Saturday, September 27, 2025

Resensi Yuditeha | Ini Kisah Kita


Ini Kisah Kita

Judul Buku : Mas Toer Bapak Kami

Penulis : Koesalah Soebagyo Toer

Penerbit : Pataba Press

Cetakan/Tahun : Pertama 2022

Tebal : x + 198 halaman

Ukuran : 14 x 20,5 cm

ISBN : 9786025604638


Mas Toer Bapak Kami adalah prasasti yang tidak terukir di batu, melainkan di kertas. Ia bukan sekadar biografi Mastoer, seorang pendidik di Blora, ayah dari raksasa sastra Pramoedya Ananta Toer. Lebih dari itu, buku ini sebuah upaya melucuti lapisan-lapisan narasi yang sudah baku, membedah ulang sejarah, dan yang paling penting, memaknai hidup dari sudut pandang yang paling sederhana: keluarga.


Koesalah Soebagyo Toer, si bungsu yang memilih jalan sunyi untuk menuturkan, tidak sedang membangun monumen untuk ayahnya. Ia sedang meruntuhkan monumen yang dibangun orang lain—termasuk kakaknya sendiri.


Membaca buku ini, saya teringat pepatah kuno: Setiap pahlawan adalah tragedi yang belum selesai. Pramoedya menulis: Bukan Pasar Malam, sebagai elegi atas ayahnya, seorang guru yang hidupnya dihabiskan untuk mendidik dan mati dalam kesepian dan penyakit. Narasi itu begitu kuat, begitu menghunjam, hingga kita telanjur percaya: Mastoer adalah seorang pria yang tergerus zaman, seorang idealis yang kalah. Tapi Koesalah datang, membawa serpihan-serpihan memori yang tersebar dari bibir para saksi hidup, bukan hanya dari sudut pandang seorang anak yang terluka.


Di tangan Koesalah, Mastoer bukan lagi sosok tragis. Ia seorang pria kompleks, penuh tawa, kadang jenaka, kadang keras, tapi selalu berpegang teguh pada prinsip. Ironi yang paling besar adalah bagaimana kita sering kali lebih mudah terhanyut pada kisah duka, pada narasi kegagalan, karena itu lebih dramatis. Seakan kebahagiaan dan keberhasilan adalah hal yang membosankan untuk ditulis. Koesalah, dengan tulisannya yang apa adanya, menampar kita dengan kebenaran yang jauh lebih sederhana, hidup tak selalu harus tragis untuk menjadi berharga.


Kita terlalu sering menyederhanakan manusia menjadi satu dimensi. "Itu ayahnya Pramoedya." Titik. Seolah-olah identitasnya hanya valid jika dikaitkan dengan sang anak. Padahal, sebelum dan sesudah menjadi ayah Pramoedya, Mastoer adalah seorang pria dengan dunianya sendiri. Ia guru yang gigih, yang dengan santai bisa saja berkata, "Kalian jangan cuma bisa menulis, tapi juga harus bisa main gamelan!" Sebuah satir yang menusuk. Di zaman ketika orang tua memaksa anaknya jadi insinyur, dokter, atau pegawai bank, Mastoer, seorang guru pribumi, justru menuntut anak-anaknya mahir dalam sastra dan seni.


Lalu kita bertanya, "Apa manfaatnya?" Pertanyaan yang menggelitik itu seakan menjelma sarkasme pada zaman kita sekarang. Di mana pendidikan sering kali hanya dimaknai sebagai jembatan menuju pekerjaan, bukan jalan untuk menjadi manusia seutuhnya. Kita dididik untuk menjadi pion dalam permainan ekonomi, bukan untuk menjadi pemikir yang bebas. Mastoer, dengan segala keterbatasan zamannya, sudah jauh melampaui itu. Ia mengajarkan pada anak-anaknya bahwa menjadi manusia artinya memiliki suara, memiliki keberanian untuk menuliskan apa yang dilihat, apa yang dirasa, dan apa yang dipikirkan.


Mungkin di situlah esensi menulis yang relevan. Menulis bukan lagi sekadar merangkai kata. Menulis adalah perlawanan. Perlawanan terhadap narasi yang seragam, perlawanan terhadap simplifikasi dangkal, dan perlawanan terhadap kelupaan. Kita hidup di era di mana informasi berlimpah, tetapi kebijaksanaan langka. Kita dibanjiri berita, tetapi maknanya sering kali menguap di udara.


Di tengah hiruk-pikuk itu, menulis, dengan segala kejernihan dan ketajamannya, menjadi semacam oase. Ia memaksa kita berhenti sejenak, merenung, dan bertanya: "Apakah yang kulihat ini seluruhnya kebenaran?" Buku Koesalah mengajak kita melihat sisi lain, bahwa kebenaran sering kali ada di sudut-sudut yang tidak terperhatikan, di kisah-kisah yang tidak heroik, dan di balik senyum yang mungkin tidak sengaja kita lihat.


Ada satu bagian dalam buku yang membuat saya tersenyum kecil, yaitu saat Koesalah menyoroti berbagai ulasan tentang Mastoer. Penulisannya terasa begitu jujur dan lugas. Koesalah menuliskan setiap penuturan dari para narasumber apa adanya, baik yang memuji maupun yang mengkritik


Salah satu ulasan yang paling menarik perihal perwatakannya. Di satu sisi, Mastoer bisa bersikap sangat keras. Contohnya adalah kejadian suatu pagi. Saat anak-anaknya bersiap ke sekolah, Mastoer mendapati Prawit masih belum siap. Ketika ditanya, Prawit menjawab hari itu libur. Tanpa mengatakan apa-apa, Bapak datang, Prawit ditangkap, lalu dilemparkan ke dalam tong besi. (halaman 78)


Di sisi lain, Mastoer juga dinilai sebagai sosok yang sangat lembut. Hal ini terbukti dari kesaksian beberapa orang yang mengenalnya. Dari deskripsi yang diberikan, terlihat bahwa Mastoer sangat menghargai semangat belajar anak-anaknya. Ia merasa bangga ketika mereka menunjukkan niat dan upaya sungguh-sungguh untuk menguasai suatu bidang


Uraian ini terasa begitu personal dan menghangatkan. Di balik sosok ayah yang keras, tersimpan seorang pria yang diam-diam tersenyum bangga melihat pencapaian anak-anaknya. Senyum itu adalah senyum seorang ayah yang mungkin tidak bisa mengucapkan "Aku bangga padamu" secara langsung. Narasi ini menjadi pengingat yang menyentuh, bahwa di balik wajah yang tegas dan kata-kata yang keras, sering kali ada cinta yang tak terucapkan yang begitu mendalam.


Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menggurui. Tulisan ini hanya sebuah ajakan untuk melihat lebih jernih. Untuk melihat bahwa di balik setiap tokoh besar, ada manusia kompleks. Di balik setiap narasi yang berkuasa, ada kebenaran lain tersembunyi. 


Mas Toer Bapak Kami adalah sebuah undangan untuk menengok ke belakang, bukan untuk larut dalam nostalgia, melainkan untuk belajar bahwa setiap cerita, tidak peduli seberapa kecil atau seberapa sederhana, memiliki hak untuk diceritakan. Bahwa kebenihan hati, keteguhan prinsip, dan keberanian untuk hidup apa adanya, jauh lebih berharga daripada gemerlap popularitas dan pengakuan. 


Buku ini cermin yang memantulkan bukan hanya wajah Mastoer, tetapi juga wajah kita sendiri, sebagai manusia, sebagai anak, sebagai penulis, dan sebagai pembaca yang haus akan makna di tengah kegaduhan dunia. Jadi ini bukan sekadar Mastoer, ini kisah kita. 


Penulis

Yuditeha, Menjadi lebih mudah membaca ketika hati sedang berantakan.