Oleh Kabut
Yang bermukim atau bekerja di Jakarta mengetahui sosok penting yang bernama Rano Karno. Dulu, ia adalah artis. Pada masa sekarang, ia menjadi manusia-politik. Sebelum sibuk berpolitik, ia membuat tontotan yang berkesan dan teringat jutaan orang. Ia membuat serial Si Dul Anak Sekolahan yang menokohkan Dul. Serial yang panjang, yang dinantikan banyak penonton. Pada saat diputar ulang, penontonya terus bertambah. Rano Karno merasa belum cukup. Ia membuat film. Orang-orang yang ingin mengetahui nasib dan asmara Dul diajak duduk di gedung bioskop, melihat para tokoh yang menguras emosi.
Tontonan tidak dimaksudkan sebagai hiburan atau pengajaran bagi anak-anak. Yang menonton adalah kaum dewasa. Masalah-masalah yang diadakan dalam cerita sering berat meski berbumbu lucu. Para remaja mungkin menyukai dan mengerti, yang condong menganggapnya sebagai hiburan. Apakah anak-anak SD menonton Dul di televisi? Mereka kadang ikut menonton Bersama orang tua. Yang jelas, serial itu jarang menghadirkan tokoh anak-anak, yang memiliki peran besar atau penting. Yang terbanyak adalah tokoh-tokoh yang dewasa. Jadi, yang mengingat Dul sebagai tontonan itu berada dalam jagat dewasa.
Kini, Rano Karno yang kadang disebut Bang Dul itu bertambah tua. Tubuhnya sudah gemuk. Ia adalah pemimpin. Di keseharian, ia bukan Dul dalam sinetron atau film. Ia pun bukan Dul dalam cerita anak yang digubah Aman Datuk Madjoindo. Pada awalnya, novel tipis itu terbit pada 1932, berjudul Si Doel Anak Betawi. Novel yang hadir saat orang-orang berdebat kekuatan para pengarang bercap Balai Poestaka dan Poedjangga Baroe. Sastra anak sedang bertumbuh tapi kurang perhatian. Novel bertokoh Doel itu muncul mendapat beragam tanggapan, yang memungkinkan sastra anak berada dalam arus yang cukup besar.
Pada suatu masa, novel yang diterbitkan Balai Pustaka itu sering cetak ulang. Namun, judulnya berubah menjadi Si Dul Anak Jakarta. Nama pengarang kadang hanya ditulis Aman. Nama pengarang tidak mengesankan sebagai tokoh Betawi. Ia berasal dari Betawi tapi mengisahkan anak dan dunianya di Betawi. Apakah citarasa Betawi bakal mengental atau tempelan saja? Maka, penyebutan tokoh berubah ejaan: Doel menjadi Dul.
Pada 1994, novel mengalami cetak ulang ke-14. Kita menganggap itu agak bermasalah. Seharusnya, bisa cetak ulang ke-50 bila memikirkan ketersediaan bacaan di ribuan sekolah di seantero Indonesia. Novel yang tidak sekadar dibaca anak-anak yang berada di Jakarta. Anak-anak di pelbagai desa dan kota berhak membacanya sambil belajar tentang Betawi (Jakarta).
Pihak penerbit (Balai Pustaka) memberi keterangan: “Buku yang kami sajikan kali ini mengandung tema yang agak lain, yakni cerita yang penuh kejenakaan. Aman Dt Modjoindo menggambarkan Si Dul Anak Jakarta dengan gaya bahasa yang lincah dan segar. Sengaja dituliskan lewat dialek-dialek Betawi atau Jakarta dengan maksud agar dikenal juga gaya bahasa kota tersebut oleh masyarakat di daerah lain.” Kita perhatikan penulisan nama pengarang. Balai Pustaka menulis “Modjoindo”. Para pembaca mengenalinya “Madjoindo”. Mana yang benar?
Apa yang berbeda dari cerita yang terbit pada masa 1930-an dan saat terbaca masa 1990-an, berlanjut diolah menjadi tontonan? Kita bukan peneliti yang melakukan kesibukan menemukan bukti dan menyusun argumentasi. Yang membingungkan, banyak orang mengingat Dul itu Rano Karno. Judul yang akrab dengan jutaan orang adalah Si Dul Anak Sekolahan, bukan Si Dul Anak Jakarta atau Si Dul Anak Betawi.
Pada abad XXI, anak-anak mungkin kesusahan bila diminta membaca Si Dul Anak Jakarta. Mereka akan terpaksa membacanya jika menteri benar-benar mewajibkan murid membaca buku dan meresensinya. Beberapa hari yang lalu, menteri mengatakan membaca dan meresensi buku dalam acara yang diadakan oleh Ikapi, organisasi yang berurusan dengan penerbitan buku.
Kita mengutip kejadian-kejadian yang dialami Dul dalam kehidupan sehari-hari. Kita jangan terlalu mengharapkan pengarang memunculkan tokoh yang sempurna. Yang terbaca adalah anak-anak yang boleh nakal, berbohong, sembrono, curang, sopan, dan lain-lain.
Aman mengisahkan: “Sapii membulatkan tinjunya, lalu ditinjunya rumpun telinga si Dul dengan sekeras-kerasnya. Si Dul menundukkan kepalanya, sehingga ia terluput dari tinju Sapii yang pertama itu. Sapii mau mengulang sekali lagi, tetapi si Dul sudah mendahului meninju perut lawannya. Sapii terdorong ke belakang, mukanya meringis-ringis seperti orang sakit perut.” Dunia anak-anak yang lumrah terlibat dalam pertengkaran. Anak-anak yang berkelahi biasanya menjadi tontonan teman-temannya. Peristiwa itu mirip hiburan, yang menimbulkan sakit atau luka. Yang kalah atau tidak terima bakal mendendam.
Siapa anak yang disebut Dul dalam pengenalan para pembaca: “Tentang berkelahi, si Dul jangan ditanya lagi, memang kesukaannya berkelahi itu, lagi berani dan tak mau kalah. Menangis sekali-kali ia tiada mau. Betapa pun keras tinju lawannya, belum pernah ia menangis. Hanya kalau berhadapan dengan jari ibunya yang halus-halus itu, yang acap kali bermain di paha atau rusuknya, atau centil bapaknya yang menyinggung daun telinganya, barulah mengalir air mata simpanan.” Anak yang tidak gampang menangis di hadapan teman-teman atau “musuh”. Ia di rumah tetap anak yang diharuskan patuh dan memiliki ketakutan kepada orangtua.
Si Dul, anak yang suka bikin masalah akhirnya diajak masuk ke sekolah. Anak itu memiliki beragam bayangan, yang bikin bimbang atau senang. Maka, pengisahan si Dul sebagai anak sekolahan oleh Rano Karno dalam masa yang berbeda memang menampilkan dampak modernitas. Pendidikan itu penting. Orang-orang memahami bahwa anak yang belajar di sekolah dan tamat akan mudah mendapatkan pekerjaan. Masa depannya pasti berbeda dengan orangtua yang tidak pernah sekolah.
Yang ditulis dalam novel: “Mereka pun tidurlah. Tetapi si Dul tak lekas tertidur karena pikirannya melayang-layang kepada pakaian dan topi padpinder dan sekolah yang akan dimasukinya itu. Bermacam-macamlah nanti yang akan dibuatnya jika ia sudah masuk di sana. Semua angan-angan itu yang akan menggirangkan hati belaka. Setelah penat berangan-angan, akhirnya tertidurlah ia. Si Dul masuk sekolah. Tetapi sekolahnya luar biasa. Ia diajar hanya berlari, melompat, memanjat dan berbaris… “ Yang dialami oleh si Dul itu dalam mimpi, bukan kenyataan saat ia berada di sekolah.
Pada akhirnya, Dul membuktikan senangnya berada di sekolah. Ia belum menyadari tentang kebijakan pemerintah kolonial, impian kalangan pergerakan politik kebangsaan, dan perkumpulan yang berdakwah. Sekolah itu “berkah” di tanah jajahan yang ingin “madjoe” atau mendapatkan kemerdekaan. Dul yang belajar di sekolah tidak perlu berpikir macam-macam mengenai babak sejarah di Indonesia.
Yang terjadi: “Demikianlah si Dul bersekolah makin sehari makin terasa enaknya. Dan, dia pun makin rajin belajar. Apalagi dia sudah mulai diajar bermain-main baris dan melompat-lompat, yang sangat disukainya itu.” Dul, tokoh dalam novel gubahan Aman, tidak mengetahui adanya Dul dalam tontonan di televisi dan bioskop. Yakinlah bahwa cuma sedikit orang yang masih mengingat Dul dalam cerita. Buku yang masih bisa diperoleh dan dibaca tapi kurang diminati anak-anak di seantero Indonesia, yang membutuhkan hiburan mutakhir atau bacaan menghibur sesuai zamannya.
________
Penulis
Kabut, penulis lepas.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com
