Oleh Mela Sri Ayuni
“Kapan nyusul?”
Itulah pertanyaan keramat yang sering orang-orang tanyakan kepada saya. Mereka melontarkannya dengan wajah penuh absurditas. Seperti meledek, tapi untungnya saya tidak mudah baper. Saking akrabnya dengan pertanyaan semodel itu, anggap saja angin lewat.
Di usia kepala dua saat ini memang sedang rawan-rawannya menjalani hidup. Rawan ditanya “kapan lulus”, “kapan nikah”, “kapan jadi PNS”, dan “kapan lainnya”. Baik buruknya hidup dinilai sekaligus, seolah-olah tidak boleh gagal dalam pencapaian. Kalau berhasil jadi buah bibir, kalau gagal—sama saja. Tidak ada bedanya. Saya merespons dengan wajah datar, walau sebetulnya selalu berhasil bikin mikir: mikir mau jawab jujur atau bohong. Di sisi lain belum siap, dan bisa jadi juga belum mempersiapkan.
Berbicara mengenai pencapaian—baik itu dalam prestasi, karier, maupun pernikahan—anak muda ingin menjalani roda kehidupan dengan selow. Orang-orang masa kini menyebutnya aliran stoikisme. Paham ini mengajarkan pengendalian diri, kebahagiaan, dan cara mengelola stres dalam menjalani hidup.
Di lingkungan masyarakat, seseorang bisa dikatakan ideal apabila ia sudah percaya diri dalam menjawab berbagai pertanyaan. Salah satunya mengenai pertanyaan “kapan nikah”. Seperti yang dilansir dari kumparan.com, pernikahan di Indonesia mencapai tingkat terendah dalam satu dekade terakhir.
Saya sebagai salah satu anak muda yang berkontribusi dalam prestasi negeri ini hanya bisa tersenyum tipis. Tidak bisa berkata banyak. Cemas dan canggung dalam mengekspresikannya. Ditambah beberapa waktu lalu, saya menemukan celotehan dari seorang bapak penghulu KUA di Instagram:
“Anak kelahiran 1995 sampai 2004, kapan kalian menikah? Jangan asyik sendiri! Dari kemarin yang daftar anak kelahiran 2005 terus.”
Bapak, Ibu, Om, Tante, bukannya kami tidak ingin menyegerakan niat baik, tetapi realitanya banyak pasangan yang justru menginspirasi kami untuk sendiri sedikit lagi. Pertumbuhan angka kawin-cerai yang semakin marak, serta kehidupan pascamenikah yang jauh dari ekspektasi. Maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, krisis ekonomi keluarga, dan perbedaan pola pikir yang bikin selisih, membuat kami malas memikirkan pasangan, apalagi menikah.
Apesnya, pada tahun 2022 lalu, saya menginjakkan kaki pertama kali ke Pengadilan Agama Kelas 1A Kota Serang. Niat hati sekadar observasi untuk merampungkan tugas kuliah, tetapi malah bikin saya syok. Saat itu, ada sepasang suami-istri muda menjalani sidang, ditemani kuasa hukum masing-masing. Sebelum dimulai, hakim memberikan pilihan kepada pemohon agar sidang dilaksanakan secara tertutup atau terbuka. Tak lama, pemohon memilih untuk sidang terbuka.
Setelahnya, apa yang terjadi? Seorang suami menjatuhkan ikrar talak di bawah kitab suci Al-Qur’an kepada istrinya. Lalu dikabulkan oleh hakim.
“Hore!” ungkap si suami dengan gembira, ditemani beberapa anggota keluarganya. Mereka terlihat bahagia.
Selang sepersekian detik, istri sah itu kini berubah status menjadi mantan istri. Ia hanya mengelap pipinya. Uniknya, dalam kasus ini si suami mengizinkan sidang dilaksanakan secara terbuka dan dibuka untuk umum. Padahal ini perkara intim. Bisa saja sidang dilaksanakan secara tertutup. Tentu hal ini membuat hati saya semakin mantap menjomlo sedikit lagi. Saya yakin kasus perceraian ini tidak dilatarbelakangi faktor ekonomi. Mereka berasal dari keluarga kelas menengah atas. Hal itu terlihat dari termohon yang menuntut haknya senilai 40 juta rupiah.
Pernikahan bukan hanya tentang komitmen dengan seseorang, tetapi juga komitmen atau perjanjian agung antara seseorang dengan Tuhannya. Ijab kabul yang diucapkan disaksikan dan dicatat langsung oleh malaikat. Tidak sembarangan. Dengan menikah berarti kita sudah siap menambah prioritas baru—dan masalah baru. Kalau belum siap, jangan ke KUA. Sabar dulu. Kalau ujung-ujungnya akan memenuhi Pengadilan Agama, lebih baik pikirkan matang-matang.
Perlu banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum menikah. Kalau perlu, buat perjanjian pranikah dengan calon pasangan untuk meminimalisasi distraksi dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Konsekuensinya bukan hanya di dunia, melainkan juga di akhirat.
Karena itu, pernikahan merupakan salah satu ibadah terpanjang yang dijalani kaum Muslim. Maka, supaya ibadahnya khusyuk, jangan terburu-buru. Lagian, memang mencari pasangan semudah itu, verguso? “Cinta tak selamanya indah, Dek.”
Perlu disiapkan beberapa kriteria agar pernikahan sampai ke surga-Nya. Seperti yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad saw., sebelum menikah umatnya harus mempertimbangkan empat hal:
Hartanya,
Keturunannya,
Parasnya, dan
Agamanya.
Namun dari keempat kriteria itu, Nabi menganjurkan untuk memilih yang terakhir, yaitu agamanya. Maka kita sebagai pengikut beliau akan beruntung.
“Hak nikah ada di tangan perempuan,” itulah sepenggal ucapan dari Habib Husein Ja’far yang saya setujui. Apabila hak nikah ada di tangan istri, maka hak cerai ada di tangan suami.
“Gak kebayang kalau hak cerai ada di tangan istri. Bisa-bisa dunia ini isinya duda semua,” ujar Nopi, teman saya sewaktu kami ngobrol random.
Perempuan saat ini banyak yang memilih untuk menunda pernikahan. Seperti kata adik perempuan saya,
“Gak mau nikah dulu. Pengen kerja dulu, beli barang kesukaan, dan main yang jauh.”
Stereotip “perempuan di rumah saja” eksistensinya mulai pudar. Perempuan kini lebih bebas menghirup udara segar, semakin ramai memaksimalkan potensi diri—terutama di dunia kerja. Faktanya, memang generasi muda saat ini lebih bergairah mencari uang daripada disuruh menikah. Haha. Berbondong-bondong menciptakan kebahagiaan di atas uang sendiri. Ini seru.
Tetapi masyarakat tak perlu cemas. Walau angka pernikahan di Indonesia menurun, fenomena ini terjadi karena adanya perubahan pola pikir manusia, yang merupakan hasil alami dari pembelajaran seseorang. Pemerintah—siap tidak siap—harus siap menerima keputusan ini. Kalau dibandingkan dengan negara Barat, fenomena ini bukan hal luar biasa. Sudah biasa.
Ditambah lagi dengan adanya Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945:
“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”
Jadi, sekali lagi, menikah itu hak, bukan kewajiban. Sebagai warga negara, memiliki hak berarti boleh digunakan atau tidak digunakan, dan itu tidak akan jadi masalah. Tidak akan ada sanksi khusus dari lembaga apa pun. Karena ini bukan kewajiban.
Undang-Undang mendahului pola pikir generasi muda—jadi semakin santuy. Bisa dilihat dari gaya hidup anak muda sekarang yang lebih asyik sendiri sambil menikmati setiap proses kehidupan, mengeksplor dunia tanpa batas, dan menciptakan berbagai inovasi.
Tenang saja, Pak Penghulu. Kami akan menikah apabila sudah siap secara spiritual, emosional, finansial, dan... atau bahkan tidak mendaftar sama sekali. Jadi, daripada banyak tanya “kapan nikah?”, mending pastikan saja dulu kehadiranmu di pernikahan saya.
________
Penulis
Mela Sri Ayuni, penulis lepas.
redaksingewiyak@gmail.com