Saturday, August 30, 2025

Resensi Kabut | Anak dan Hutan

Resensi Kabut


Indonesia, negara yang senantiasa diceritakan dengan ungkapan-ungkapan indah. Pada masa lalu, beberapa peneliti asing berdatangan untuk masuk ke hutan-hutan. Mereka kagum melihat beragam flora dan fauna. Kedatangan bermisi ilmu. Yang meneliti hutan menyibak segala misteri yang ingin tersiarkan di dunia. Nusantara atau Indonesia adalah referensi yang sangat penting. Kedatangan para naturalis pada masa kolonial menghasilkan buku-buku yang menyumbang perdebatan ilmu di dunia, dari masa ke masa. Mereka moncer dan berpengaruh gara-gara hutan-hutan yang terletak di pulau-pulau Nusantara.


Hutan tidak selamanya indah, lebat, dan hijau. Pada akhir abad XX, kita mengetahi hutan adalah nestapa yang berkepanjangan. Pembakaran hutan sering terjadi, yang berakibat buruk untuk pelbagai negara. Kebijakan atau nalar bisnis dengan alih fungsi hutan untuk perkebunan dan beragam kepentingan ikut mempercepat hancurnya hutan-hutan. Pada abad XXI, hutan-hutan makin sengsara. Di Indonesia, ada undang-undang dan menteri yang mengurusi hutan tapi tiada kabar baik dan kegembiraan. Di setiap mendapat berita bertema hutan, kita lekas kecewa, marah, dan menyesal.


Kita tidak sedang memasalahkan hutan masa sekarang, yang terlalu sulit dipulihkan atau diselamatkan. Yang ingin kita mengerti adalah pemunculan hutan dalam suguhan sastra untuk anak. Artinya, anak-anak yang membaca cerita memiliki rasa ingin tahu dan menentukan sikap tentang hutan. Ada yang berseru pelestarian. Ada pula yang menginginkan pemajuan ilmu. Di hutan, ada masyarakat adat, yang semestinya mendapatkan hak-haknya. Yang menyedihkan tentu usaha besar dalam melindungi satwa dan pohon-pohon yang menandai peradaban dunia.


Yang kita baca adalah buku tipis berjudul Di Tengah Hutan Jati (1969) gubahan Trim Sutidja. Buku yang enteng bila berada di tangan anak-anak. Yang membaca sambil tiduran tidak bakal kerepotan. Buku yang diterbitkan Balai Pustaka itu ringan dalam penampilan tapi memiliki bobot-bobot “berat” dalam tema dan bujukan pemaknaan.


Buku cuma memuat tiga cerita pendek. Yang awal adalah cerita berjudul “Di Tengah Hutan Jati”. Kita diperkenalkan dengan anak-anak yang suka menggembala sapi. Perkenalan yang mengesankan: “Apabila sapi-sapi mereka telah dilepaskan di tengah hutan jati, maka tenanglah sudah hati mereka. Dan, anak-anak gembala itu boleh bermain sesuka hatinya: bentik, dam, tiga. Mereka tidak perlu khawatir lagi sapinya akan hilang. Sebab, kawanan sapi itu selalu akan berkumpul mengikuti beberapa induknya.” Anak-anak yang riang sebagai gembala. Mereka tidak lupa bermain agar hari-harinya tidak hanya lelah.


Di hutan, sapi-sapi mudah menemukan makanannya. Para gembala tidak terlalu direpotkan. Masuk hutan berarti mendapat kesenangan dan makanan. Anak-anak biasa mendapatkan kenikmatan-kenikmatan selama di hutan. Kenikmatan yang tampak adalah buah-buahan. Yang mereka inginkan adalah buah nangka. Di situ, banyak pohon nangka yang menggiurkan. Ada yang bercerita bahwa bapaknya memetik nangka yang dibawa pulang untuk dibikin gudeg. Selain pohon nangka, ada pohon buahan-buahan yang lain. Namun, anak-anak sedang kepincut nangka.


Tiga gembala di hutan menunaikan misi: “Suara genta sapi-sapi kedengaran tidak jauh dari sana. Bergema menambah keindahan suasana di tengah hutan. Di sela nyanyi burung tekukur, burung murai, kokok ayam jantan dan gurau kera-kera di dahan-dahan. Di tengah nyanyi segala margasatwa. Membikin perasaan di hati menjadi damai dan tenteram. Angin bertiup membawa kesegaran udara hutan yang sangat nyaman.” Pembaca dibuat iri, berharap bisa ikut para tokoh untuk berada dalam hutan. Pengarang yang memberi gambaran suasana mengena, memicu rasa ingin tahu pembacanya ikut belajar tentang hutan.


Kalimat-kalimat yang melukiskan: “… Di sana, hampir tidak pernah diinjak oleh kaki manusia. Bukit itu tidak begitu tinggi. Pohon-pohon jati di bukit ini terhitung tua-tua. Bahkan di puncaknya tumbuh sebatang pohon jati yang konon ceritanya yang paling tua di seluruh hutan. Di lereng bukit, terdapat sebuah jurang. Di tebing-tebing jurang tumbuh beberapa pohon nangka dengan suburnya. Tempatnya sangat terasing. Tidak semua gembala mengetahuinya. Ke sinilah tujuan ketiga anak gembala.” Kita membayangkan pemandangan itu tampil dalam lembaran foto atau tayangan film. Para gembala yang berani dan beruntung. Mereka berhasil mendapatkan nangka. Yang kita mengerti, anak-anak pasti belajar macam-macam mengenai flora dan fauna di hutan. Mereka berilmu selain menggembala sapi.


Pengarang tidak menggamblangkan bahwa dalam keseharian mereka adalah murid yang memiliki kewajiban-kewajiban di sekolah. Kita dibuat senang menbaca cerita anak yang tidak usah terlalu mementingkan belajar atau menggunakan latar sekolah. Mengapa Trim Sutedja seperti mengenalkan kegembiraan yang berfaedah ketimbang memusat di sekolah? Yakinlah tiga gembala bahagia tanpa buku pelajaran, seragam, dan tugas-tugas yang bikin pusing.


Cerita yang kedua tetap hutan. Pengarang tampak melakukan penyadaran hutan agar anak-anak yang membacanya ikut memiliki hutan yang lestari. Pembaca mendapat tiga tokoh anak yang bernama Tana, Jana, dan Jita. Mereka tidak berada di lingkungan sekolah. Cerita yang tidak ada sangkut pautnya dengan propaganda politik-pendidikan.


Yang terpuji adalah kemauan mereka: “… bersepakat untuk menempuh jarak antara kampung mereka ke kota Y, yang jauhnya lima puluh kilometer dengan jalan kaki. Memang aneh kedengarannya. Tetapi, bagi mereka bertiga, berjalan kaki merupakan kegemaran. Apalagi bila malam terang bulan. Kesempatan demikian jarang sekali mereka lewatkan dengan begitu saja.” Mereka yang bisa membaca tanda-tanda alam. Yang membuat mereka bahagia adalah berjalan, bukan mengadakan kesenangan-kesenangan yang pasif dan konsumtif.


Perhatikan pengakuan bahwa jalan kaki itu kegemaran. Berarti mereka terbiasa pergi berjalan kaki, tidak memiliki ketergantungan pada sepeda onthel, sepeda motor, atau mobil. Anak-anak yang memuliakan kaki, percaya kaki itu punya kekuatan yang memberi kegirangan yang melebihi pamrih turis atau pelancong.


Imajinasi yang indah: jalan kaki di bawah cahaya bulan. Mereka tidak hidup di kampung yang berlimpah cahaya lampu. Cerita yang menimbulkan kekaguman atas keberanian berjalan kaki saat malam dengan cahaya dari langit. Namun, ada bantuan senter bila memang gelap. Mereka melakukannya saat liburan. Jadi, masalah sekolah hanya sedikit sekali muncul dalam cerita. Pengarang mungkin menganggapnya tidak penting.


Perjalanan melewati hutan jati. Pada tengah malam, mereka memasuki hutan. Perjalanan sudah dua puluh kilometer. Mereka membutuhkan kekuatan, keberanian, dan kesanggupan melawan kantuk. Di tengah perjalanan, mereka digoda oleh pengendara mobil, yang ingin mengajak mereka menumpang saja ketimbang jalan kaki. Tekad sudah bulat. Mereka menanggapi godaan dengan tetap jalan kaki. Pembaca membayangkan lelah dan gairah yang bercampur.


Renungan yang dimunculkan pengarang: “Dan, bulan yang lemah lembut itu seolah-olah tetap mengajaknya terus berjalan berdampingan. Sampai saatnya ia nanti terbenam di balik bumi sebelah barat. Apalagi mereka telah mengambil keputusan jalan kaki itu kegemaran dan olah raga.” Peristiwa yang puitis. Anak-anak yang berani membuat keputusan dan sadar risiko. Pada bulan, mereka merasa mendapat dukungan untuk sampai ke alamat dengan jalan kaki.


Di hutan, mereka sudah mafhum bakal bertemu pelbagai binatang. Ada binatang yang mungkin membuat mereka takut atau gagal sampai tujuan. Siasat bertahan dan melawan sudah dipelajari. Tiga anak yang tidak gentar. Anak-anak yang membaca cerita mereka pasti ingin ikut mengalami berjalan kaki melintasi hutan saat malam. Yang menjengkelkan adalah keinginan itu dapat penolakan dari orang tua atau pihak-pihak yang meragukan kemampuan anak-anak.


Di akhir cerita, mereka berhasil keluar dari hutan dengan selamat. Waktu pun berubah, Kondisi mereka tidak lagi perkasa, Yang sulit dilawan adalah kantuk. Mereka berjalan dengan rasa mengantuk saat mengetahui fajar telah merekah. Sampai di kota Y dengan kelegaan dan ketulusan untuk lekas menerima cahaya matahari.


Cerita yang ketiga tetap menghadirkan hutan tapi tokoh yang terpenting adalah Pak Buang, sosok yang tua dan merasa sudah selesai dalam pekerjaan menjaga palang kereta api di suatu kampung. Ia ingin menikmati hari-hari tua dengan pulang ke gunung. Anak-anak menyukai Pak Buang yang mahir mendongeng saat ditemani anak-anak menjaga palang kereta api. Hutan tetap terimajinasikan meski pembaca tidak mendapat pengisahan panjang mengenai anak-anak.


Pada saat menulis cerita dan terbit, Trim Sutedja mungkin mengetahui nasib hutan-hutan di Indonesia. Penguasa baru yang menggantikan Soekarno sedang getol dengan pembangunanisme, yang bakal mewujud besar-besaran pada masa 1970-an. Buku itu cetak ulang pada 1974 dan 1977, yang mengartikan dampak dan makna cerita bisa berkaitan risiko pembangunanisme di Indonesia.


________


Penulis 


Kabut, penulis lepas.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 

This Is The Newest Post