Friday, July 21, 2023

Cerpen Windy Marthinda | Hujan Merah setelah Amarah

Cerpen Windy Marthinda



"Tin! Titin! Di mana kamu?" teriakan itu lamat-lamat terdengar di sela-sela pepohonan karet. Terbawa angin beraroma tajam getah karet yang belum dipanen.


"Titin!" seruan seorang pemuda terdengar dari jarak yang agak jauh.


"Teh Titin!" jerit yang lain, tak kalah nyaring.


Desau angin membuat seruan-seruan itu bergetar, berpantulan, dan berbaur dengan bebunyian tonggeret yang bersarang di ranting-ranting karet.


Puspa melangkah semakin dalam masuk ke kawasan hutan karet milik pemerintah itu. Kakinya lelah, nyaris kebas. Hatinya masygul, takut jika sesuatu yang buruk menimpa sepupunya. Jika Titin benar-benar hilang, dialah yang bersalah.


Kepalanya mendongak. Dedaunan bergerak cepat karena embusan angin menjadi kencang. Sebentar lagi hujan akan turun dan sore akan berakhir. Matahari telah begitu condong ke barat. Gadis itu berjalan lebih cepat menuju ke atas bukit, tak menghiraukan panggilan Dinar di belakangnya.


"Teh Puspa, ayo kita pulang! Sebentar lagi hujan."


"Kamu duluan saja. Aku akan mencari Titin sebentar lagi. Mungkin dia pergi ke bukit," hanya itu jawaban Puspa sebelum menghilang di antara barisan pohon karet.


Dinar bimbang, tapi akhirnya gadis montok itu berbalik dan meninggalkan hutan. Dia memutuskan untuk mengatakan semuanya kepada Abah. Semoga saja kakeknya punya solusi nanti.


***


"Hidupku benar-benar sial!" gerutu Titin. Dengan muka masam, gadis berambut ikal itu berjalan mondar-mandir di ruang tengah.


Puspa melirik sebentar, lalu kembali menyantap nasi di piring. Dia jemu mendengar semua keluh kesah Titin setiap hari. Mengeluh tentang cuaca, makanan, sampai mengapa Abah mengurangi uang jajannya.


Dinar menghela napas. Dia menyikut pinggang Puspa lembut. Ingin kakaknya itu menanggapi keluhan Titin. Puspa hanya mengangkat bahu sambil masih menguyah.


"Duduk dulu, Teh," ujar Dinar akhirnya bicara, "Ada apa?"


Tintin mendengkus, tapi akhirnya duduk di bangku kayu. Dia kesal karena sikap Puspa yang acuh tak acuh. 


"Aku kesal. Kesal pada nasibku yang selalu sial! Kemarin Abah mengurangi uang jajanku. Hari ini aku memergoki Edi membonceng Lisna," suaranya bergetar marah.


Gerakan mengunyah Puspa terhenti. Dia menatap Titin dingin. 


"Kenapa harus kesal? Edi berhak membonceng siapa pun. Dia itu tukang ojek, Tin!" ujar Puspa.


Dinar menunduk, berusaha menyembunyikan senyuman. Mengetahui kebenaran ucapan sepupunya, Titin mendelik sebal.


"Soal uang jajan, itu salahmu sendiri. Kamu merusak bibit-bibit karet yang akan ditanam. Itu karena kamu ceroboh!" ucap Puspa dengan nada suara yang agak tinggi.


"Heh! Jaga bicaramu!" Titin berdiri dan menuding Puspa marah.


"Aku mengatakan kebenaran. Abah sampai kena tegur Kepala Bagian dan harus mengganti rugi," Puspa tidak menyerah.


"Sudah! Sudah! Jangan bertengkar!" Dinar melerai.


"Dia yang mulai duluan!" Titin bersungut-sungut.


"Cih! Dasar tak tahu malu! Seharusnya kamu bersyukur Abah mau menampungmu di sini. Kalau tak ada Abah, kamu sudah mati! Bapakmu kabur habis bunuh orang, ibumu gila dan entah ke mana," Puspa berdiri seraya menggebrak meja.


Mereka bersitegang cukup sengit. Sejak Titin datang, Puspa memang sudah merasa tak nyaman. Sepupunya itu sering bertindak sesuka hati, meremehkan makanan, dan yang paling parah, bersikap tidak sopan pada Abah.


Puspa tidak terima perlakuan Titin kepada kakeknya. Puspa sangat menyayangi Abah. Abah yang merawatnya setelah Emak--neneknya-- meninggal dunia. Puspa dan Dinar yatim piatu sejak kecil. 


"Dasar anak kampung, bicaramu itu harus dijaga!" seru Titin.


Dinar bergerak, mencoba menghalangi Titin yang akan menyerang Puspa.


"Teh, istigfar!" kata Dinar.


"Kamu anak kota yang tidak tahu malu! Bisanya mengeluh, tidak pernah bersyukur!" Puspa berkata seraya berlalu masuk ke kamarnya.


"Awas kau, ya! Kusumpahi kau jadi perawan tua! Dasar pesek!" teriak Titin.


Puspa membanting pintu kamarnya dengan penuh amarah. Titin benar-benar kelewatan, perangainya menyebalkan. Sejak Titin datang, hidup Puspa jadi begitu menyesakkan. 


Rasa benci di hati Puspa kepada Titin semakin tumbuh. Sepupunya itu dengan mudah disukai para pemuda kampung karena parasnya yang cantik. Kulit Titin kuning langsat, hidungnya bangir, matanya besar berbingkai bulu mata lentik dan tebal. Sedangkan dirinya hanya gadis berkulit sawo matang dan berhidung pesek. Tidak ada yang spesial, kecuali suaranya yang merdu saat bernyanyi dan mengaji. Meskipun Abah selalu memuji suara Puspa, tetapi sampai saat ini belum ada satu pun pemuda yang datang pada Abah untuk melamarnya.


Diam-diam dalam hati, Puspa berharap Titin menghilang dari kehidupan mereka. Puspa ingin ketenangan seperti sebelum sepupunya itu datang. Titin terlalu ribut, selalu tidak puas dengan apa yang didapat.


Dari kejauhan azan berkumandang. Meski masih dongkol karena pertengkarannya dengan Titin, Puspa keluar dari kamar, menyaksikan Dinar sedang menganyam kain perca untuk dijadikan keset. Mereka memang biasa mengerjakan kerajinan kain perca yang dibuat menjadi keset. Selanjutnya keset-keset itu akan diambil oleh pengepul dan dijual ke kota. Mereka mendapatkan upah seribu rupiah tiap mengerjakan satu keset. 


Ya, mereka. Hanya Puspa dan Dinar. Titin tidak pernah mau membantu. Gadis itu lebih suka keluar rumah dengan alasan membantu Abah di gudang getah karet. Padahal itu hanya alasan Titin untuk sering bertemu dengan pemuda-pemuda buruh perkebunan. Puspa sangat yakin.


"Teteh mau salat?" tanya Dinar.


"Iya. Mana Titin?" 


Dinar mengangkat bahunya. "Tadi habis nangis-nangis pergi keluar sambil bawa kunci motor Abah."


"Dia bawa motor Abah?" Mata Puspa terbelalak, amarahnya datang lagi.


Titin tidak pernah belajar dari kesalahan. Minggu kemarin dia merusak benih-benih pohon karet dalam kotak yang diangkutnya di belakang motor. Titin mengendarai motor serampangan dan oleng ketika melindas jalanan berlubang. Motor tergelincir, benih-benih karet berhamburan sehingga banyak yang jatuh ke aliran sungai.


"Ini tidak bisa dibiarkan. Dia pasti ke pangkalan ketemu Edi!" Puspa pergi ke luar.


"Teh, bukannya mau salat?" ujar Dinar.


Puspa tak menjawab. Amarah menguasainya. Dia ingin segera pergi menemui Abah di gudang getah karet untuk mengadukan ulah Titin.


Kakinya melangkah cepat menyusuri jalanan tanah yang berbatu. Napasnya terengah-engah, akibat lelah dan marah. Dari kejauhan dia melihat Titin duduk di atas motor Abah sedang bersenda gurau dengan seseorang. Puspa berbelok, berubah pikiran. Ketimbang buang waktu menemui Abah, dia akan menegur Titin langsung.


Akan tetapi, kemudian langkahnya terhenti. Puspa mematung, menyadari siapa yang sedang mengobrol dengan Titin. Gadis itu merasakan darahnya mendidih, telinganya mendidih. Titin sedang mengobrol dengan Hidayat. Subara Titin melengking dan terdengar genit, membuat Puspa jijik.


Sudah lama Puspa menyukai Hidayat. Pemuda itu pernah satu kelas dengannya di SMP. Hidayat pemuda yang ramah dan cerdas. Parasnya tampan dengan penampilan sederhana. Namun, kemudian Hidayat meneruskan SMK di kota. Setelah lulus SMK Hidayat berkuliah di jurusan pertanian. Sekarang Hidayat kembali ke desa sebagai tenaga ahli di perkebunan karet.


Puspa merasakan dadanya sesak ketika Titin menoleh dan melemparkan tatapan meremehkan. Semula Puspa ingin menghampiri mereka, tapi akhirnya berbalik pergi dengan tatapan kabur karena air mata. Dia tidak peduli ketika Hidayat memanggilnya.


Kebencian Puspa sudah tidak bisa dibendung. Dia benar-benar ingin Titin pergi dari kampung ini selamanya. Selamanya. Dan tidak pernah kembali.


Tak jauh dari sana sepasang mata menyaksikan kejadian dengan tatapan sedih. Iris yang berwarna kelabu karena usia berkaca-kaca melepas kepergian Puspa yang berlari sambil menahan tangisnya.


***


"Assalamualaikum. Puspa! Dinar!"


Terdengar suara seorang pria dari luar, disusul ketukan pintu yang terburu-buru. Puspa yang sedang di dapur segera menjawab.


"Waalaikumsalam!" serunya seraya berjalan tergopoh-gopoh.


Dinar mengikuti Puspa menuju ruang depan. Mereka berdua terkejut melihat orang yang berdiri di depan pintu.


"Dayat? Ada apa?" tanya Puspa.


Hidayat berdiri dengan wajah cemas. "Abah sudah pulang?"


Puspa menggeleng. "Abah bilang akan lembur."


Hidayat menyeka peluhnya. "Tapi … Abah tidak ada di gudang.”


Alis Puspa bertaut. "Memangnya ada apa?"


"Anu ... itu. Barusan aku menemukan motor Abah yang tadi dibawa Titin di pos penjagaan hutan karet," Hidayat menjawab. 


Perasaan Puspa seketika jadi tak enak. Dia membayangkan Titin melakukan kesalahan lagi yang akan merugikan Abah.


"Tadi setelah mengobrol dengan saya, Titin pamit mau beli bakso ke depan kantor desa. Tapi, barusan ketika saya mau pulang dan lewat pos, saya lihat motornya. Penjaga pos juga tidak ada."


"Maksudnya Mang Bahri?" tanya Dinar.


Hidayat mengangguk. Puspa dan Dinar bersitatap. Ada firasat buruk melintas di benak mereka. 


Mang Bahri, mantan preman kampung itu pernah mengaku naksir Titin. Dia bahkan ingin melamar Titin menjadi istri keduanya, karena Bi Omi, istrinya, sudah beberapa tahun sakit keras dan lumpuh.


"Teh, kita cari Teh Titin. Dinar khawatir terjadi sesuatu," ujar Dinar.


Puspa mengangguk lalu pergi ke dapur untuk mematikan kompor. Lantas, mereka bertiga meninggalkan rumah dan pergi menuju hutan karet.


***


"Puspa, tunggu!" seru Hidayat. "Bahaya kalau pergi sendirian. Ini sudah sangat sore. Sebentar lagi hujan."


"Aku harus mencari Titin. Aku takut dia jatuh ke jurang, atau dilukai oleh ...."


Di dalam kepala Puspa banyak kemungkinan berputar-putar.


"Kita pulang saja menyusul Dinar. Kita harus bilang kepada Abah. Biar nanti bisa minta bantuan warga lain untuk mencari Titin," ujar Hidayat sambil berjalan menyamai langkah Puspa.


Bunyi halilintar terdengar dari kejauhan. Angin bertiup lebih kencang dan menyebarkan aroma petrikor. Tempias gerimis mulai turun satu persatu dari langit, menciptakan bunyi gemerisik di sekitar mereka. Puspa menghentikan langkahnya ketika melihat sesuatu di dekat akar salah satu pohon karet yang menyembul.


"Dayat, itu …," desisnya.


Hidayat melihat sandal berwarna kuning. Hanya sebelah, tergeletak begitu saja.


"Itu san ... dal Titin," suara Puspa bergetar. "Ti ... tin memang le ... wat ke sini."


Hidayat berjongkok memungut sandal itu, lalu mencari-cari lebih jauh untuk menemukan pasangannya. Tiba-tiba Hidayat merasakan sesuatu menetes di tengkuknya. Bukan air hujan, karena rasanya hangat. Pemuda itu mengusap tengkuknya dan melihat cairan yang menempel di jemarinya.


Matanya melebar ketika menyadari cairan itu berwarna merah dan berbau amis. Perlahan dia mendongak, kemudian terperenyak. Puspa yang berdiri di sampingnya ikut menatap ngeri dahan pohon karet di atasnya.


Di sana ada sesosok tubuh melayang antara pepohonan karet, dengan dua kaki dan tangan terentang diikat ke empat batang pohon karet berukuran besar. Dengan mata membeliak, wajah itu seperti terkejut dan kesakitan. Tetesan darah keluar dari hidung, mulut, dan luka menganga di sekitar lehernya.


Puspa gemetaran. Kakinya lunglai dan dia jatuh terduduk di atas tanah. Dia kehilangan kata-kata karena tatapan Titin dari atas sana. Hidayat membeku, tidak memiliki kekuatan bahkan untuk sekadar berteriak.


Gerimis turun semakin rapat. Angin berputar-putar di sekitar mereka. Hujan yang menimpa wajah Puspa dan Hidayat berwarna merah dan berbau amis.


________


Penulis


Windy Marthinda adalah ibu tiga anak yang hobi menulis. Windy telah melahirkan beberapa novel dan antologi cerpen. Salah satu karya Windy didaulat sebagai Karya Pilihan NGEWIYAK Volume II. Sebuah novel Windy diterbitkan di penerbit mayor dan mendapat ulasan dari beberapa sastrawan nasional. Windy dapat ditemui di akun Facebook Windy Marthinda, Instagram @lubnagrande.


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com