkobar, yang membenarkan judul novel. Amir terlibat dalam perkelahian. Pulang ke rumah, ia mendapat pertanyaan dan nasihat dari ibunya. Anak yang menyadari dilema-dilema dalam zaman perang. Pada mulanya, Amir diajak ibu ke kota untuk mencari bapak. Amir berharap bertemu bapak tapi kehidupannya adalah sulit dan sulit. Perkelahian membenarkan sulit yang ditanggungkan.


Pembaca belum sampai perang. Pengarang pintar mengatur alur dan “memperlambat” keinginan pembaca dalam perang yang membara. Misteri-misteri dihadirkan pengarang, yang membuat pembaca ikhlas menyelesaikan buku yang tipis.


Kejadian yang mungkin tidak ditebak pembaca adalah ajakan ibu agar Amir berjualan kue untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Amir bersemangat dalam mencari nafkah. Pada keputusan berjualan, pembaca mulai diminta tidak berpikiran hitam dan putih.


Amir tampil sebagai anak yang patuh. Ia tidak mementingkan kesenangannya sendiri. Anjuran ibu dipenuhinya dengan berjualan kue, membawanya keliling dari rumah ke rumah. Masa perang, masa orang harus berhemat dan berpikir kebutuhan pokok. Amir tidak dapat berharap jualan laku dan cepat habis. Pembaca menilai pengarang menunjukkan logika dalam ceritanya.


Yang dialami Amir saat berkeliling di kota: “Tapi yang membeli tak banyak. Dagangan Amir masih menumpuk. Amir tak kehabisan akal, ia memberanikan diri. Masuk ke tangsi Belanda. Di depan gardu penjaga, Amir memberi hormat. Penjaga tersenyum kepadanya. Ternyata penjaga itu baik, ia mengizinkan Amir masuk.” Apa yang terjadi dengan Amir? Mengapa ia berharap dagangannya laku di tempat yang dihuni oleh para musuh, yang ingin menghancurkan kedaulatan Indonesia.


Kita tidak mudah menilai posisi dan misi Amir. Dagangan kuenya laku. Yang membeli adalah para tentara Belanda dan KNIL. Dagangan yang ada di tampah habis. Para tentara suka, berharap keesokan hari Amir datang lagi membawa kue. Amir senang. Para tentara pun senang. Yang kita ikuti adalah cerita mengenai anak yang mencari nafkah. Pembelinya bukan penduduk kota atau bumiputra. Beberapa yang membeli dan menikmati kue buatan ibunya adalah tentara-tentara Belanda. Selain dagangan laku, Amir mendapat pesanan dari keluarga Belanda untuk mencarikan telur ayam.


Pembaca boleh terkejut mengikuti percakapan ibu dan Amir. Percakapan yang tidak menggampangkan orang mengecap manusia dalam perang. “Bu, dagangan kita laku di tangsi! Amir menyampaikan dengan bangga dan gembira. Tanggapan ibu: “Oh, ya. Kau tidak takut, Mir?” Ibu yang ingin mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Bocah itu enteng menjawab: “Tidak, Bu. Belanda itu baik-baik, tak segalak tetangga kita!” Kita menganggapnya kejujuran. Namun, ibu lekas bersikap: “Hus! Jangan bicara begitu!”


Amir bertemu para tentara Belanda. Pertemuan hanya sebentar. Amir sebagai pedagang kue. Para tentara Belanda sebagai pembeli. Dagangan yang habis dan sikap para tentara Belanda itu cepat memberi kesan yang baik kepada Amir. Artinya, Amir mendapat perlakuan sopan dan rezeki lancar. Konklusi yang dibuatnya semestinya tidak terlalu bermasalah. Bocah di tanah jajahan mengatakan tentara Belanda itu baik. Pujian yang diberikan dengan membandingkan nasibnya di antara tetangga yang menghina dan membenci. Pengarang berani menimbulkan polemik kepada pembaca. Bagi orang yang keras dan kolot, tentara Belanda pasti jahat. Argumen termudah: Belanda itu penjajah atau musuh Indonesia. Namun, pembaca diminta menilai sikap para tetangga. Sesama orang Indonesia tapi tidak menunjukkan sikap-sikap yang baik, yang bisa dipelajari dan dipedomani Amir dalam masa pertumbuhannya.


Pengertian penting diperoleh Amir saat mengamati tangsi Belanda. Ia perlahan mengerti perang:. “Di tangsi sangat sibuk, Belanda sedang bersiap-siap untuk menghadapi serangan gerilya,” kata Amir kepada ibu. Padahal, ibunya lebih banyak tahu tapi sengaja menyembunyikan banyak informasi agar Amir tidak ketakutan dalam hari-hari perang.


Cerita buatan Marcus terbukti bermutu. Pembaca tidak dimudahkan dalam membuat penilaian. Pembaca juga tidak merasa mendapat doktrin-doktrin “sejarah” yang dibuat oleh rezim Orde Baru. Cerita yang berlatar sejarah menimbulkan sedikit polemik. Namun, pembaca mengetahui novel itu memiliki beberapa kelemahan dalam karakter tokoh dan alur. Yang terpenting, anak-anak bisa membaca novel tentang perang, yang tidak hanya masalah menang dan kalah.


Pada akhirnya, Amir mengetahui bahwa bapaknya adalah pemimpin pasukan gerilya, yang akan menghancurkan tangsi Belanda. Di rumah, beberapa orang berkumpul untuk mengatur strategi. Amir terjaga dan melihat keadaan yang aneh. Ia berjumpa bapaknya. Ia pun mendapat penjelasan-penjelasan mengenai perang. Malam itu Amir mungkin berpikir lagi untuk tetap menganggap tentara Belanda itu baik atau mengikuti pendapat para gerilyawan.


Ketegangan tercipta. Pengarang melegakan para pembaca yang penasaran perang. Yang diceritakan Marcus adalah peristiwa ibu dan Amir mengungsi tapi sempat mengetahui ledakan dan api, yang memastikan tangsi Belanda hancur: “Keduanya melanjutkan perjalanan dengan cepat. Tiba di hutan jati, mereka bertemu rombongan keluarga gerilya. Mereka meneruskan perjalanan. Kota menjadi panik. Belanda yang mendapat serangan mendadak sangat terkejut. Gudang mesiu meledak, perbelakalan terbakar, dan berpuluh-puluh senjata telah hilang. Gerilya menyerang ke dalam kota, penduduk panik. Dalam sekejap mata saja tangsi menjadi merah. Bertruk-truk Belanda mengadakan patroli tapi gerilya telah mundur jauh.” Peristiwa yang mengesahkan anak-anak yang membacanya berani membela kedaulatan Indonesia. Mereka makin bangga menjadi Indonesia.


Di halaman-halaman belakang, pengarang tampak sulit mengendalikan cerita. Ia terlalu mudah menampilkan adegan-adegan yang mencipta pahlawan dan menyatakan pengorbanan-pengorbanan yang berair mata. Yang membaca merasakan alur terlalu cepat. Di situ, pengarang tergesa memberi pesan-pesan melalui beragam peristiwa, termasuk adanya adegan orang-orang yang menjaga kekuatan dengan lagu-lagu perjuangan. Novel itu perlahan mirip propaganda, yang mengurangi mutu setelah pembaca mendapat halaman-halaman yang pantas memicu polemik sejarah bagi pembaca.


Yang sempat terpikirkan serius di buku bagian belakang adalah membandingkan kota dan hutan jati. Selanjutnya, pembaca diajak mengetahui peran sungai dalam episode gerilya dan menegakkan kedaulatan Indonesia. Pengarang mengisahkan Citarum, sungai yang menentukan keselamatan kaum gerilya dan kekalahan yang ditanggungkan pasukan Belanda. Penutup yang cukup bikin pembaca merenung ketimbang mengikuti beragam propaganda demi sejarah.


_______


Penulis


Kabut, penulis lepas.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


This Is The Newest Post