Saturday, August 23, 2025

Resensi Kabut | Petani dan Tentara

Resensi Kabut



Selama bulan Agustus, anak-anak bersuka cita. Yang membuat mereka memiliki hari-hari bergairah adalah beragam lomba. Di Indonesia, Agustus berarti hari-hari yang berisi lomba-lomba: serius atau lucu-lucuan. Peserta yang berbahagia dan ambisius adalah anak-anak. Sejak dulu, ada puluhan lomba “tetap” yang membuat anak-anak menghitung jumlah kemenangan yang bisa diraihnya. Kalah dalam lomba Agustusan bikin kecewa dan malu. Pokoknya, anak-anak ingin menang dan mendapat hadiah atas nama perayaan kemerdekaan.


Artinya, sejarah bagi anak-anak adalah keceriaan yang tiada putus. Yang diinginkan adalah ikut lomba, menang, dan mengumpulkan hadiah sebanyak-banyaknya. Serunya lagi bila kemenangan diumumkan kepada warga sekampung. Pemenang bakal terkenal dan bangga, menjadi cerita di kampung. Kemerdekaan adalah kesenangan untuk anak-anak.


Namun, anak-anak kadang agak cemberut dan malas-malasan. Mengapa mereka ingin senang mutlak, tidak boleh ada gangguan? Pada setiap 17 Agustus, anak-anak yang menjadi murid di SD dan SMP diwajibkan ikut upacara. Mereka hadir dalam upacara, tidak boleh membolos dengan alasan tidak bermutu! Padahal, anak-anak memilih lomba, bukan upacara yang bikin lelah dan tersiksa panas matahari.


Anak-anak tidak bisa membantah. Ikut lomba sampai lelah itu hak tapi menjadi peserta upacara itu wajib. Yang menghibur mereka adalah panggung Agustusan. Di situ, ada pidato, pentas seni, paduan suara, dan lain-lain. Apakah semua itu cukup untuk merayakan kemerdekaan? Yang jarang disuguhkan kepada anak-anak adalah cerita bereferensi sejarah atau masa lalu. Kita tidak mengharuskan ada hari-hari khusus bercerita atau mengajak anak-anak membaca buku agar Agustus makin bermakna.


Kita membayangkan ada anak-anak yang menyempurnakan pengalaman Agustus dengan membaca buku berjudul Kenang-Kenangan di Jaman Perang (1977) yang ditulis oleh Hardjana HP. Buku tipis, yang tidak perlu dikhatamkan selama tujuh hari. Satu atau dua jam saja sudah bisa rampung dibaca. Buku diterbitkan Rora K, Jakarta. Pembaca yang paham bahasa Indonesia segera mengoreksi judul. Pembaca berpendapat penulisan yang benar adalah “zaman”, bukan “jaman”.


Buku berisi “kenangan”, tidak menyebutkan sebagai “sejarah” atau “fiksi”. Kenangan berlatar sejarah, yang mengingatkan pembaca tentang suka dan duka kemerdekaan. Kenangan memuat yang benar tapi memungkinkan khayalan, bisa pula kekeliruan dalam kesesuaian dengan “data-data” sejarah. Kenangan bisa dibaca sambil pembaca membuat ralat, bantahan, atau tambahan.


Merayakan Agustus dengan membaca kenangan mungkin tidak terlalu menggembirakan jika jelek dan banyak “salah”. Kita mulai dari paragraf pertama: 


“Waktu itu umurku 13 tahun. Aku masih duduk di bangku sekolah dasar klas V. Sebab itu aku belum mengerti, apa sebenarnya yang sedang terjadi di tanah air kita dikala itu. Hanya ayah dan ibuku yang berkata bahwa negara kita Indonesia sedang berperang melawan penjajah.” 


Pembaca yang pintar dalam pelajaran Bahasa Indonesia membuat koreksi. Pengarang menulis “klas”, seharusnya “kelas”. Ada kesalahan lagi: “dikala” semestinya ditulis “di kala”. Paragraf pertama sudah meragukan dalam bahasa, memicu ragu dalam mutu cerita.


Kenangan yang ditulis Hardjana HP bukan bertahun 1945 tapi 1949. Kenangan yang tetap saja dipicu peristiwa 17 Agustus 1945. Murid-murid yang mendapat pengajaran sejarah mungkin ingat peristiwa-peristiwa penting setelah pembacaan Teks Proklamasi. Yang ingat akan merasa mudah membaca buku yang berhak mendapat banyak ralat.


Yang dikisahkan berlatar dusun di pegunungan Menoreh, yang kedatangan banyak pengungsi akibat perang: 


“Orang-orang kota itu tentu dengan susah payah mendaki gunung. Sudah berharian mereka berjalan tanpa berhenti. Peperangan ini terjadi di tahun 1949. Orang menyebutnya clash kedua. Adapun chlas kesatu terjadi di tahun 1947. Pada tahun-tahun ini kendaraan pengangkut penumpang belum begitu banyak… Jadi dapat dibayangkan bagaimana para pengungsi itu menahan lapar dan letih, menempuh perjalanan puluhan kilometer dengan langkah kakinya.”


Situasi sulit menimpa banyak orang yang tinggal di dusun maupun para pengungsi yang berdatangan dari kota. Yang sangat diperlukan adalah pangan. Hari-hari yang buruk masih mengisahkan kebaikan dan kebersamaan. Para pengungsi kehabisan uang dan makanan. Maka, mereka menjual barang-barang kepada warga dusun agar dapat digunakan membeli makanan.


Hardjana HP menceritakan: 


“Mendengar ratap seperti itu banyak pula penduduk yang tetap tak tega. Terpaksa harus menolong lagi dan memberikan sebagian dari berasnya yang sudah menipis. Kebetulan sekali waktu itu sawah tak begitu memuaskan hasilnya.” 


Desa atau dusun itu sumber pangan. Yang tinggal di situ adalah petani. Pembaca diminta meyakini kultur agraris, yang menguak masalah pangan sekaligus sikap hidup. Para petani tidak diceritakan dalam pamrih cari untung sebesar-besarnya tapi mempertimbangkan nasionalisme dan kemanusiaan.


Hari-hari kehidupan warga dusun dan para pengungsi makin seru dengan hadirnya para tentara. Berbaur bersama warga, para tentara berbagi cerita dan turut dalam kesibukan-kesibukan demi kepentingan bersama. Pada masa Orde Baru, jenis bacaan yang dihasilkan oleh Hardjana HP menyatakan keunggulan tentara atau militer dalam sejarah (kemerdekaan) Indonesia. Pengertian itu secara serius diajarkan di sekolah-sekolah dan dipropagandakan dalam masyarakat. Yang dimengerti adalah tentara sangat menentukan kemerdekaan Indonesia.


Pembaca kenangan-kenangan yang diajak mengetahui situasi 1949 cukup mendapatkan penjelasan-penjelasan penting yang disampaikan para tokoh. Pembaca mungkin mudah bermufakat merujuk yang disampaikan tokoh anak bernama Siswanto: 


“Seorang tentara ternyata mempunyai tugas yang berat. Dia harus mau merelakan nyawanya di saat negara membutuhkan dan ibu pertiwi dalam bahaya. Ibuku pernah berkata bahwa seorang tentara yang meninggal di medan laga tentu akan naik surga. Dia disebut pahlawan atau bunga bangsa.” 


Murid-murid yang membaca buku Hardjana HP terduga percaya dan terpengaruh untuk bercita-cita menjadi tentara.


Anak-anak yang ada di dusun (Samigaluh) terpesona menyaksikan para tentara. Mereka mendapat banyak cerita yang mengesankan dari para tentara. Pertemuan petani dan tentara di dusun menimbulkan pemahaman bagi anak-anak: 


“Petani dusun seperti kami kemampuannya hanya menyandang cangkul dan menggiring kerbau ke sawah. Mana mungkin kami bisa menggunakan senjata dan pistol? Meski begitu, jadi petani pun mulia.”


Yang terbayangkan oleh para pembaca bahwa sejarah Indonesia tercipta bukan hanya oleh tentara. Petani juga berperan besar dalam ketersediaan pangan selama perang dan usaha menjaga kedaulatan Indonesia. Bila kita membuka ingatan bersumber biografi dan pidato-pidato Soeharto, maka petani dan tentara memang dipentingkan di Indonesia. Dulu, Soeharto lahir di desa, mengaku sebagai anak dari keluarga petani. Akhirnya, ia menjadi tentara, yang berlanjut menjadi presiden.


Yang diceritakan adalah perang. Kehancuran dan kematian selalu terkandung dalam perang. Di Samigaluh, banyak kerusakan yang terjadi. Sekolah termasuk yang terkena serangan: hancur dan rusak parah. Akibatnya, pengajaran untuk murid-murid diadakan di rumah-rumah penduduk. Belajar tetap dipentingkan agar anak-anak di desa mendapat banyak ilmu, yang nantinya digunakan dalam memajukan Indonesia. Cerita mengenai belajar itu mungkin menyemangati para pembaca yang berstatus murid SD pada masa pembangunan nasional. Penyesuaian belajar selama perang dilakukan: “Sekolah itu masuk siang hari dan pulangnya sore. Maksudnya, diwaktu pagi agar bisa digunakan oleh anak-anak untuk membantu orang tuanya di sawah atau di ladang atau mencari rumput untuk hewan piaraan.”


Sampai di tengah buku, para pembaca mendapat imajinasi perang dan dampaknya di dusun. Kenangan yang memuat banyak penderitaan tapi ditanggapi dengan keberanian dan ketabahan. Bacaan yang cocok untuk menegaskan makna kemerdekaan dan kedaulatan. Anak-anak yang membacanya akan makin menghormati pengorbanan tentara, petani, guru, dan lain-lain. Ingat, Indonesia itu mulia oleh segala pengorbanan banyak pihak yang tidak sia-sia.


Selama perang, anak-anak belajar prihatin. Yang paling terasa adalah makanan. Beras cepat habis. Maka, warga pun harus prihatin: makan singkong atau jagung. Yang terbiasa makan nasi wajib menyadari bahwa perang menghancurkan sawah dan membahayakan petani yang ingin tetap bekerja di sawah. Perang adalah kesengsaraan. Bagaimana nasib anak-anak selama perang? Hardjana HP memang mengisahkan anak-anak yang terdampak perang tapi mereka tetap menyusun biografinya yang seru: bermain, belajar, membantu orang tua, dan ambil (sedikit) peran dalam perang.


Buku berjudul Kenang-Kenangan di Jaman Perang memiliki 43 halaman. Bacaan yang pendek. Namun, pengarang menjejali para pembaca dengan beragam pesan, yang berat dan mengesankan mirip petuah-petuah pemerintah berkaitan sejarah Indonesia dan usaha mewujudkan pembangunan nasional.


________


Penulis 


Kabut, penulis lepas.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


This Is The Newest Post