Kali ini tim redaksi mewawancarai salah satu tokoh penulis (cerpenis) yang konon sosoknya selama ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan dunia informasi pemuatan karya sastra di media massa setiap minggunya sejak belasan tahun lalu yang mungkin sangat terasa manfaatnya bagi para penulis se-Indonesia, bahkan menjadi salah satu ruang silaturahmi terbesar grup sastra yang ada. Kalau Anda aktif menulis di media, pasti tidak asing dengan beliau. Siapa beliau? Ya, beliau Bamby Cahyadi.
Bamby Cahyadi lahir di Manado, 5 Maret 1970. Ia menulis berbagai tema cerita pendek di koran, majalah, tabloid, dan media daring. Sehari-hari Bamby bekerja di industri Food and Beverages (F&B). Buku-bukunya yang telah terbit: kumpulan cerpen Tangan untuk Utik (Koekoesan, 2009), Kisah Muram di Restoran Cepat Saji (Gramedia Pustaka Utama, 2012), Perempuan Lolipop (Gramedia Pustaka Utama, 2014), Apa yang Terjadi Adalah Sebuah Kisah (Unsa Press, 2016), Seminar Mengatasi Keluhan Pelanggan (Diva Press, 2022), dan buku terbarunya Aku Bercerita dari Pesawat yang Sedang Terbang (Diva Press, 2025). Ia bisa ditemui di Instagram, dengan akun: @bamby_tjahjadi
Dulur NGEWIYAK, yuk kita tanya-tanya beliau!
_________
1. Sejak kapan Mas Bamby menulis dan mengapa bercita-cita menjadi penulis?
Sebenarnya saya menulis sejak SMA, kala itu lebih banyak menulis reportase kegiatan sekolah untuk Majalah Dinding dan Majalah OSIS SMA Negeri 1 Tasikmalaya. Lalu ketika saya kuliah di Universitas Siliwangi Tasikmalaya, saya mengaktifkan Majalah Kampus Fakultas Ekonomi dan Majalah Universitas, dikarenakan saya menjabat sebagai Pemred Majalah Fakultas dan Universitas sekaligus ketua Unit Pers Mahasiswa plus Ketua Senat Universitas (SMPT) juga, maka saya cukup rajin menulis. Namun semua tulisan saya pada masa itu berupa reportase dan artikel ringan. Saya pun cukup rajin mengirimkan tulisan-tulisan saya ke media, seperti: Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Simponi, Femina, dll.
Dulu saya bercita-cita menjadi wartawan (bukan penulis). Usai wisuda, saya lebih sering memasukkan CV saya ke media-media massa di Bandung dan di Jakarta. Hingga akhirnya saya menjadi reporter Majalah Pramuka Kwartir Nasional di Jakarta.
Saat menjadi reporter Majalah Pramuka, saya mendapat penugasan untuk mencari iklan dari sebuah restoran cepat saji yang sedang berkembang pesat di Jakarta khususnya, alih-alih mendapatkan iklan untuk majalah, saya malah tertarik dengan iklan lowongan pekerjaan yang dibuka oleh perusahaan restoran cepat saji itu. Singkat cerita, saya akhirnya menjadi Trainee Manager di perusahaan itu.
Bertahun-tahun bekerja di industri restoran cepat saji yang penuh target dan tekanan, membuat saya depresi, saya mengalami masa-masa krisis kejiwaan yang cukup akut dengan keinginan untuk mati atau bunuh diri, dan menjadi gila saja. Pelbagai pengobatan medis dan alternatif saya lalui untuk menyembuhkan kondisi psikis saya yang terganggu, namun tidak berhasil.
Hingga suatu hari pada masa itu, untuk mengalihkan pikiran-pikiran negatif serta bisikan-bisikan aneh yang bergejolak di benak, saya mulai membaca buku-buku lagi. Terutama buku yang berhubungan dengan psikologi, yang paling saya ingat ialah buku karya Prof. Komaruddin Hidayat berjudul Psikologi Kematian. Lalu mencoba membaca karya fiksi, waktu itu novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy yang Best Seller.
Membaca buku, baik buku nonfiksi dan fiksi, melempar ingatan saya pada masa saya masih menjadi mahasiswa dan menggugah saya untuk menulis kembali. Saya mencoba menulis lagi apa yang menjadi gangguan terhadap pikiran-pikiran saya. Beruntungnya masa itu terdapat media sosial bernama Friendster (FS). Saya posting tulisan-tulisan saya di fitur Miniblog Friendster. Sambutan teman-teman FS yang membaca tulisan saya di FS cukup baik, akhirnya saya rajin menulis semacam catatan harian di FS. Kadang catatan harian tersebut saya balut dengan imajinasi dan menyerupai karya fiksi. Saya pun rajin membaca tulisan-tulisan penulis (Sastrawan Indonesia) yang diposting di FS, dan tentu saja menjadi follower mereka. Hingga saya mengenal seorang perempuan penulis novel berjudul Ripta, yang memotivasi saya mencoba menulis sastra (cerpen).
Menulis cerpen membuat saya ketagihan dan mejadi semacam pengalihan akan pikiran-pikiran serta bisikan-bisikan negatif dalam kepala saya. Kegiatan menulis cukup berhasil mengatasi masalah psikis saya. Itulah mengapa, cerpen saya pada masa awal menulis (mungkin hingga kini), bertema kematian dan absurditas melulu.
__________
2. Pernahkan Mas Bamby mengalami krisis identitas sebagai penulis? Misalnya yang mulanya produktif tiba-tiba mandek dan merasa diri kebingungan harus melakukan apa. Bagaimana menghadapi situasi semacam itu?
Kerap, mungkin hampir ada di setiap periodesasi kehidupan sebagai penulis, saya mengalami krisis identitas. Apalagi sampai saat ini, saya masih bekerja di dunia Food & Beverages (F&B), yang menuntut rasionalitas. Absurditas, keanehan pikiran, atau bahkan imajinasi tidak akan berlaku di tempat kerja saya. Terkadang saya ingin pensiun saja menjadi penulis, dan menjalani profesi di industri kuliner ini dengan tekun. Namun tiap saya punya rencana itu, tiap saat itu juga ada momentum untuk tetap menulis.
Untuk menghadapi situasi mandek atau ingin pensiun, yang saya lakukan ialah kembali ke buku. Menyempatkan mampir ke perpustakaan atau toko buku. Membeli buku-buku fiksi terbaru, membacanya, dan akhirnya termotivasi lagi menulis. Lantas menerbitkan buku baru, seperti saat ini, buku kumpulan cerpen terbaru saya yang berjudul Aku Bercerita dari Pesawat yang Sedang Terbang terbit ketika saya memutuskan nonaktif sebagai admin Grup FB Sastra Minggu.
__________
3. Cerita apa yang paling berkesan ditulis sepanjang karier kepenulisan Mas Bamby? Apa alasannya dan bagaimana proses kreatifnya?
Yang paling berkesan ialah cerpen “Aku Bercerita dari Pesawat yang Sedang Terbang”. Cerpen ini pertama kali dimuat di Koran Tempo pada 26 Juli 2009. Cerpen ini lantas termaktub dalam buku kumcer ke-2 saya yang berjudul Kisah Muram di Restoran Cepat Saji (GPU, 2012). Dan, saya memang memiliki impian, suatu saat nanti, apabila ada kesempatan menerbitkan kumcer lagi, cerpen itu akan menjadi judul dari buku kumpulan cerpen. Alhamdulillah menjadi kenyataan.
Proses kreatif cerpen berjudul: “Aku Bercerita dari Pesawat yang Sedang Terbang”, saya tulis dalam 3 hari berturut-turut (29, 30 Juni, dan 1 juli 2009). Tiba-tiba saya teringat sewaktu kami (saya, ibu saya, kakak saya dan adik saya) mengantar jenazah almarhum ayah saya yang meninggal di Medan untuk dimakamkan di Tasikmalaya. Lalu idenya, saya olah sedemikian rupa, agar tidak terkesan kisah nyata. Ayah saya meninggal 15 Februari 1985. Nah, uniknya, cerpen itu semula, cerpen trilogi, tanggal 29 Juni 2009, saya buat bagian prolognya. Tanggal 30 Juni 2009 saya buat bagian dialognya. dan tanggal 1 Juli 2009 saya buat bagian epilog. Dan, setiap bagian tersebut, saya sempat posting 3 hari berturut-turut di Note Facebook dengan judul “Trilogi Cerpen Mengantar Ayah”. Sungguh di luar dugaan, cerpen itu banyak yang komen di Facebook, bahkan Hudan Hidayat membuat pengantar cerpennya segala. Lantas cerpen itu saya kirimkan ke Koran Tempo, dan dimuat.
___________
4. Mas Bamby kan admin dan pendiri Grup FB Sastra Minggu, boleh tidak Mas Bamby ceritakan sedikit tentang sejarah grup sastra yang cukup besar tersebut? Mengapa Mas Bamby kepikiran membuatnya dan mengapa juga kepikiran harus mengakhirinya?
Dulu sekali, sebelum ada Facebook. Ada situs atau blog pengarsipan cerpen-cerpen yang dimuat di pelbagai media massa di Indonesia, bernama Sriti.com. Namun setelah menerbitkan kumpulan cerpen pilihan Sriti.com berjudul “Bob Marley dan 11 Cerpen Pilihan Sriti.com” pada 2009, situs ini berhenti dan tutup permanen. Banyak penulis yang kehilangan informasi perihal pemuatan karya cerpen khususnya. Secara pribadi saya berniat meneruskan tradisi memberikan informasi pemuatan karya ini (cerpen dan puisi), lantas saya mulai berlangganan kurang lebih 11 koran cetak dan dengan sukarela saya mulai update di status laman FB pribadi saya informasi pemuatan karya hingga 2013.
Nah, ada titik di mana saya pun akhirnya mengakhiri sesuatu yang sudah saya rintis sendiri, dikarenakan kesibukan dengan profesi saya sebagai praktisi di dunia F&B.
Lantas di tahun yang sama (2013), beberapa teman penulis menginformasikan ke saya bahwa mereka telah membuat Grup FB bernama Sastra Minggu untuk melanjutkan tradisi memberikan informasi pemuatan karya, sehingga saya tidak perlu bersusah payah sendirian untuk menginformasi di laman FB pribadi. Saya setuju, lantas kami para admin secara kolektif menjalankan Grup FB Sastra Minggu ini. Hingga akhirnya, saya pun ditinggal sendirian untuk mengelola Grup FB Sastra Minggu, hingga saya putuskan berhenti.
Kenapa saya memutuskan untuk berhenti? Karena saya pikir, masa kini sudah tidak relevan lagi informasi yang berasal dari Grup FB Sastra Minggu itu. Banyak koran cetak yang tidak terbit lagi, diganti media digital yang memudahkan penulis atau siapa pun untuk mendapatkan informasi langsung. Dulu, jumlah visit ke grup mencapai puluhan ribu, like ribuan dan komen ratusan. Semenjak 2024 hingga 2025, grup itu hanya dikunjungi oleh ratusan anggota dan hanya puluhan yang meninggalkan komen. Yang membuat saya malas untuk melanjutkan, karena para penulis yang karyanya dimuat di media massa juga, tidak lagi sengaja dan sukarela dengan senang hati menginformasikan sendiri ke grup. Mereka lebih suka berselebrasi sendiri di laman FB, IG, dan status WA masing-masing. Padahal, kegairahan Grup FB Sastra Minggu adalah keriangan, kebahagiaan, dan kesenangan kolektif pada saat ada karya siapa pun yang dimuat. Bagi saya pribadi, membiru-birukan nama penulis yang karyanya dimuat juga merupakan kebahagiaan tersendiri sebagai si penyampai kabar. Tapi, itu dulu. Sekarang tidak lagi. Maka, dengan tanpa banyak berpikir saya berhenti. Grup itu akan tetap ada, sampai mungkin salah satu admin menutupnya secara permanen.
___________
5. Pertanyaan terakhir, bagaimana sih tanggapan Mas Bamby terhadap dunia kepenulisan hari ini, dunia sastrawan hari ini, dan dunia media sastra hari ini?
Secara teori dan teknis, dunia sastra hari ini makin berkembang dan selalu ada hal-hal baru. Akan tetapi, dunia sastra hari ini, euforianya hanya bisa dirasakan oleh pelaku debut. Atau para penulis yang tetap memelihara euforia itu dengan segenap hatinya. Tidak ada lagi yang menarik dari komunitas-komunitas sastra hari ini, yang isinya ya dia lagi, mereka lagi. Para sastrawan asyik dengan lingkarannya masing-masing, atau dunianya sendiri. Media sastra juga makin ke sini, makin sepi dan miskin. Banyak yang tutup, tidak terbit, lantas hilang begitu saja. Buku yang terbit tetap banyak, namun minat pembeli makin merosot. Penulis harus berjibaku sendiri untuk menjadi sales dari komoditas yang ia ciptakan. Laku syukur, tidak laku tidak apa-apa, yang penting sudah ada batu prasasti karya berupa buku. Tapi itu tidak salah. Mungkin yang salah pemerintah yang hingga kini kepedulian terhadap sastra dan sastrawan hanya mereka ingat ketika kampanye politik saja. Habis itu sastra dan sastrawan bergelut dengan dirinya sendiri.
_________
Tukang nanya: Encep Abdullah