Kau pernah berkata kepadaku, bahwa kekecewaan adalah rasa kehidupan untuk mencapai puncak kebahagiaan. Sebab dari rasa kecewalah kita bisa berkaca lalu mencari cara untuk memperbaiki segala kerusakan dalam jiwa. Tetapi, mengapa keputusanmu sangat berseberangan dengan apa yang pernah kau katakan kepadaku dulu. Kau mengusir anak semata wayangmu lantaran telah menjatuhkan martabatmu di muka umum. Aku pikir itu sungguh keputusan yang keliru, jika merujuk kata-katamu yang menyesaki kepalaku. Apalagi anakmu itu masih duduk di bangku AMS (Algemeene Middlebare School).
Barangkali rasa kecewa telah mengundang setan untuk bersarang di ruang jiwamu, dan mengendalikan tubuhmu hingga kau sangat yakin dengan keputusanmu itu. Tetapi, apakah kau selemah itu? Apakah seluruh jiwamu memang telah menyatu dengan setan hanya gara-gara kekecewaan? Jika benar begitu, aku menjadi yakin bahwa apa yang pernah kau katakan kepadaku hanyalah kebohongan semata. Kau mengatakan sesuatu yang belum pernah kau rasakan. Kau hanya berkata-kata kosong—tak lebih untuk menjaga kedudukanmu.
Melihat gerak-gerikmu yang senang berdiam diri dalam sunyi, sepertinya kau sedang asyik menggerogoti, merutuki, kata-kata bijakmu dulu. Kau terlempar dari keyakinanmu dan mulai menolak keyakinanmu tentang kekecewaan adalah jembatan kebahagiaan. Dan bila kukupas isi kepalamu, aku yakin kau baru menyadari bila kekecewaan bisa menjadi jalan setan bersemayam di jiwa manusia.
***
Seminggu lalu kau menyerukan kepada seluruh orang kampung untuk mengumpulkan buah asam yang mulai lebat dan berjatuhan. Kau dan semua orang kampung berduyun-duyun memunguti buah asam yang berserakan di beranda-beranda rumah. Para pemuda memanjat dan memetik buah-buah asam yang masih muda. Seringai berseri terpancar di wajah orang-orang kampung yang tengah menikmati tradisi ini. Ikatan keluarga semakin erat, ruang keakraban menjadi hangat. Anak-anak bau kencur sampai yang sudah berumur saling melemparkan canda, tawa, yang langka. Kebahagiaan yang melukis keindahan surga di dalam dada.
Tahun ini, tak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kau hanya sibuk mengurusi masyarakatmu, sedangkan buah hatimu, kau biarkan terjebak dalam dunianya sendiri. Aku, sebenarnya ingin sekali menegurmu, tapi apalah dayaku yang sebatas kacung ini. Kau sepertinya tak memahami watak darah dagingmu yang pemalu itu. Perasaan anakmu yang canggung untuk bergabung dengan orang-orang kampung, sebab sebagai anak seorang tokoh, anakmu selalu disanjung dan digadang-gadang akan menjadi manusia hebat melebihi abahnya.
Sedangkan kemampuan anakmu tak berbeda dari anak-anak di kampung ini—dalam bidang apa pun. Seharusnya kau juga paham, bila harapan-harapan orang kampung itu telah mejadi momok yang menakutkan—beban mental dan moral yang berat untuk ditanggung buah hatimu yang masih muda itu.
Hampir semua abah di dunia ini gemar membangga-banggakan anaknya, tidak terkecuali kau. Sebagai satu-satunya anak kampung yang mengenyam pendidikan Belanda, buah hatimu diberi julukan anak emas oleh khayalak. Semua itu berkat kau Jurairai. Kau terlalu berlebihan menceritakan anakmu pada orang-orang, kau suka mereta-reta anakmu yang menjadi siswa teladan di kota, padahal kenyataannya tidak.
Barangkali karena beban itulah, anakmu menutup diri dari khayalak, bahkan hanya untuk sekadar tegur sapa dan melempar tanya, anakmu selalu mencari siasat untuk menghindar. Akibatnya anakmu menjadi asing di tanah kelahirannya sendiri. Padahal anakmu itu calon pemimpin di kampung warisan sultan dan para syekh masyhur di tanah Jawa ini.
Sebagai orang tua, kau hanya mendiamkannya saja. Kau berpikir anakmu itu baik-baik saja. Kau menganggap anakmu sedang sibuk menimba ilmu di kota tanpa pernah ada rasa ingin tahu apa yang dilakukannya selama ini di sana. Anakmu itu memang pandai dalam bersandiwara. Setiap kali anakmu pulang, ia pasti rajin membuka mushaf dan tidak pernah masbuk menunaikan ibadah salat berjemaah di masjid. Namun, seharusnya kau juga memperhatikan saat anakmu berjalan menuju masjid. Anakmu selalu bungkam dan hanya sesekali melempar senyum keterpaksaan kepada orang-orang kampung yang menyapanya di jalan.
Selama tiga hari buah asam yang di wadahi dengan karung goni itu dikumpulkan di sebuah gudang yang dibangun bersama dan untuk kepentingan kampung. Tidak terasa, tumpukan karung sudah menyesaki gudang. Kendi-kendi pun mulai tampak menghiasi setiap beranda rumah di kampung ini. Kendi yang disediakan oleh keluarga jemaah calon haji untuk siapa saja yang kehausan atau sekadar menghilangkan dahaga. Dengan harapan, setiap air yang ditenggak akan membawa keberkahan kepada keluarga yang hendak menunaikan ibadah haji.
Setiap malam orang-orang kampung berduyun memenuhi rumah para calon jemaah haji secara bergiliran. Mereka melantunkan ayat-ayat suci dan memanjatkan doa-doa agar jemaah calon haji diberikan keselamatan dan menjadi haji yang mabrur. Sungguh saat itu kau merasakan kampungmu begitu tenang, tenteram, dan sangat nyaman diselimuti ayat-ayat suci yang mengudara.
Pagi itu kau mengajakku pergi menuju Pelabuhan Tirtayasa untuk melaporkan jumlah jemaah calon haji dari kampungmu. Kau dan aku berjalan kaki melewati perkampungan-perkampungan yang sama sibuknya dengan kampungmu—mempersiapkan kedatangan bulan haji. Kendi-kendi berjejer dari rumah ke rumah. Kau meminum air itu lalu memanjatkan doa sejenak. Setibanya di pelabuhan, kau bertemu dengan Sampar Wadi, pemilik kapal yang sedang duduk santai menikmati teh hangat di sebuah warung yang berdindingkan anyaman bambu.
“Assalamualaikum,” kau mengucap salam sembari membungkukkan sedikit tubuhmu.
“Walaikumsalam, Pak Ustaz,” ujar Sampar Wadi sembari bangkit dari tempat duduknya.
“Bagaimana kabar keluarga di rumah, Pak Sampar?”
“Alhamdulillah, semuanya sehat Pak Ustaz.”
“Ngomong-ngomong sekarang Pak Sampar sudah punya berapa cucu?”
“Wah, pertanyaannya kok cucu, ya,” Sampar Wadi sembari tertawa. “Baru mau, Pak. Anak sulung saya sedang ngisi,” lanjut Sampar.
“Alhamdulilah, semoga bayinya lahir dengan selamat, Pak.”
“Sebentar dulu ya Pak, Ustaz. Bu Siti, tolong buatkan dua cangkir teh hangat lengkap dengan kudapannya, saya kedatangan tamu agung dari kampung sebelah,” ujar Sampar pada perempuan tua yang tengah asyik menggoreng-goreng di dalam warung.
“Tak usah repor-repot begitu Pak Sampar. Saya kemari hanya mau menyampaikan informasi, jika tahun ini ada dua puluh jemaah calon haji dari kampung saya yang hendak berangkat ke tanah suci. Alhamdulillah musim buah asam tahun ini sedang bagus. Kurang lebih sudah terkumpul dua puluh karung buah asam di dalam gudang,” ujarmu sembari menyeruput teh hangat yang baru diantarkan ibu tua pemilik warung.
“Syukur Alhamdulillah, Pak Ustaz. Berarti, jemaah calon haji semakin meningkat, semoga hal itu beriringan dengan tingkat keimanan yang semakin kuat. Kalau begitu saya akan mengabari teman-teman pemilik kapal untuk mempersiapkan kapal yang lebih banyak lagi,” ujar Sampar Wadi.
“Aamiin Allah Humna Aamiin. Untuk saat ini mungkin itu saja dulu yang bisa saya sampaikan. Dan, ini catatan nama-nama yang hendak berangkat ke tanah suci. Semoga haji tahun ini lancar dan memberi keberkahan untuk semua umat,” kau berkata sembari memberikan secarik kertas.
“Amin, Pak Ustaz. Tapi, bagaimana kalau untuk mengantisipasi membludaknya jemaah calon haji tahun ini, gentong-gentong persediaan air kita kurangi.”
“Tidak masalah Pak Sampar, selagi ada buah-buah asam itu.”
Kau kembali menyusuri perkampungan yang diselimuti kebahagiaan. Orang-orang di kampung itu selalu menyapamu dan memintamu untuk mampir sejenak ke rumahnya. Biasanya kau akan mampir untuk sekadar bercengkrama dengan mereka, tetapi hari itu kau memilih untuk pulang.
Setibanya di rumah kau melihat gelagat buruk yang sedang menimpa anakmu. Entah apa penyebabnya. Tapi yang pasti anakmu terlihat kebingungan mondar-mandir tak karuan.
“Nak, kapan kau pulang?” kau bertanya pada anakmu yang berperilaku aneh itu.
“Tadi pagi, Abah,” anakmu menampakan wajah muram.
“Kau tampak gelisah sekali, sedang ada masalah apa?” kau kembali bertanya.
“Tidak ada apa-apa ko, Bah. Tapi ngomong-ngomong Abah punya uang tidak? Fansyuri butuh uang untuk kegiatan sekolah ke Kudus, Bah,” anakmu berkata sembari terus mondar-mandir di depanmu.
“Abah sedang tidak punya uang, Fansyuri. Tapi, kalau untuk keperluan sekolahmu, nanti Abah usahakan. Memangnya kapan pembayarannya?”
“Hari ini, Bah. Maka dari itu Fansyuri kebingungan, takut Abah sedang tidak punya uang dan Fansyuri tidak bisa ke Kudus. Masalahnya ini bakal berpengaruh pada nilai Fansyuri Abah,” ujar anakmu dengan raut wajah yang memelas.
“Mendadak sekali, kenapa tidak bilang dari kemarin? Tapi tidak apa-apa. Abah akan pergi ke rumah bibimu, siapa tahu bibimu sedang ada rezeki lebih,” kau mencoba menenangkan kegelisahan anakmu.
Beberapa saat setelah percakapan itu, kau bersiap-siap untuk pergi ke rumah adikmu Sarah untuk meminjam uang. Tetapi Tuhan berkehendak lain, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dan suara salam seseorang. Kau membuka pintu itu dan ternyata di balik pintu itu adalah adikmu, Sarah. Kedatangan Sarah ke rumahmu hendak memberikan uang hasil panen padi kemarin. Memang rezeki tidak ada yang tahu kapan datang dan perginya. Jumlah uang itu lebih dari yang diminta anakmu. Kau pun langsung beringsut menemui anakmu yang sedang gamang di dalam kamarnya. Kau memberikan uang itu dan seketika garis-garis di pipi anakmu menjadi berseri. Anakmu jingkrak-jingkrak kegirangan dan memeluk tubuhmu dengan sangat erat. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, anakmu langsung kembali ke kota. Seperti biasa, anakmu tak suka lama-lama di rumah.
Pagi itu kau mendapati jemaah calon haji dari daerah gunung berduyun-duyun berdatangan. Mereka berjalan sembari memanggul segala perbekalan untuk perjalanan haji nanti. Mereka juga meminum air kendi yang tersedia di beranda-beranda rumah sembari memanjatkan doa-doa. Masyarakat kampungmu juga sudah siap untuk berangkat menuju ke Pelabuhan Tirtayasa. Hampir seluruh orang di kampungmu ikut mengiring para calon jemaah haji itu. Kau menyaksikan lautan manusia berjalan selangkah demi selangkah menuju Pelabuhan Tirtayasa sembari mengudarakan selawat dengan sangat khidmat. Tangis bahagia pecah saat semua orang dari segala penjuru Banten berjalan bersama-sama menuju Pelabuhan Tirtayasa. Tidak ada perbedaan, semuanya saling bercengkerama bagai keluarga yang lama tidak berjumpa.
Dari mulai kau berjalan sampai tiba di Pelabuhan Tirtayasa bulu kudukmu terus berdiri serupa bulu landak yang terancam, matamu juga berkaca-kaca dan sesekali meneteskan bulir air ke tanah yang kering. Setibanya di pelabuhan, jemaah calon haji masuk ke dalam kapal. Lalu tiba-tiba terlihat seseorang berlari dengan wajah yang kurang mengenakan. Orang itu ternyata Kosim, pemuda yang bertugas membawa karungan buah asam ke pelabuhan. Kosim mendekatimu dengan napas terengah, lalu berkata bila semua buah asam di gudang telah hilang. Kau bertanya berulang-ulang memastikan kebenaran berita tersebut. Tetapi jawaban Kosim tetap sama.
Melihat lautan manusia dan membludaknya jemaah calon haji tahun ini, kau menjadi kalang kabut. Kau merasa ada sebuah batu besar jatuh di tubuhmu. Kau tahu buah asam itu adalah cadangan air minum para jemaah calon haji. Kau tahu buah asam adalah medium para syekh di kampungmu untuk menyiasati pemerintah kolonial Belanda saat itu. Para syekh terdahulu tidak mati kehausan saat tidak diperbolehkan membawa secangkir air pun oleh para kompeni. Mereka hanya membawa sekempek buah asam untuk menawarkan air laut.
Kau pun berlari melewati jalur pintas menuju kampungmu. Kakimu terus berlari menerjang hutan, kubangan, semak-semak belukar, dan kandang sapi. Bajumu kuyup terendam peluh keringat. Sedang aku terus mengekorimu dari belakang. Saat kau tiba di gudang penyimpanan buah asam, tubuhku seketika lemas sedang matamu terus memandangi gudang yang hampa.
***
Enam bulan kemudian para jemaah haji itu pulang dengan jumlah yang berkurang. Sampar Wadi menyampaikan bila kapal-kapal yang mengangkut jemaah haji, terkena badai beberapa hari dan terpaksa memutar haluan di rute yang lebih jauh. Hal itu membuat cadangan makanan dan air semakin menipis dan akhirnya habis. Akhirnya banyak para awak kapal yang kehausan dan harus meregang nyawa.
Kau pun akhirnya mengetahui jika buah-buah asam itu dijual oleh anakmu, Fansyuri. Anakmu kalah judi, lalu ia dipaksa untuk segera membayar utangnya. Kau juga tahu kalau kunjungan anakmu ke Kudus itu hanya kebohongan belaka. Anakmu ternyata sudah terjebak bujuk rayu teman-teman bulenya itu untuk menjual seluruh buah asam yang ada di kampungmu kepada gurunya. Dan kau sendiri menyadari jika guru anakmu itu salah satu dari kompeni yang memegang kuasa pemerintahan tertinggi di tanah kelahiranmu. Saat itu kau sanagat murka, matamu menjadi kemerah-merahan seperti hendak mengeluarkan darah. Kau menampar, memukul, dan meludahi anak kesayanganmu dengan penuh kekesalan. Setelah anakmu babak belur, kau mengusirnya. Ya, kau mengusirnya.
***
Tiga tahun berlalu, anakmu belum juga pulang. Sekarang kau sedang berdiri di depan dermaga Pelabuhan Tirtayasa. Kau sedang mengantarkan orang-orang yang hendak pergi ke tanah suci tahun ini. Meski dalam rundungan kerinduan terhadap buah hatimu, kau tetap berusaha terlihat biasa di hadapan orang-orang. Sebagai bujangmu yang setia, aku selalu menemanimu dan selalu menghibur kesedihanmu selama tiga tahun ini. Kau yang sering melamun di beranda rumah meratapi kepergian istrimu yang wafat setelah berhari-hari menyendiri di kamar menanti buah hati yang ia lahirkan pulang. Istrimu sakit-sakitan dan beberapa saat kemudian di panggil Tuhan. Sungguh peristiwa yang menyedihkan.
Kau memandangi kapal-kapal itu beranjak dari dermaga dengan mata yang berkaca-kaca. Tiba-tiba beberapa orang mendekatimu. Kau melihat salah satu di antara mereka adalah Fansyuri, anakmu. Kau berlari mendekat dan hendak memeluk anakmu yang tampak lebih dewasa itu. Kau hendak meminta maaf terhadap apa yang telah kau lakukan kepadanya. Kau hendak mengajaknya kembali pulang ke rumah. Belum sempat kau berkata. Seorang lelaki paruh baya yang sedari tadi memegangi lengan Fansyuri berkata, jika anakmu Fansyuri telah menghamili anaknya, dan lelaki itu meminta pertanggungjawaban Fansyuri untuk segera menikahi anaknya hari itu juga. Seketika kau tidak sadarkan diri di tengah lautan manusia.
Serang, 2019
_______
Penulis
Ma’rifat Bayhaki lahir pesisir pantai utara Banten. Alumnus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Jurusan Pendidikan Sejarah. Karya-karyanya tersebar di media cetak maupun online.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com