Oleh Kabut
Sejak belajar di sekolah dasar, anak-anak mendapat imajinasi dan pengetahuan bertema pahlawan. Ada yang memulainya dengan lagu-lagu. Dulu, anak-anak mudah membawakan lagu-lagu “wajib” dan nasional, yang memberikan pesan-pesan heroisme dan tanah air. Pada saat bernyanyi, mereka membuat penghormatan kepada tokoh-tokoh yang telah berperan dalam raihan kemerdekaan Indonesia. Di SD, lagu-lagu mudah menghimpun kekuatan bersama untuk menyadari Indonesia yang merdeka lewat banyak pengorbanan.
Lagu-lagu makin bermakna saat murid-murid diminta rutin mengikuti upacara bendera. Kita mengerti anak-anak sudah harus diajari ideologi melalui lagu-lagu, yang bisa dibawakan dalam pelbagai acara. Selanjutnya, anak-anak mengikuti pelajaran-pelajaran yang makin meminta mereka menjadi pembela Indonesia. Mereka pun dituntun memberi peran untuk Indonesia yang maju. Ideologi itu sangat kentara dihadirkan dalam kehidupan anak-anak pada masa Orde Baru. Kita dapat menyelidiknya melalui penentuan atau pembuatan beberapa mata pelajaran.
Semua itu belum cukup. Dinding kelas pun dijadikan alat agar anak-anak menerima ideologi yang diinginkan rezim Orde Baru. Kita masih ingat foto atau gambar yang berada di dinding kelas. Kita kadang melihat peta Indonesia. Foto presiden pasti ada. Pokoknya, dinding-dinding di sekolah berguna dalam ideologisasi, yang mengarahkan anak-anak menghormati pahlawan dan mengisi kemerdekaan.
Ada cara lagi yang menjadikan anak-anak “terikat” dengan gagasan-gagasan besar mengenai Indonesia. Yang dilakukan pada masa lalu adalah menghasilkan buku cerita dalam jumlah yang banyak, mengedarkannya ke desa dan kota. Anak-anak dianjurkan rajin belajar. Buktinya adalah suka membaca buku. Adanya buku-buku cerita yang dibaca anak-anak mendukung kerja-kerja besar yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Pada buku-buku yang terbaca, anak-anak sebenarnya sedang berurusan dengan negara.
Namun, masalah-masalah besar itu kadang bisa “diturunkan” dalam cerita-cerita sederhana dan bersifat sehari-hari. Anak-anak yang membaca buku cerita seperti tidak sedang mendapatkan doktrin tapi menikmati segala yang tersaji. Cerita anak memang semestinya menghibur ketimbang ikut-ikutan menyusahkan seperti buku pelajaran.
Kita membaca buku berjudul Pahlawan Kecil (1981) yang ditulis Djiwanto. Buku yang diterbitkan Pustaka Jaya ikut dalam arus pembangunan nasional. Pengarang seperti minta perhatian besar melalui judul yang dibuatnya. Bagi anak-anak, pahlawan itu gelar atau sebutan yang agung, mulia, dan gagah. Mereka telanjur mendapat pengertian pahlawan melalui buku-buku pelajaran dan peringatan Hari Pahlawan.
Anak-anak mungkin meniru sifat-sifat pahlawan, yang diketahui sejak kecil sampai dewasa. Peniruan bukan berarti anak-anak mau menjadi pahlawan. Mereka ingat saja bahwa pahlawan adalah teladan. Pahlawan memiliki banyak kebaikan, yang membuatnya mulia dan berjasa dalam sejarah Indonesia.
Yang membaca cerita tidak tiba-tiba mendapat penjelasan mengenai pahlawan tapi diajak mengikuti pergaulan anak-anak yang mengandung nilai-nilai dari meneladani pahlawan. Djiwatno bercerita: “Tiap pagi, Dul Gendut menyertai Sutanto pergi ke sekolah. Sutanto berjalan di muka, berlenggang kangkong tidak membawa apa-apa. Sedangkan, Dul Gendut berjalan di belakangnya membawa dua tas berisi buku-buku dan alat tulis. Tas yang satu milik Sutanto, yang selalu dibawa Dul Gendut dengan tangan kanan, dan yang satunya lagi tasnya sendiri yang dibawanya dengan tangan kiri.”
Adegan itu gampang dimengerti pembaca. Jadi, anak yang membedakan sifat-sifat antara Sutanto dan Dul Gendut sebenarnya dapat belajar menjadi manusia yang baik, yang dulu ditunjukkan oleh para pahlawan. Yang tergesa membaca biasanya menjadikan itu contoh hubungan “tuan” dan “hamba”, yang lazim terjadi dalam feodalisme dan kolonialisme.
Para pembaca diminta memberi perhatian kepada Dul Gendut. Apakah ia anak yang patuh, salah, rendah, dan kalah? Pembaca yang menyimaknya bakal mengetahui usaha-usahanya menjadi manusia dalam beragam tekanan. Pembaca ikut merasakan gelisah bila memasuki dunia-batin Dul Gendut.
Pada suatu hari, Sutanto mendapat mendapat masalah di sekolah. Akibatnya, ia pulang belakangan, tidak berbarengan teman-teman sesuai jadwal berakhirnya pelajaran. Maka, Dul Gendut pulang sendirian. Peristiwa yang tidak mudah: “Kali ini Dul Gendut berjalan lambat karena dalam hati ia segan pulang. Ia sudah dapat menggambarkan bahwa ia nanti pasti dan mendapat bermacam-macam pertanyaan, terutama dari Ibu Sutanto. Ia pasti akan mendapat pertanyaan: ‘Di mana Sutanto berada? Mengapa Sutanto masih di kelas? Mengapa ia tidak menolong Sutanto?’ Dan, ia pasti akan dimarahi ibu Sutanto dan disalahkan.”
Pembaca mencatat terjadi ketidakadilan. Ada yang ingin segera mengasihani dan membela Dul Gendut. Apakah anak itu bisa tabah? Apakah akhirnya ia akan menjadi sosok yang berani atas nama kebenaran? Membaca cerita memang memungkinkan terjadinya pertimbangan nilai-nilai atas para tokoh dan pemaknaan yang berkembang. Pada mulanya, Dul Gendut terbaca sebagai pihak yang lemah. Pada akhirnya, semuanya bisa berubah.
Perubahan demi perubahan terjadi, yang mengajak pembaca ikut dalam permainan makna. Kita simak yang diceritakan Djiwatno: “Ibu Dul Gendut sudah tidak bekerja lagi pada orang tua Sutanto. Ia mempunyai sedikit uang simpanan, yang dipergunakannya untuk modal berjualan nasi dan bubur pada pagi hari. Meskipun untungnya sedikit, tapi ia dan anaknya dapat ikut makan dengan cukup… Oleh orang tua Edi, ia diberi ruangan kecil di belakang. Di situlah, ia dan anaknya tidur di atas balai-balai dari bambu….” Kehidupan yang sederhana tapi sudah terlepas dari hubungan yang diskriminatif.
Pembaca dibikin kagum dengan karakter Dul Gendut. Anak yang mendapat didikan dari ibu dan lingkungan-sosial. Anak yang membaca mengerti nasib Dul Gendut: “Sebagai tanda terima kasih kepada orang tua Edi, tiap sore Dul Gendut menyapu halaman rumah orang tua Edi. Pada hari pertama, Edi memandang saja kepada Dul Gendut yang sedang menyapu. Pada hari kedua, Edi mengikuti Dul Gendut sambil mengobrol. Dan, pada hari ketiga, Edi mengambil sapu dan ikut menyapu. Ia tidak tahan melihat temannya bekerja sendirian. Padahal, sebelumnya, ia tidak pernah melakukan pekerjaan menyapu halaman.”
Dunia anak-anak, dunia campur aduk. Di pergaulan, mereka kadang akrab. Segala hal bisa dikerjakan Bersama dengan rasa senang dan berbagi kebaikan. Namun, mereka kadang dalam konflik, pendek atau Panjang. Yang dimunculkan adalah kepentingan menyalahkan dan membuka keburukan-keburukan. Pengarang memunculkan para anak itu dalam pergaulan yang lazim saat berada di sekolah atau kampung. Yang cukup mengejutkan kebersamaan anak-anak sampai dalam usaha heroik menghadapi kejahatan.
Anak-anak yang pemberani biasanya kepikiran menjadi pahlawan. Yang dipelajari adalah membela kebenaran dan keadilan. Anak pun mengerti rela berkorban. Pokoknya gagasan-gagasan kepahlawanan cepat meresap dalam dunia anak-anak, yang disokong oleh tontonan dan bacaan. Anak yang menjadi pahlawan adalah anak yang berusaha untuk baik dan benar.
Buku yang ditulis Djiwatno itu tampak sesak konflik. Anak-anak yang membacanya mungkin tertantang ikut mengalami masalah-masalah yang terjadi. Namun, yang membaca cerita akan lelah bila kepikiran kepahlawanan. Pembaca boleh saja menandai yang seru-seru saat anak-anak menghadapi masalah dalam belajar, keluarga, dan pertemanan.
________
Penulis
Kabut, penulis lepas.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com
