Cerpen Siti Maria Ulfah
Mang Karo menebang pring bambu di kebun belakang, dekat dengan Tempat Pemakaman Umum. Suara riuh terdengar tak henti di telinganya, angin berhembus beriringan melambai-lambaikan bambu. Mang Karo menggenggam golok tajam, menebas buas satu per satu bambu hingga berjatuhan ke segala arah.
Darda, anaknya, menyaksikan kegagahan ayahnya dari jauh sambil memainkan tembakan yang dibuatkan ayahnya dari bambu. Ia meremas-remas kertas yang direndamnya di air untuk memastikan kertas itu melemas. Kertas itu menjadi peluru yang siap membidik serangga dan binatang kecil yang ditujunya. Matanya tajam memburu binatang incarannya. Laba-laba, kadal, kupu-kupu, capung, hingga beberapa semut kerangrang mati tertepar di depannya.
“Darda, ayo mulih,” ucap Ayah Karo.
Tembakan Darda meleset. Ia kesal, padahal sedang memburu burung pipit, tapi sial, ulah ayahnya membuat ia tidak bisa membawa burung pipit ke rumah.
Door! Tembakan itu tepat mengenai pipi ayahnya. Ayahnya terjatuh melunglai di atas pring bambu yang sudah dikumpulkannya. Darda tidak menyangka tembakannya itu bisa melumpuhkan ayahnya yang kuat itu. Ia justru bangga bisa lebih kuat dari ayahnya. Melompat girang, berlari memutari pring bambu.
“Aku hebat, aku kuat! Tidak ada yang bisa mengalahkanku!” teriak Darda. Ayahnya terkekeh, lalu terbangun dan menangkap badan mungil anaknya. Mang Karo dan Darda berjalan pulang.
Mang Karo melanjutkan pekerjaannya. Ia membelah bambu-bambu menjadi beberapa bagian hingga pagi hari. Hasil kreativitasnya berdiri kokoh: lebar satu meter, panjang dua meter, dan tinggi satu setengah meter. Senyum lebar terlukis di wajah Mang Karo. Pesanan kampung Cimanuk selesai sesuai waktu pemesanan, sebelum besoknya dipajang mengelilingi beberapa desa.
“Mang Karo, kenapa jadinya naga?” ujar Mang RT.
Para pemuda dan masyarakat sudah mufakat untuk membuat panjang bergambar burung, sesuai dengan nama desanya: Cimanuk. Mang RT kembali mengingatkan Mang Karo untuk membuat kembali panjang sesuai pesanan masyarakat. Namun Mang Karo tetap kokoh dengan pendiriannya. Ia enggan menjelaskan apa pun kepada Mang RT.
“Aku akan tetap mempersembahkan naga ini untuk pawai dan festival maulid besok,” jawab Mang Karo.
Mang Karo tidak mengerti apa yang dipikirkan Mang RT tentang naga yang dibuatnya itu. Padahal ia sudah membuat dengan sepenuh hati, bahkan tidak dibayarpun tidak mengapa. Anyaman bambu yang indah, dengan kepakan sayap yang membentang lebar serta kepala naga yang bisa menyemburkan api.
“Apa maksud Mang Karo ini?” hentak Mang RT.
Masyarakat juga sudah tahu bagaimana kelakuan naga itu. Bahkan hampir seluruh masyarakat geram dengan kelakuan naga yang selama ini meneror desa Cimanuk dan beberapa desa lainnya: mengambil persawahan, empang, tanah kosong, sampai tanah pemakaman umum, dirampasnya dengan iming-iming yang tidak seberapa. Seenaknya Mang Karo ingin memajang naganya itu dengan aneka makanan, minuman, sarung, baju, celana, daster yang bergelantungan menutupi seluruhnya.
“Diamlah, Mang.”
Warga Cimanuk berjalan menyusuri perkampungan menuju lapangan festival. Digotongnya naga di pundak-pundak para pemuda. Semua mata tertuju pada keindahan dan semburat api di mulut naga. Sorak masyarakat tak henti-hentinya sampai di lapangan. Langkah-langkah kaki semakin ramai mengikuti arah naga hingga lapangan penuh dengan masyarakat.
Festival kembali memanas dengan amukan masyarakat yang merampas semua pajangan di ekor, badan, sayap, hingga kepala naga. Semburat api naga tidak menggetarkan semangat masyarakat.
“Akhirnya,” ujar Mang Karo.
Serang, 6 September 2025
_________
Penulis
Siti Maria Ulfah lahir di Serang 20 Juni 1999. Kesibukan kesehariannya belajar bersama anak-anak usia dini di SDIT Ibadurrahman Ciruas yang insyaallah saleh dan salihah, membaca karakter anak-anak dan guru-guru yang random serta unique untuk diambil pelajarannya. Kesibukan terakhirnya menulis ke-random-an yang terjadi hari ini. Buku cerpen pertamanya berjudul Kopi Pelayaran (#Komentar, Maret 2025).
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com