Resensi Budi Wahyono
Judul : Permainan Metafora dalam Karya Sastra
Penulis : Akhmad Idris
Penerbit : LovRinz Publishing
Cetakan I : Juni 2022
Tebal : x + 68 halaman
ISBN : 978-623-446-341-5
Ada nasihat bijak menyebut, kalau ingin menulis puisi tentang sesuatu, janganlah sesuatu tersebut dimunculkan dalam larik puisi. Taburkan kata-kata lain dan silakan pembaca untuk menginterpretasikan sendiri. Menjadi terasa kontekstual kalau kemudian Akhmad Idris meruncingkan salah satu subjudulnya dengan titel: Ketika Knut Hamsun Menghadirkan Kata Lapar Tanpa Kata “Lapar”. Idris memberi kesaksian dengan tegas bahwa Knut mampu memberdayakan bahasa figuratif dengan cukup baik adalah seorang novelis dari Norwegia yang berhasil mendapat anugerah Nobel Sastra pada tahun 1920 dalam novelnya berjudul Sult (Lapar).
Akhmad membidik bagaimana Knut menggambarkan hakikat kebahagiaan. Matra kebahagiaan digambarkan dengan: Betapa bahagianya insan yang memiliki sekeping roti pada waktu itu! Roti rug yang begitu lezat, yang dapat digigit-gigit sambil menyeberang jalan (hlm. 85).
Isi dalam buku ini sengaja tidak menyentuh nama-nama penyair garda depan semacam Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Muhamad, Taufiq Ismail hingga Sapardi Djoko Damono. Meskipun nama penyair yang dikupas, D Zawawi Imron juga bukan nama asing lagi. Nama lain yang bagian puisinya masuk kajian yaitu Hidar Amaruddin dan Dian Ardianto. Itu pun tidak Akhmad Idris sepenuhnya asyik menggumuli persoalan metafora, tetapi justru merembet pada pembicaraan yang lebih detail.
Tema yang dipilih dalam buku ini saya pikir bukan hal yang baru. Beberapa tahun sudah para mahasiswa disibukkan dengan keberadaan majas dalam karya sastra. Penelitian itu diwujudkan dalam bentuk kertas kerja makalah hingga skripsi. Namun, karya sastra yang dibahas masih sebatas karya pengarang Indonesia. Akhmad Idris, sesuai kapasitasnya sebagai dosen sudah menyeberang jauh dengan menyelam dalam karya para peraih nobel. Dalam konteks ini, beberapa esai dalam buku Permainan Metafora dalam Karya Sastra berikut terasa penting.
Media dalam karya sastra tidak sebatas menggunakan kata-kata lugas. Ia akan memiliki keterbatasan dan semerbak keindahan manakala tidak memanfaatkan beragam majas di dalamnya. Sebaliknya kalau takaran majas berlebihan, bukan tidak mungkin akan terjatuh pada kesan ketidakmenarikan. Tidak terkecuali karya sastra itu karya pengarang wanita atau pria. Penggunaan bahasa-bahasa simbolis ini pula yang mampu memicu greget intelektual penikmat sastra. Dan bukan tidak mungkin – dalam persepsi seseorang – karya sastra juga dapat menggodakan tafsir ulang gegara berkerumunnya majas di dalamnya.
Dari sepuluh judul yang diusung lewat naskah yang pernah dimuat beragam media ini, terasa sekali kalau penulisnya memberi porsi lebih pada Gabriel Garcia Marquez. Dipungutnya tiga judul terkait sosok Gabriel, yakni; “Gabriel Garcia Marquez Kerumitan”, “Cara Gabriel Garcia Mengungkapkan Urusan Seks dengan Sopan” dan “Seks, Cinta dan Metafora dalam Karya Sastra”.
Tulisan-tulisan dalam buku ini menjadi menguat manakala penulisnya mengingatkan bahwa metafora mengimplikasikan hal-hal yang dianggap tidak layak diungkapkan dengan cara menggantinya dengan bahasa yang lebih sopan. Merujuk pada persoalan ini, Akhmad mengutip George Lakoff & Mark Johnson (1980) dalam karya mereka yang berjudul “Metaphor is like Analogy. Ada tiga jenis metaphor yang diungkap, yakni anthropomorphic metaphor (penggunaan metafora dengan meminjam bagian tubuh manusia). 2) animal metaphor (penggunaan metafora dengan meminjam nama-nama hewan) dan 3) sinectetic metaphor (pembuatan metafora dengan memanfaatkan fungsi indra manusia sebagai pembandingnya) (hlm. 63). Pengertian ini – kalau mau diacu – tentu akan meralat ilmu yang dimiliki sebagian guru. Mereka tidak pernah membedakan perumpamaan yang memihak bagian tubuh dan bagian indra. Semua terasa dicampur aduk.
Kupasan menarik juga terlihat pada pembongkaran puisi Tiarap karya D Zawawi Imron. Dilandasi pemahaman bahwa dalam buku Seimoties of Poetry karya Michael Riffaterre yang menyebutkan istilah poetry adalah memiliki ekspresi yang tidak langsung, yakni mengungkapkan suatu hal dengan arti yang lain. Bahasa sederhanya tersembunyi. Ketersembunyian dapat dilakukan dengan tiga cara, yakni 1) displacing of meaning (penggantian makna), 2) distorting of meaning (pembelokan makna) dan 3) creating of meaning (penciptaan makna) (hlm. 51).
Di mata Akhmad Idris, D Zawawi Imron membuat analogi unik pada salah satu puisinya. Kehadiran Corona mampu menyadarkan siapa pun yang mengaku pahlawan bahwa mereka hanyalah seorang petualang. Kutipan puisinya: Sesudah ini semoga tak ada lagi/Belalang yang mengaku elang/ Dengan beriman kepada Allah/Takkan muncul petualang yang mengaku pahlawan (hlm. 53).
Diferensiasi "petualang" dan "pahlawan" dapat dilihat dari fungsi dan kemampuannya masing-masing. Tercatat benar di sini bahwa metafora bisa menjadi jembatan semangat dalam menembus kebutuhan estetika.
Sengatan-sengatan penafsiran dalam puisi memang tidak seganas manakala kita membaca penggalan kutipan cerpen, novela, maupun novel. Disparatas pemahaman bisa diciutkan. Buku ini juga menyentuh fiksi tulisan Seno Gumira Ajidarma hingga kumpulan cerpen Saroni Asikin. Tentu tidak hanya asyik berputar pada majas metafora tetapi juga pembicaraan yang bergerak pada alur.
Siapa tahu dalam kesempatan lain ada yang berminat mendedah majas ironi yang bertebaran seperti karya Ahmad Tohari, Hamsad Rangkuti, Bakdi Soemanto dll.? Tentu akan menambah sibakan kritis terhadap karya sastra kita yang mampu meluaskan pandangan secara mengasyikkan. Buku ini akan terasa memberi semangat ilmiah manakala penulisnya berkenan menyisihkan satu kapling halaman untuk menunjukkan daftar pustaka yang digunakan. Siapa tahu mampu memberi dorongan pembaca untuk bergegas ke toko buku favoritnya.
______
Penulis
Budi Wahyono, penikmat bahasa dan sastra, resensinya pernah termuat di Mingguan Bina, Wawasan, Jateng Pos, Kedaulatan Rakyat, Talenta, Suara Karya, Kompas, Swaratama, dll. Menetap di pinggiran kota Semarang.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com