Saturday, October 25, 2025

Resensi Kabut | Makanan dan Kemenangan

Oleh Kabut



Pengetahuan anak dan remaja tentang makanan teruji melalui kebijakan pemerintah yang mengadakan makanan di sekolah. Makanan itu dicap bergizi sekaligus gratis. Yang suka berpikir keras boleh protes untuk arti gizi dan gratis. Hari-harinya akan murung. Yakinlah ia susah tidur dan tidak doyan makan. Yang dipikirkannya berkaitan dengan Prabowo Subianto, keracunan, dapur, harga, dan lain-lain.


Bagaimana yang menyantap makanan itu bertambah pengetahuan? Tanyakan saja kepada para menteri atau pejabat. Beberapa hari lalu, ada yang tegas mengatakan makanan di sekolah meningkatkan pengetahuan matematika dan bahasa Inggris. Apakah kita percaya sambil merem? Ada lagi pernyataan-pernyataan penting dari para pejabat yang justru tidak membuat anak dan remaja tekun belajar tentang makanan. Yang menyimak pidato Prabowo Subianto dalam renungan setahun berkuasa, masalah makanan itu mendapat pujian dan tepuk tangan. Kita yang menonton di televisi cuma termangu tanpa ada gairah berdebat, berharap dapat menikmati sepiring mi instan mumpung hari-hari yang hujan. 


Yang pernah berdebat makanan adalah Ningsih dan Karti. Mereka ikut lomba memasak di sekolah. Persaingan sengit terjadi yang menimbulkan gosip. Ningsih merasa bakal menjadi pemenang. Ia telah mengikuti kusus memasak di kota, yang artinya ilmunya bakal lebih dibandingkan muri-murid lain. Lomba dilakukan secara kelompok.


“Yang dinilai selain kelezatan juga faktor biaya dan kebersihan,” keterangan dari penyelenggara lomba. Murid-murid diajak bersemangat dengan iming-iming hadiah: “Bagi yang menang, bisa ikut perlombaan seluruh keresidenan dan buku-buku gratis. Buku pelajaran dan buku tulis.” Perhatikan hadiahnya adalah buku. Apakah murid-murid tertarik? Mereka tetap ingin menang meski hadiahnya malah bikin “beban” belajar rasanya bertambah. Mengapa hadiah bukan yang enak atau rupiah?


Akhirnya, lomba diadakan bikin berdebar-debar. Pengumuman disampaikan, yang menang adalah Karti dan teman-teman. Ningsih yang yakin menang terbukti kalah. Protes dan pembelaan terjadi dalam penentuan kemenangan. Penjelasan dari juri menjawab protes Ningsih: “Dengan seratus lima puluh rupiah, kau hanya mampu menghidangkan bakso. Sedangkan, Karti bisa menghidangkan sayur lodeh, tempe, tahu, dan daging goreng, lengkap dengan sambalnya. Hanya seratus tiga puluh rupiah. Bahkan, yang dua puluh rupiah bisa untuk membeli kerupuk, yang memang tepat untuk sayur ini.”


Yang kita baca, sayur lodeh mengalahan bakso. Juri tidak bercerita kandungan gizi. Makanan itu tidak gratis. Duit harus dikeluarkan untuk berbelanja macam-macam. Kemenangan sayur lodeh mungkin memicu penasaran murid-murid belajar tentang makanan atau sayuran. 


Kita sedang masuk dalam cerita gubahan Arswendo Atmowiloto yang berjudul “Juara Masak Tak Terkalahkan”, yang terdapat dalam buku Pesta Jangkrik. Buku diterbitkan oleh Astant, 1978. Cerita yang cukup menimbulkan senyum saat kita ikut berpikiran kebijakan makanan di sekolah di seantero Indonesia, yang “makan” anggaran triliunan rupiah. Kita pilih baca cerita saja, tidak mau debat melawan pejabat-pejabat yang membawa setumpuk kebenaran atas nama Indonesia.


Buku yang bakal bikin gemas anak-anak hari ini andai mau membacanya. Arswendo Atmowilotio mahir bercerita, yang membuat anak-anak tidak harus kepikiran dalil-dalil moral. Sejak dulu, cerita anak di Indonesia keterlaluan dinilai memakai patokan-patokan moral. 


Arswendo Atmowiloto mengajukan cerita yang berjudul “Otak Ayam Goreng; Asyik!” Di keluarga sederhana, anak-anak ingin memelihara ayam. Maka, orangtua yang bijak merestui meski hanya mampu membeli seekor ayam. Padahal, yang minta adalah dua anak.


Cerita yang sangat penting dibaca anak-anak abad XXI. Mereka tahunya makan ayam goreng di restoran terkenal. Di rumah, mereka doyan makan jika lauknya daging atau telur. Pada saat ibu menganjurkan mereka makan sayur malah diam, kabur, atau membuat sejuta alasan. Ayam itu tema yang mengabadi bagi anak-anak, yang mudah dijerat industri makanan dengan merek-merek terkenal.


Arswendo Atmowiloto tidak sedang bercerita industri makanan ayam di Indonesia atau dunia. Ia memulai dengan anak-anak yang memelihara ayam: “Kakak beradik itu sangat rukun. Pagi-pagi sekali, Mi mengeluarkan ayam itu dari kurungan. Lalu, memberi makan dari sisa-sisa yang sengaja disisihkan. Ketika Mi berangkat sekolah, Yah yang ganti mengurus. Mengawasi, mencarikan makanan… Tak ada gunaya dilarang karena Yah sangat senang mengawasi ayamnya. Seperti juga Mi, kakanya yang duduk di kelas satu. Sehari-hari tak ada yang diceritakan selain tentang ayam. Hari ini makan cacing. Kemarin, berhantam dengan ayam tetangga, dan kalah. Lalu, kenakalannya ketika membuang kotoran dalam rumah, suka naik meja.”


Bayangkan, kegembiraan anak-anak memelihara ayam! Mereka bukan yang menuntut setiap hari harus tersaji daging atau telur ayam di meja. Anak-anak dalam keluarga sederhana. Makanan itu tidak tiba-tiba ada sesuai keinginan atau selera yang sedang dibicarakan di sekolah. Tugas sebagai pemelihara ayam memicu tanggung jawab, gembira, dan tantangan. 


Namun, ayam itu perlahan menimbulkan perbedaan pendapat dan pertengkaran. Satu ayam dimiliki dua anak memicu gagasan keadilan. Dua anak ingin duluan dan paling banyak untuk menikmati telur atau daging. Yang diceritakan Arswendo Atmowiloto: “Suasana menjadi tidak sehat. Saling curiga-mencurigai. Persoalan kecil mampu meledakkan keributan dalam rumah. Kemarahan ayah dan ibu, tak banyak menolong. Keributan masih terus terjadi. Suasana menjadi kacau…”


Penyelamat situasi yang kacau adalah Karti. Ia paham yang diinginkan adik-adiknya. Mi dan Yah diajak makan bareng setelah Karti datang membawa bungkusan yang mengobarkan selera. Yang bisa dibayangkan pembaca: “Baunya memang luar biasa. Rasa ayam goreng yang sedap. Yah segera mengambil piring dan nasi. Bau itu masih terus tersebar. Hingga Mi yang paling bersikeras terjerat keinginanya.”


Ketenangan dan perdamaian ingin tercipta. Kartin harus segera memberi jawaban terbaik agar adik-adiknya tidak bertengkar sampai kiamat. Pembaca diajak melihat pemandangan yang mengharukan. Dua anak itu berdamai dengan makan bareng, mengikuti petunjuk Karti. Arwendo Atmowiloto sengaja menyentuh perasaan pembaca: “Karti mengiris bagian demi bagian dengan sangat hati-hati. Maklum otak ayam goreng. Sesuatu yang kelewat mahal. Dan, itulah untuk pertama kalinya mereka makan. Selama ini hanya cerita saja.” Keluarga itu jarang menikmati makanan yang lezat tapi memiliki usaha mengadakan makanan yang bergizi, yang tidak harus gratis.


Yang seru adalah ulah Karti. Pembaca dikagetkan oleh siasat Karti. Ia mampu menyelesaikan masalah secara lucu tapi bijak. Yang disampaikan Karti kepada ibu yang penasaran tentang pemerolehan otak ayam goreng, yang harganya mahal: “Itu hanya tahu biasa. Hanya saja digoreng dengan minyak yang tadinya untuk menggoreng daging ayam. Aku pergi ke warung yang terkenal itu. Aku numpang menggoreng tahu.” Karti tidak punya uang untuk beli makanan yang mahal tapi mengetahui penciptaan selera. Ulah itu demi perdamaian adik-adiknya.


Kita memang tidak memilih cerita “Pesta Jangkrik” yang dijadikan judul buku. Berimajinasi sayur lodeh dan tahun yang digoreng dengan rasa ayam itu membuat kita dibujuk belajar lagi tentang pangan. Siapa mengetahui kebenaran dan dampak makanan bergizi yang disajikan di sekolah, masa sekarang? 


Arswendo Atwiwoloto sempat bercerita makanan berlatar sekolah dan rumah. Ia tidak meramal bahwa pemerintah di Indonesia membuat kebijakan besar bertema makanan di sekolah. Kita yang tidak mau pusing memikirkan kebijakan pemerintah dapat keseruan saat membaca cerita-cerita Arswendo Atmowiloto.

_________


Penulis

Kabut, penulis lepas.


redaksingewiyak@gmail.com