Saturday, November 8, 2025

Resensi Yuditeha | Cermin yang Menelanjangi

Resensi Yuditeha




Judul: Kisah Lama, Tutur Baru

Penulis: Lu Xun

Penerbit: Marjin Kiri

Tahun: 2019

ISBN: 978-979-1260-84-8

Tebal: vi + 170 hlm



Membaca Kisah Lama Tutur Baru karya Lu Xun ibarat menonton teater bayangan, menampilkan siluet mitologi dan legenda, tetapi di balik layar ada sindiran halus bagi manusia yang begitu yakin memerankan diri sebagai makhluk paling luhur. Lu Xun tidak hanya bercerita ulang dongeng lama, melainkan juga sedang menertawakan keseriusan manusia dalam menjalani absurditas dirinya.


Buku ini berisi delapan kisah yang meminjam mitos dan legenda Tiongkok kuno, lalu memutarnya seperti tak acuh pada aroma sakralnya. Ia seperti mencomot cerita yang dulu disembah, lalu mengajaknya duduk di warung teh untuk membicarakan kebodohan manusia. Kecerdikan Lu Xun, ia tidak menghancurkan mitos dengan palu, melainkan dengan senyum sinis.


Kebanyakan orang mendekati mitos dengan takzim, Lu Xun mengupasnya bagai dokter membedah mayat pasien yang dulu dianggap dewa. Dalam kisah pembuka yang legendaris, dewi pencipta dunia diceritakan dengan nada jenaka dan nyaris absurd. Ia menambal langit bocor bukan demi keagungan, melainkan karena kesalahan kecil tapi berakibat besar, yang dari situ manusia muncul, nyaris sebagai efek samping yang tak diinginkan.


Ironinya menampar lembut, manusia yang sibuk memuja diri, rupanya hanya kebetulan kosmis. Dari awal penciptaan saja, Lu Xun sudah menertawakan konsep kesempurnaan dan keagungan manusia. Ia memperlihatkan betapa rapuh asal-usul kita, bahkan betapa tidak seriusnya semesta ketika menciptakan kita.


Satire itu menegaskan pandangan Lu Xun, bahwa tragedi manusia bukan terletak pada penderitaan, melainkan pada kepercayaan berlebihan terhadap dirinya. Dalam dunia di mana rakyat dikorbankan demi kestabilan negara, kisah dewi menambal langit terasa seperti alegori tentang kekuasaan yang menambal kerusakan dengan darah rakyat.


Cerita-cerita berikutnya terus memainkan ironi: nilai-nilai luhur dikupas sampai terlihat busuknya. Dalam satu kisah, dua bangsawan yang dianggap suci memilih mati demi prinsip, tapi Lu Xun menyajikannya seperti dua orang keras kepala yang tak tahu harus berbuat apa selain mempertahankan harga diri. Pembaca dipaksa berpikir, apakah kebajikan yang diperjuangkan mati-matian benar-benar bernilai, atau hanya topeng lain bagi kesombongan?


Cerdasnya Lu Xun, ia menertawakan kemuliaan dengan cara yang membuat pembaca ingin menutup buku, bukan tersinggung, tapi merasa telanjang. Ia menunjukkan kesucian, pengorbanan, bahkan kepatuhan moral sering kali hanya bentuk lain dari kegagalan berpikir. Dengan nada getir, menurut Lu Xun, kita sering memuja prinsip hanya takut kehilangan arah. Maka moral pun hanya ritual untuk jalan tanpa berpikir, diwariskan tanpa ditanyakan. Di tangan Lu Xun, kisah-kisah moral klasik Tiongkok menjadi satire terhadap manusia modern yang sibuk mencari kebajikan di buku-buku, tapi hilang empati di jalanan.


Salah satu kekuatan Kisah Lama Tutur Baru adalah kemampuan memparodikan tradisi filsafat Timur dengan cara elegan. Lu Xun seolah mengundang para bijak masa lalu, Zhuangzi, Mozi, para pertapa, dan dewa-dewa, lalu membuat mereka tersandung kebijaksanaannya sendiri. Dalam satu cerita, seorang filsuf besar membangkitkan orang mati hanya untuk membuktikan ia mampu melampaui batas kehidupan dan kematian. Tapi yang bangkit malah menegurnya, untuk apa kau repot-repot? Kau pikir aku ingin hidup kembali di dunia yang tak banyak berubah? Humor ini bukan sekadar jenaka. Ia mengandung getir tajam.


Lu Xun sedang mengingatkan bahwa kebijaksanaan yang terlampau percaya diri sering kali berujung pada kekonyolan. Dunia Lu Xun bukan dunia penuh keajaiban, melainkan dunia yang terlalu yakin pada keajaiban. Ia menyindir para cendekia dan penguasa yang merasa bisa mengatur nasib rakyat seperti dewa mengatur semesta. Dalam setiap tawa kecil yang ia tulis, ada rasa pahit ketika menyingkap kenyataan. Semakin tinggi manusia menggapai langit, semakin ia tampak kecil di hadapan kebenaran yang ia ciptakan sendiri.


Gaya penceritaan Lu Xun nyaris bersifat paradoks: ringan tapi menggigit, jenaka tapi mematikan. Ia menulis dengan nada lembut, seolah sedang mengajak pembaca minum teh sore hari, lalu tanpa disadari kita sudah disuguhi racun dalam cangkir. Bahasanya penuh metafora, tapi bukan berusaha untuk indah. Ia memakai simbol bukan untuk mempercantik, melainkan untuk membocorkan kepalsuan. Dalam setiap dongengnya, ada kebetulan yang sempurna, ada kebajikan yang terasa seperti topeng, dan ada kebijaksanaan yang terdengar seperti kedunguan yang bersolek.


Karya ini tetap relevan hingga kini. Ironinya terasa seperti sedang bicara kepada zaman kita, zaman yang gemar menambal reputasi dengan citra, mengganti luka dengan slogan, dan menyebut kepura-puraan sebagai strategi. Membaca Lu Xun hari ini seperti menatap cermin retak, wajah kita terpantul dalam pecahannya, dan setiap serpihan memperlihatkan bagian diri yang tak ingin kita lihat.


Meski sarat sindiran, Kisah Lama Tutur Baru bukan sinis terhadap manusia. Sebaliknya, di balik tawa getir ada kasih. Lu Xun menertawakan bukan karena benci, tapi karena masih berharap. Ia menulis dengan semangat seorang tabib yang tahu betapa parah penyakit yang diderita bangsanya, tapi masih percaya bahwa humor bisa jadi obat paling manjur.


Buku ini lahir di masa Tiongkok sedang bergulat dengan krisis identitas, antara warisan feodal yang membusuk dan modernitas yang belum matang. Maka Lu Xun mengambil jalan tengah yang radikal, menghidupkan kembali kisah lama, tapi dengan cara baru, membongkar, membolak-balik, dan menguliti. Ia memperlihatkan masa lalu bukan monumen untuk disembah, melainkan laboratorium untuk belajar.


Dalam konteks ini, setiap kisahnya terasa seperti sindiran kepada kita, yang sering bersembunyi di balik sejarah dan budaya, tapi enggan mengakui kebodohan yang diwariskan turun-temurun. Lu Xun, dengan segala keusilannya, seolah berbisik: jangan terlalu serius jadi manusia bijak. Kadang, yang menyelamatkan kita bukan kesempurnaan, tapi kesadaran akan kebodohan kita.


Terjemahan Tonny Mustika menghadirkan roh Lu Xun dalam bahasa Indonesia yang jernih tanpa kehilangan ironi khasnya. Membaca terjemahan ini terasa seperti mendengarkan seorang pendongeng tua di pasar malam, bahasanya sederhana, tapi setiap kalimat mengandung lapisan makna. Ada kalimat-kalimat yang sekilas terdengar seperti humor, tetapi jika direnungi, kita seperti ditampar kenyataan sosial: tentang penguasa korup, kebajikan dijadikan komoditas, dan manusia-manusia kecil yang dipaksa menanggung beban langit.


Kekuatan buku ini bukan pada komplek bahasanya, melainkan pada keberanian mempermainkan sejarah dan moralitas tanpa kehilangan empati. Mengajarkan cara baru membaca masa lalu, bukan untuk memuja, tapi untuk tertawa pahit dan melanjutkan hidup dengan sedikit lebih sadar.


Kisah Lama Tutur Baru bukan sekadar kumpulan cerita, tapi ajakan reflektif yang dibungkus jenaka: bagaimana jika kita berhenti sejenak menatap langit, dan mulai menambal kebocoran diri? Lu Xun memperlihatkan bahwa sejarah selalu berulang, hanya aktornya yang ganti. Dulu dewi menambal langit, kini manusia menambal citra. Dulu filsuf membangkitkan orang mati, kini orang-orang membangkitkan kenangan untuk validasi. Dulu pangeran mengasingkan diri karena malu, kini rakyat mengasingkan akal sehat karena takut dikucilkan.


Ironinya, segala yang tampak kuno justru terasa akrab bagi pembaca modern. Lu Xun menulis seolah sedang menatap masa depan yang belum dilihat, di mana keangkuhan manusia tetap sama, hanya topengnya yang berubah. Buku ini memberi jawaban, tapi juga menyalakan gelisah, tidak menggurui, tapi menuntun untuk menertawakan dirinya sendiri. Tawa yang tidak ringan, tetapi membawa getir yang jujur.


Kisah Lama Tutur Baru adalah potret bagaimana satire bisa menjadi bentuk tertinggi dari cinta. Mitos bukan lagi dongeng pengantar tidur, tapi cermin yang menelanjangi. Menunjukkan kesedihan dunia dengan menertawakannya, bukan untuk melupakan.***


Penulis 

Yuditeha, Menjadi lebih mudah membaca ketika hati sedang berantakan.