Sunday, July 9, 2023

Esai Sul Ikhsan | Bagaimana Nasib Anak Saya pada Tahun 2050, Pak Nadiem?

Esai Sul Ikhsan



Sudah setahun lebih pandemi virus Corona berakhir di negara kita dan dunia. Jika kita mengingat kembali ke belakang, salah satu yang paling terdampak dari pandemi sialan itu adalah dunia pendidikan. Mulai dari pendidikan dasar hingga mereka yang berada di perguruan tinggi. Dunia pendidikan saat itu mengharuskan kita membiasakan diri dengan gadget, beraktivitas daring, jaringan internet yang lemot, dan menghadap aplikasi tatap muka yang membosankan. Bukan saja membosankan dari segi proses pembelajaran, melainkan juga terletak pada proses pengembangan sisi sosial-emosional peserta didik. Setidaknya sementara ini, kita masih meyakini bahwa aktivitas sosial secara dekat dan erat lebih meninggalkan banyak kesan dibanding dengan menghadap kotak bercahaya dengan tubuh yang saling berjauhan.

Sekilas, memindahkan papan tulis dari ruang kelas ke ruang aplikasi tatap muka cukup menyeramkan. Namun, jika kita melihat dari sisi lain, sisi masa depan nun jauh di sana yang sedang melambai ke arah generasi kita, kita sedang disambut untuk masuk ke dalam, meminjam istilah Yuvual Noah Hararri, dunia dengan transformasi dan ketidakpastian radikal yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Menganggap bahwa kondisi demikian hanya bersifat sementara dan kini semua kembali seperti semula adalah sebuah jenis keluguan. Dunia kita, wabil khusus dunia pendidikan kita pasca-Corona ini bakal dipaksa, atau jika tak berlebihan, dituntut untuk berubah total atau tetap mempertahankan model lama sebelum Corona dengan konsekuensi tertinggal jauh dari banyak hal.

Bagi saya, pemindahan medium ruang kelas ke ruang maya saat itu bukan saja lantaran alasan satu-satunya adalah mencegah penyebaran virus pada siswa, guru, tukang sapu, atau penjaga kantin. Tetapi, alasan lain yang cukup masuk akal, setidaknya menurut saya, adalah dunia kita yang sedang merangkak maju ke depan yang mengharuskan dunia pendidikan kita segera berbenah secepatnya. Sebab, melihat dunia era abad ke-21 ini, kita sedang berpamitan pada era mesin dan akan memasuki zona anyar—yang sebenarnya sudah lama terjadi—seperti di film-film fiksi ilmiah yaitu era cybrog, Artifisial Intelegensia (AI), in-virtual yang merupakan anak kandung dari perkawinan bioteknologi dan informatika.

Kondisi demikian sangat memungkinkan adanya loncatan besar dan radikal dari sistem pendidikan kita. Tantangan teknologi ke depan diprediksi akan jauh lebih pesat dari yang kita rasakan hari ini. Tetapi tentu saja, kita belum mengetahui banyak hal tentang apa yang terjadi pada sistem politik kita, pasar kerja kita, sistem ekonomi kita, sistem sosial-budaya kita, satu dekade ke depan, dua dekade ke depan, tiga dekade ke depan. Namun yang pasti, hari ini, kita telah mampu berkomunikasi jarak jauh, memindahkan uang dengan waktu kurang dari satu menit, memesan makanan lebih cepat, terbang dengan kecepatan kilat, memantau kehidupan idola kita di seberang nun jauh di sana hanya dengan duduk manis, dan menemukan obat-obatan bagi berbagai macam penyakit. Maka, tidak ada alasan pada satu, dua, tiga dekade ke depan kita akan kembali berburu mamut dan menyalakan api dengan menggosok batu, bukan? Atau kita agaknya tidak mungkin lagi mengucapkan selamat pagi kepada seseorang yang kita cintai melalui perantara merpati.

Dan, pertanyaan paling fundamental yang patut kita renungkan adalah apa yang mesti kita ajarkan kepada bayi kita yang baru lahir tahun ini pada tahun 2050 kelak berusia 27 tahun? Bagaimana kita sebagai orang tua membantu mereka bertahan hidup dan berkembang, sedangkan kita tak lebih banyak tahu daripada mereka? Keterampilan apa yang akan dibutuhkan di dunia pada tahun 2050 untuk memahami apa yang terjadi di sekitar, mencari pekerjaan untuk makan, dan menavigasi labirin kehidupan? Apakah itu kemampuan mencangkul? Membajak sawah? Berburu ubur-ubur? Membuat kaligrafi?

Tentu saja, orang tua yang bijaksana di mana smartphone canggih dalam genggaman tangannya dipenuhi banyak aplikasi cerdas akan berjuang sekuat tenaga untuk tidak membiarkan anak kesayangannya bermain lumpur, kepanasan, menganggur, dan tidak mengerti bahwa di ruang semesta yang luas ini kita dapat memesan makanan lebih cepat tanpa berpanas-panasan, menaiki mobil tanpa sopir (swakemudi), menghitung berat badan dan kalori yang dikeluarkan saat berolahraga, menganalisis selera kita dalam berpakaian, menunjukan jalan, dan yang paling mengerikan, mengambil alih pekerjaan kita.

Untuk tidak berandai-andai ke depan, mari kita lihat hasil pendidikan kita hari ini. Di tengah semakin canggih dan mahalnya smartphone kita, seberapa jauh kemampuan kita dalam memahaminya selain mengirim pesan, memesan baju, dan bermain game? Seberapa banyak keputusan hidup kita, dari hal yang paling terkecil seperti mencari nama-nama hewan berawalan huruf "Y" hingga hal yang paling penting seperti belajar agama, bersandar pada makhluk tak berdaging-berdarah seperti Google dan YouTube—yang dikemudian disebar ulang seolah-olah kita telah benar-benar mengerti.

Apakah saya kurang ajar jika mengatakan bahwa kemampuan kita jauh diungguli oleh Artifisial Intelegensia (AI) yang masih berupa YouTube dan Google? Bukan tidak mungkin, satu- dua-tiga dekade ke depan, ada "makhluk lain" yang tidak hanya dapat menjawab pertanyaan remeh-temeh kita, tetapi bisa jadi, menggantikan pekerjaan kita—atau menjadi Tuhan kita. Jika saya adalah Elon Musk atau Bill Gates, lebih baik saya menggantikan pekerja manusia yang malas, suka mengantuk, doyan mengeluh, banyak menuntut, dan pemarah dengan robot yang teliti, patuh, giat, dan rajin tersenyum. Cukup mengatur algoritmanya, mengurangi risiko kesalahan, tidur nyenyak, dan untung besar menanti kita setiap detik tanpa ada yang meminta kenaikan upah dan berdemonstrasi meminta kesejahteraan. Robot barangkali tak butuh banyak uang.

Mari buka ponsel kita, carilah di search engine google Anda artikel yang membahas mengenai Artifisial Intelegensia (AI). Lihat misalnya penelitan dari Nicholas Ernest, dkk., yang berjudul "Genetic Fuzzy Based Artificial Intelliegence for Unmanned Combat Serial Vehicle Control in Simulated Air Combat Missions" yang membahas mengenai bagaimana AI mengungguli manusia dalam penerbangan dan khususnya pada simulasi penerbangan tempur atau lihat penelitian Wu Youyou, Michal Kosinski, dan David Stillwell yang berjudul "Computers-Based Personality Judgments are More Accurate than Those Made by Humans", AI dapat menyajikan musik selera kita dengan menganalisis data biometrik yang mengalir dari sensor pada dan dalam tubuh kita, menentukan tipe kepribadian kita, mengenali suasana hati kita, dan menghitung dampak emosional yang mungkin dimiliki lagu tertentu, bahkan nada tertentu, kepada kita.

Jika misalnya bosan membaca teks, mari kita berselancar ke dunia visual. Lihatlah film Interstellar, Her, Gravity, Lucy, A.I, The Matrix dan sejumlah film lain bergenre serupa yang secara umum menyuguhkan gambaran masa depan dan kecerdasan buatan. Meski sebagian orang menganggap fiksi tidak patut untuk dipercaya dan ditelan mentah-mentah, kadang kala ia identik dengan realitas. Seperti apa kata Umar Ismail, sinema adalah potret peradaban sebuah bangsa, penanda sejarah yang menggambarkan seperti apa bangsa itu di masa tersebut.

Atau jika bosan menonton film lantaran berdurasi panjang, mari kita sama-sama menebak-nebak masa depan di Channel YouTube Vian Flash. Masih kurang juga? Lihat ke sekeliling kita atau teruslah berselancar dengan ponsel kita. Pijat dan gulir terus layar itu! Nikmatilah. Apa yang kita rasakan? Yups! Selamat, algoritma telah mengalir di tubuh kita!

Akhirnya, dalam prediksi tentang masa depan ini, kita tak hanya dibayang-bayangi oleh gelombang manusia yang mubazir secara ekonomi yang kelak bukan lagi akan mengalami eksploitasi ekonomi tetapi, jauh lebih parah daripada itu, irelevansi. Kita tidak relevan. Kita tidak berguna. Lantaran tak hanya pekerjaan-pekerjaan berbasis otot yang akan digantikan oleh robot dengan mudah, pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan kognisi juga akan ikut tergerus. Itu artinya siapalah kita di hadapan mereka? Bagaimana pendidikan kita merespon itu?

Sebelum menuju ke arah sana, ke arah Armageddon sana, pertanyaan mengenai siapa kita, untuk apa kita berada di sini, dan apa yang sedang terjadi barangkali menjadi pertanyaan yang paling penting hari ini. Sebab, apa yang bisa diharapkan dari sistem pendidikan yang bergaya bangunan beton besar di tengah kota, yang di dalamnya dibagi kamar-kamar, masing-masing kamar dilengkapi dengan deretan meja dan kursi. Lalu saat mendengar bel, kita pergi ke salah satu ruangan itu bersama dengan tiga puluh anak lain yang semuanya lahir di tahun yang sama, di mana setiap jam orang dewasa masuk, dan mulai berbicara. Mereka dibayar untuk melakukannya oleh pemerintah dan memberitahu kita bentuk bumi, masa lalu manusia, memberitahu tubuh manusia, sambil memarahi kita yang lancang bertanya tentang: apakah bumi itu benar-benar bulat dan apakah benar PKI itu tidak bertuhan?

______

Penulis

Sul Ikhsan, Pemred NGEWIYAK.