Sunday, September 17, 2023

Esai Encep Abdullah | Tradisi NU Itu Candu

Oleh Encep Abdullah



Ini lucu. Lebih tepatnya menarik. Saya orang Muhammadiyah—dibesarkan di lingkungan dan keluarga Muhammadiyah, apalagi Bapak saya tokoh Muhammadiyah dan mantan Pimpinan Cabang Muhammadiyah—, tapi kebagian jatah membahas tokoh besar NU, guru bangsa, Hadratusyekh K.H. M. Hasyim Asy’ari dalam kajian Mingguan Komunitas Menulis Pontang Tirtayasa (13 Sept 2023). Jujur, sudah lama saya ingin baca biografi beliau. Namun, belum kesampaian. Barangkali Tuhan memberikan jalan lewat kajian ini yang menurut saya waktunya pas dengan kondisi saya saat ini yang juga sedang gandrung ber-NU di kompleks perumahan. Saya tidak tahu banyak tentang sejarah dan asal-usul organisasi besar ini, juga pendirinya. Namun, ritual-ritual gerakan Islam Tradisional sebagiannya sudah sering saya jalankan. Mau tidak mau. Dan, ternyata tradisi Islam konservatif ini bikin candu. Saya harus hati-hati. Nanti ketagihan. 


Membaca buku tipis K.H. Hasyim Asy’ari Biografi Singkat 1871-1947 karya M. Rifai (Garasi, 2009) setebal 148 halaman ini membuka jalan pikiran saya yang ”terbayang-bayang” apa sih sebenarnya yang NU mau. Kenapa sih harus tetap berpegang teguh berpegang prinsip umat Muslim harus tetap berziarah, tahlil, haul, dsb. Selama ini saya hanya mendengar dari para alim ulama saja, kurang begitu tahu secara detail tertulis kenapa Sang Kiai—saya sebut ini saja berikutnya seperti dalam filmnya—bertahan dengan pikirannya.


Muasal dari semua itu sebenarnya adalah keruntuhan Islam di Timur Tengah, tergulingnya Khalifah Utsmaniyah. Lalu, Arab Saudi mencanangkan diadakannya Muktamar Khilafah agar Negara Arab menjadi Khalifah Islamiyah tunggal yang berisi paham gerakan pembaharuan Islam yang dikenal dengan Wahhabi, diambil dari pendirinya, Muhammad ibn Abdul Wahhab. Gerakan antisyirik, anti-khurafat dan anti-bid’ah. Melarang ziarah kubur, baca kitab barzanji, juga meminggirkan mazhab empat, menggusur berbagai petilasan sejarah Islam. Kebanyakan umat Islam, terutama di Indonesia, kebanyakan sedang mengalami “mabuk” dengan apa yang disebut pembaruan Islam tersebut. 


Dalam rapat di Surabaya yang dihadiri para tokoh kaum tradisional, diputuskan untuk mengutus K.H. Wahab Hasbullah dan Syekh Ghonaim (warga negara Mesir sebagai penasihat) ke Arab Saudi. Delegasi itu berangkat ke Hijaz dengan membawa surat keberatan apa yang sudah dilayangkan oleh Raja Arab Saudi kala itu, Abdul Aziz bin Saud. Delegasi ini bernama “Jam’iyah Nahdhatul Ulama” yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926. Pemerintah Arab Saudi membalas surat keberatan “Jam’iyah Nahdhatul Ulama” tentang gerakan Islam Modern tersebut. Berikut balasannya.


...


"Adapun kebebasan seseorang dalam mengikuti mazhabnya, maka bagi Allah segala puji dan anugerahnya, memang umat Islam bebas merdeka dalam segala urusan, kecuali dalam hal-hal yang terang diharamkan oleh Allah dan tidak ditemui pada seseorang satu dalil pun yang menghalalkan amalannya, tidak terdapat dalam Al-Quran, tidak terdapat dalam al-Sunnah, tidak terdapat dalam mazhab orang-orang salaf yang shaleh dan tidak terdapat pula pada fatwa para imam mazhab yang empat. Apa saja yang sesuai dengan semua itu, kami mengamalkannya, melaksanakannya dan membantu pelaksanaannya. Sedang apa saja yang bertentangan dengan hal-hal tersebut, maka tidak wajib taat kepada makhluk yang bermaksiat kepada Allah. 


Dan pada hakikatnya apa yang kami laksanakan hanyalah ajakan untuk kembali kepada Al-Quran, al-Sunnah dan ini pula agama yang diturunkan Allah. Dan kami, berkat kemurahan Allah, tetap berjalan di atas jalan orang kuno yang shaleh, yang permulaan mereka adalah para sahabat Nabi Muhammad Saw. Sedang pada penutupnya adalah para imam yang empat."



Dari sinilah organisasi NU bermula meskipun pada awal-awal Sang Kiai tidak langsung memutuskan resmi berdiri karena banyak pertimbangan, salah satunya adalah timbul perpecahan umat. Namun, beliau istikharah dan memohon arahan juga dari Kiai Khalil Bangkalan. Lalu, resmilah NU menjadi organisasi Islam.


Pemahaman kaum modernis yang mengusung kembali (langsung) ke Al-Quran dan As-Sunah sangat bertentangan dengan paham Sang Kiai. Dalam kalangan NU, pintu ijtihad tertutup. Bagi kalangan modernis pintu ijtihad masih terbuka. Tentu perkara urusan ijtihad ini bukan perkara main-main, aturannya sangat ketat. Menurut Rifai, Sang Kiai tegasnya, untuk mempelajari ajaran Islam, tidak langsung mengambil dari sumber aslinya, Al-Quran dan Hadis, melainkan mencari dahulu beberapa pendapat ulama termasyhur dari abad pertengahan yang terkodifikasi dalam kitab kuning. Kemudian dicocokkan dengan sumber aslinya, yaitu Al-Quran dan Hadis. Tujuannya adalah untuk menjaga agar jangan sampai umat Islam salah dalam menafsirkan kedua sumber ajaran Islam itu. Apa yang hendak dipesankan beliau dengan tata cara pemahaman keagamaan demikian tidak lain adalah untuk menjaga sikap kesombongan kita dengan menganggap gampang dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran dan Hadis. Sang Kiai dan Muslim tradisionalis yang lain mengakui taklid sebagai salah satu metode untuk mencari jawaban permasalahan hukum. Hal ini karena ijtihad tidak dapat diterima jika hanya berdasarkan pertimbangan pikiran.


Rifai juga menambahkan bahwa Sang Kiai juga dalam hal ini lebih memilih model dakwah yang dicontohkan oleh Wali Songo. Toleransi religius, misalnya, telah mengakomodasi proses pertukaran dan pembaruan yang menciptakan keunikan warna Islam dalam kehidupan masyarakat Jawa. Saling pengertian dalam beragama ini telah membawa suatu harmoni sebagai elemen penting dalam kehidupan religius santri, yakni ajaran Sunni yang telah dimodifikasi, yang tidak menghambat adat setempat. Oleh, sebab itu biar bagaimana pun memang tidak akan pernah bisa menyatu dari segi ideologi yang diusung modernis dan tradisionalis karena beda pandangan. Namun Sang Kiai, menyadari itu, perbedaan adalah rahmat. Sikap toleransi harus dijaga. Beliau akan marah bila paham tradisionalis ini dihalangi. Namun, beliau punya sikap toleransi yang tinggi. Intinya, selagi tidak mengganggu, jalan masing-masing, maka kaum tradisonal tidak akan menyingsingkan baju. Pesan Sang Kiai: ”Berjuanglah demi Islam dan lawanlah mereka yang mengotori ajaran-ajaran Al-Qur‘an dan sifat-sifat Tuhan, lawanlah mereka yang mencari ilmu pengetahuan yang tidak memiliki landasan serta merusak iman. Jihad untuk membawa mereka kembali ke jalan yang benar dalam hal ini merupakan kewajiban. Mengapa kamu sekalian tidak menyibukkan diri untuk mengetahui tugas tersebut? Wahai kamu sekalian! Orang-orang yang tidak beriman tengah merajalela di seluruh negeri ini. Maka siapa di antara kamu yang akan tampil melawan mereka dan membimbing mereka ke jalan yang baik.”


Barangkali persoalan-persoalan itu di zaman sekarang sudah meredam. Untuk apa terus menerus ribut. Dan, orang-orang yang meributkan itu biasanya orang awam atau orang yang baru belajar. Itu pun terjadi pada saya. Saya tidak mempermasalahkan bagaimana praktik ibadah dan tradisi yang berjalan di masyarakat sekitar perumahan saya. Namun, kadang, ada sebagian dari mereka yang tidak memahami latar belakang saya dan psikologis saya. Tapi, saya tidak menganggap mereka memusuhi saya begitu juga sebaliknya. Pelan-pelan saya bilang bahwa saya orang Muhammadiyah agar mereka juga bisa memahami latar belakang saya. Lamat-lamat, sejak hidup di kompleks perumahan, saya juga sambil belajar dan memahami hakikat ber-NU. Bahkan, ada yang sering berbisik mengajak saya ikut Dlailan, Ziarah, Zikir Manakib. Duh, bukannya menolak. Jiwa saya masih bergejolak untuk ikut semua tradisi NU. Saya masih menjaga marwah Muhammadiyah saya. Karena saya tahu, tradisi NU itu bikin candu. Selama saya hidup di perumahan, saya bisa hafal sedikit demi sedikit Surah Yasin, Marhaban(an), dan belajar doa yang agak panjang, tentu saja makanan dan jamuan yang berlimpah. Dan, yang membuat saya berterima kasih adalah, saya jadi lebih dekat dengan nama Syekh Abdul Qadir al-Jaelani, Syekh Nawawi al-Bantani, serta beberapa ulama NU dan ulama sufi lainnya yang pada akhirnya saya ikut berziarah, lebih tepatnya menziarahi pemikiran mereka lewat buku dan kajian diskusi. 


Hal itu juga yang dikritik dalam buku Rifai, jangan sampai warga NU hanya gemar tabur bunga, menziarahi kuburan, melainkan juga menziarahi pemikiran para tokohnya—juga ulama pada umumnya. Dari sini juga, saya terketuk menziarahi pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari. Oleh sebab itu, membaca kembali tentang siapa beliau, bagaimana perjuangan dan pemikirannya, merupakan sesuatu yang sangat perlu kiranya. Dengan itu, yang menurut Rifai, kita bisa menghormati jasa pahlawan bukan sekadar seremoni, upacara, dan tabur bunga, melainkan mendialektikakan pemikirannya dan mengontekstualisasikannya dengan kondisi sekarang, di mana persoalan rasa kebangsaan dan persatuan malah semakin terus diuji dan semakin berat. Di satu sisi, globalisasi membanjiri kita dari luar dan di sisi lain, persoalan keadilan dan kesejahteraan masih menjadi persoalan mendasar bangsa ini. 


Dari segala pemikiran Sang Kiai terkait pendidikan, tasawuf, fikih-hadis, dan jiwa nasionalis, saya kepincut dengan jiwa pendidikan dan nasionalis beliau. Beliau sangat cinta sekali kepada ilmu. Beliau juga menulis banyak kitab, salah satu bukunya yang terkenal Adabul Alim Walmutaalim. Berisi tentang keutamaan ilmu dan ulama dan keutamaan belajar ilmu dan mengajarkan ilmu, akhlak seorang murid, akhlak seorang pelajar terhadap gurunya, akhlak pelajar terhadap pelajarannya, akhlak seorang guru, akhlak guru ketika mengajar, akhlak guru terhadap murid, akhlak pelajar dengan buku-buku sebagai alat ilmu dan yang berhubungan dengan cara memperolehnya. Yang paling menarik adalah pada bab yang terakhir itu, salah satunya saya baca “Jika seorang pelajar tidak berkeberatan, dianjurkan untuk meminjamkan bukunya kepada temannya yang dianggap tidak akan mencederai akad pinjaman.” Pesan ini kadang berkebalikannya di dunia saya saat ini, banyak peminjam buku yang malah tidak mengembalikannya, malah mencederai buku tersebut hingga rusak. Sudah rusak, tidak dikembalikan pula.


Sesuatu yang tak kalah penting dari segala jasa beliau untuk bangsa ini ada maklumat ”Resolusi Jihad” yang dicetuskan pada 22 Oktober 1945—yang kini menjadi Hari Santri. Hal ini juga untuk menjawabi pertanyaan Soekarno saat itu terkait bagaimana ”hukum membela tanah air”. Fatwa beliau yang mengatakan bahwa Indonesia yang diproklamasikan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 berdasarkan Pancasila secara fikih sah hukumnya. Oleh karena itu, beliau memerintahkan umatnya untuk membela Indonesia, karena membela Indonesia berarti membela Islam. Hal itu memiliki momentum ketika Belanda bersama sekutunya datang kembali ke Indonesia hendak menjajah kembali. ”Resolusi Jihad ” menjadi pemantik perjuangan arek-arek Suroboyo dan sekitarnya dengan panglimanya Bung Tomo untuk melakukan perlawanan atas penjajah yang berada di Surabaya. Ketika itu, banyak santri -santri dan umat K.H. Hasyim Asy’ari yang turut serta dan gugur menjadi syuhada. Peristiwa ini ditandai kemudian hari sebagai Hari Pahlawan, yaitu pada 10 November 1945, sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa para pahlawan.


Lalu, apa bentuk jihad kita hari ini? 


Persoalan-persoalan khilafiyah hanya persoalan sepersekian persen dari persoalan besar lainnya yang jauh lebih penting. Persoalan besar itu berupa kesehatan, kemiskinan, pendidikan, generasi umat yang harus cerdas dan melek ilmu pengetahuan. Semua itu jalan jihad. Dalam kitab Adabul Alim Walmutaallim, K.H. Hasyim mengutip riwayat Muadz Bin Jabal yang berkata “Pelajarilah ilmu, karena mempelajarinya adalah suatu kebajikan, mencarinya adalah suatu ibadah, mendiskusikannya adalah tasbih, membahasnya adalah jihad, menyerahkannya adalah upaya pendekatan diri kepada Allah Swt. dan mengajarkannya kepada orang yang tidak berilmu adalah shadaqah.” 


Apa yang sedang saya dan teman-teman komunitas saya lakukan, menulis dan membaca, juga bagian dari jihad: JIHAD LITERASI. Dan ingat, ada yang jauh lebih berat. Dalam hadits dikatakan bahwa jihad paling berat adalah perang melawan hawa nafsu. Inilah jihad yang paling besar dalam pandangan Islam. Pikiran hawa nafsu dan setan itu digambarkan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jaelani seperti kecintaan pada makanan dan minuman, kecintaan pada keluarga dan kerabat, kecintaan pada hewan-hewan seperti kuda dan lain sebagainya. Juga termasuk di dalamnya ialah riya' (pamer), sum'ah (senang pujian) dan syuhrah (popularitas). Juga dikatakan oleh Haedar mengutip penyair besar Jalaluddin Rumi yang mengatakan bahwa “hawa nafsu merupakan induk dari segala berhala.” Mari berjihad! Takbir!


13 September 2023



________


Penulis 

Encep Abdullah, Redaksi NGEWIYAK.


redaksingewiyak@gmail.com