Saturday, September 27, 2025

Resensi Kabut | Anak, Imajinasi, Sejarah

Resensi Kabut



Cerita terjadi di Lampung. Kita tidak perlu membuat perbandingan yang rinci mengenai penulisan cerita-cerita di Indonesia berdasarkan latar tempat. Pada masa 1920-an, Sumatra sering menjadi latar cerita, terutama di Padang, Bukittinggi, Medan, dan lain-lain. Apakah cerita-cerita berlatar Lampung juga sudah sering muncul sejak awal abad XX? Kita sedang bertanya sambil mengingat novel abad XXI yang berjudul Di Tanah Lada. Novel yang mengingatkan Lampung.


Yang bercerita berlatar Lampung adalah Motinggo Busye. Ia menulis novel untuk anak berjudul Tentara Semut (1981). Pembaca kaget mendapat buku dari Motinggo Busye? Mereka pasti mengingat novel-novel selera berahi yang ditulis Motinggo Busye pada masa lalu. Di Indonesia, ia adalah pengarang yang paling rajin menulis novel-novel hiburan meski sempat menjadi perhatian di ranah sastra “serius”. Namun, orang-orang sempat mengecap dirinya adalah pengarang demi uang. Ia memang “berkuasa” dalam novel-novel yang diomeli pengamat sebagai picisan dan berahi. Namanya terus berkibar dengan mengikutkan ejekan, ledekan, dan doa-doa. 


Di industri buku, kita akan geleng-geleng kepala menghitung jumlah novel yang ditulis Motinggo Busye. Sejak masa 1950-an, ia pun tampil sebagai penulis cerita pendek, drama, artikel, dan puisi. Maka, Motinggo Busye adalah pengarang yang mudah diributkan bila mencari garis batas “serius” dan “pop”. Pada akhirnya, Motinggo Busye menjadi pengarang yang berdakwah. Pada usia tua, ia bertobat setelah mendapat omelan dari anak. Ia meninggalkan novel berahi dan film yang bernafsu. Babak yang mengejutkan dibuktikan dengan menulis novel-novel mengandung ajaran Islam atau terang-terangan berdakwah.


Yang pantas tercatat adalah Motinggo Busye masuk dalam leksikon kesusastraan anak. Kita belum jumlah buku cerita anak yang digubah Motinggo Busye. Yang berhasil ditemukan dan dibaca adalah novel berjudul Tentara Semut yang diterbitkan Rosda, Jakarta. Novel tipis: 76 halaman.


Motinggo Busye mengajak anak-anak mengenang perang. Mengapa tema perang laris dalam penulisan cerita anak? Pada suatu saat, kita bisa mengusulkan tema itu kepada teman atau saudara yang kuliah S-3 di UGM atau UI. Tema perang dalam puluhan atau ratusan cerita anak di Indonesia wajib diulas untuk mengetahui motif, dampak, kebepihakan, dan lain-lain. Tentara Semut pantas ikut dibahas jika mempertimbangkan keampuhan Motinggo Busye dalam bercerita, yang sudah terbukti sejak masa 1950-an.  Namun, kita yang membaca Tentara Semut tidak harus mengikutkan kesan-kesan saat membaca novel-novelnya yang dipersembahkan kepada kaum dewasa.


Tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam novel adalah anak-anak yang masih belajar di SD, berusia 10-13 tahun. Beberapa anak tinggal satu kampung dan belajar di sekolah yang sama. Mereka berhasil dibedakan watak dan kecapakan berbahasanya. Pengarang berhasil memunculkan tokoh-tokoh yang bukan sekadar “juru bicara” bagi pengarangnya. Kita tidak meragu bila Motinggo Busye mahir mencipta tokoh-tokoh yang memeriahkan cerita dengan perbedaan-perbedaan karakter, sikap, bahasa, dan lain-lain.


Pertemanan mencipta keberanian untuk berada di medan perang. Mereka sudah berimajinasi perang setiap hari. Kebersamaan melahirkan pengandaian terlibat dalam perang. Percakapan mereka kadang-kadang mengandung bualan dan impian. Perang bukan ditakuti tapi membuat mereka memperhitungkan kekuatan dan kelemahan berdasarkan kejadian sehari-hari. Yang diceritakan Motinggo Busye mengenai keadaan Lampung: 1947, 1948, 1949. 


Kecamuk perang terjadi di Jawa. Berita dan cerita yang berdatangan dari Jawa menjadi referen bagi anak-anak. Lampung berbeda tapi tetap dilanda perang, yang tarafnya berbeda dengan Jawa. Maka, anak-anak memastikan Lampung tetap menjadi medan perang: besar atau kecil.   


Pada suatu hari, anak-anak mendapat kabar mengenai perang yang sudah terjadi di Palembang dan Medan. Perang bakal merembet ke Lampung. Mereka saling bertanya: apa yang bakal terjadi dan harus dilakukan saat perang. 


Pertemuan anak-anak dengan tentara menghasilkan keputusan. Motinggo Busye menunjuk satu tokoh untuk menguatkan kemauan berperang: “Aku merasa sudah waktunya kita anak-anak menjadi tentara.” Ajakan itu menggugah dan membuat anak-anak memastikan membesarkan imajinasi perang.


Pembagian peran dilakukan. Yang kocak adalah pembagian pangkat bagi anak-anak yang merasa jagoan. Motinggo Busye memberi kelucuan, yang pembaca memaklumi itu dirasakan oleh anak-anak yang bersaing keberanian dan pamer latar belakang keluarga.


Apakah anak-anak mudah menerima peran dan pangkatnya. Kita mengutip omongan mengandung keputusan: “Dan, kamu menjadi ketua bagian rangsum makanan!” Si anak yang ditunjuk langsung setuju, beralasan: “Aku setuju. Bukankah ayahku pemilik restoran Padang di Telukbetung ini?” Ada lagi yang berharap: “Aku menjabat apa?” Yang bertanya mendapat jawab: “Kamu bagian baca doa di kuburan kalau kita ada yang mati.” Pada masa awal berharap meluapkan ingin menjadi tentara, mereka sudah terbayang kematian atau gugur. Yang diinginkan adalah kematian menjadi pahlawan. 


Anak-anak yang lucu. Mereka sering bicara semaunya. Kita yang membaca cerita anak gubahan Motinggo Busye menyadari kondisi anak-anak dalam perang. Mereka tetap belajar di sekolah dan bermain. Pengamatan terhadap kondisi membentuk kepribadian mereka yang terhubung dengan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Mereka pun merasakan gejolak dalam keluarga yang terdampak perang. 


Mereka akhirnya tampil bersama dalam suasana perang sebagai tentara semut. Filosofi yang dianut: “Biarpun namanya tentara semut, tetapi kalau semut menggigit sakit juga.” Semut itu berarti kecil. Mereka sadar diri tapi berharap bisa kompak. Anak-anak yang kompak tentu tidak kalah dari para tentara yang usianya dewasa atau tua. Pembentukan tentara semut makin bermakna saat malam mendapat berita. Tokohnya yang mendengar radio yang dibawa ayahnya dari Jawa: “Malam itu aku mendengar siaran wartaberita dari Radio Republik Indonesia untuk pertama kali. Kami dengan tegang mendengar pengumuman bahwa Republik Indonesia dalam keadaan terancam. Sebab, penjajah Belanda dengan pasukan KNIL telah menyerbu dan menduduki beberapa kota di Indonesia.” 


Anak-anak rajin berlatih. Mereka mengikuti berita dalam melakukan pengamatan di kota. Peran-peran yang terbagi dimaksudkan agar mereka memiliki kontribusi dalam perang yang menegakkan kedaulatan Indonesia. Yang diceritakan: “Latihan perang itu sangat seru dan dahsyat. Bahkan, aku juga kagum kepada anak-anak perempuan. Mereka menjadi palang merah yang mengobati orang yang terluka.” 


Kita menganggap Motinggo Busye sudah belajar sejarah Indonesia. Ia pun mempelajari peraturan-peraturan perang. Jadi, pengarang semestinya paham posisi anak-akan dalam perang. Maka, yang diceritakan Motinggo Busye kadang berlebihan untuk mengesahkan peran anak-anak dalam perang.


Anak-anak lekas mengetahui darah, kematian, pengkhianatan, dan lain-lain. Yang agak kurang dalam pengisahan Motinggo Busye adalah kondisi batin anak-anak. Dugaan: cerita ditulis secara cepat, yang mengakibatkan pembahasan perang dianggap penting ketimbang memasalkan kondisi batin atau kejiwaan anak-anak. 


Namun, buku yang diterbitkan dan masuk ke pelbagai perpustakaan itu bisa memicu anak yang belajar sejarah Indonesia membayangkan anak-anak turut berjasa. Perang tidak hanya memunculkan tokoh-tokoh yang dewasa, yang foto atau gambarnya dicetak di koran atau dipasang di dinding. Perang di Indonesia adalah perang yang bertokohkan anak-anak, yang berani bersuara dan bertindak.


_________


Penulis


Kabut, penulis lepas.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com