Saturday, November 8, 2025

Resensi Kabut | Kematian dan Kemakmuran

Oleh Kabut



Anak yang membaca cerita boleh menuntut atau meminta keajaiban-keajaiban. Yang membaca cerita tidak ingin sia-sia. Waktu yang digunakan untuk membuka lembaran-lembaran sampai cerita tamat diharapkan menimbulkan kesan yang tidak hanya sekejap. Maka, anak yang membaca cerita sebenarnya memiliki kepentingan-kepentingan yang semestinya bisa dipenuhi pengarang.


Pada saat membaca fabel, anak-anak mengerti bahwa para binatang dapat bicara dan bertingkah seperti manusia. Anak-anak tidak cukup hanya dengan fabel. Mereka pun bisa berharap membaca cerita, yang menunjukkan mobil, pohon, batu, atau sepatu bisa bicara. Pokoknya, yang ajaib-ajaib dalam cerita itu menghibur anak-anak. Ajaib bukan cuma makhluk atau benda yang bisa bicara. 


Pada akhirnya, yang diminati anak-anak adalah buku-buku yang biasanya dicap fantasi. Kini, banyak terbitan buku fantasi edisi terjemahan bahasa Indonesia yang sangat disukai anak-anak di Indonesia. Buku-buku itu tebal, 500-700 halaman. Anak-anak mampu melahapnya tanpa keluhan. Mereka jarang kecewa asal yang dibaca adalah novel fantasi dari Eropa atau Amerika Serikat. 


Apakah buku tipis masih diminati anak-anak? Yang masih berada di kelas-kelas awal SD tetap membutuhkan bacaan yang tipis-tipis saja. Mereka jangan sampai kelelahan hanya untuk merampungkan buku 500-an halaman. Yang terpenting mereka masih suka membaca. Berharap saat membaca mereka menemukan keajaiban-keajaiban, yang nantinya menimbulkan keinginan terus membaca buku cerita meski selalu tersiksa oleh buku-buku pelajaran yang harus dibuka setiap hari di sekolah.


Dulu, ada buku yang sedikit memuat keajaiban. Bukunya tipis saja tapi bergambar. Kita membayangkan yang membaca adalah anak-anak berseragam merah dan putih. Buku memanjang, yang mudah dibuka anak-anak saat mau menikmati gambar-gambar. Yang diinginkan gambar dengan beragam warna tapi yang tersaji cuma hitam dan putih. 


Buku itu berjudul Pengorbanan Sang Gajah yang digarap oleh Suyono HR dan Ambar. Kita menduga perannya adalah penulis dan ilustrator. Di buku, hanya pencantuman nama tanpa penjelasan. Buku yang tipis diterbitkan Yayasan Kawanku, 1976. Pada masa lalu, anak-anak suka membaca majalah Kawanku, selain Bobo. Majalah untuk anak berkembang pesat pada masa Orde Baru. Kawanku itu majalah yang turut memberi cerita-cerita kepada anak-anak. Jadi, yang membaca Pengorbanan Sang Gajah sebenarnya diajak pula meminati majalah Kawanku. Majalah terbit rutin didukung penerbitan buku-buku membuktikan pemenuhan hak anak dalam bacaan.


Apakah cerita mengenai gajah dipastikan istimewa? Di dongeng-dongeng atau cerita lisan, gajah sudah sering muncul. Di Nusantara, gajah adalah binatang yang ikut menggerakkan sejarah dan mencipta imajinasi yang memukau, sejak berabad-abad yang lalu. Gajah akhirnya menjadi simbol atau pesan yang terwariskan sampai sekarang. 


Pembuka yang lazim: “Pada zaman dahulu, di sebuah hutan, hiduplah seekor gajah… Gajah itu sangat baik hati. Tidak jarang dia memberikan makanan kepada binatang-binatang lain yang kelaparan. Memberikan pertolongan kepada mereka yang menderita kecelakaan dan kesusahan.” Yang ditampilkan awal sebenarnya kondisi fisik gajah. Selanjutnya, pengenalan tentang kebaikan-kebaikan gajah. 


Anak yang membaca terlalu cepat mengerti bahwa gajah itu baik. Di televisi, anak mungkin sempat melihat berita di pelbagai tempat bahwa gajah masuk ke permukiman warna. Gajah merusak lahan pertanian dan rumah. Berita yang menyedihkan. Anak mulai belajar bahwa kehidupan gajah di hutan sudah terlalu diganggu oleh manusia yang mata duitan. Akibatnya, gajah bisa marah.


Ada lagi berita yang membuat anak-anak sedih dan menangis. Perburuan gajah terjadi di pelbagai negara, terutama di Afrika. Yang diincar adalah gading. Konon, harga jual gading itu sangat mahal. Gajah pun mati oleh orang-orang yang kejam dan mata duitan. 


Di lembaran buku yang terbuka, anak percaya bahwa gajah itu baik. Hal itu dapat disokong dengan menonton film-film bertokoh gajah, yang dibuat di Eropa dan Amerika Serikat. Anak-anak Indonesia menonton saja untuk hiburan atau belajar pengetahuan yang bersumber gajah.


Di cerita, gajah hidup di tempat yang terbaik. Bayangkan saja: “Tempat tinggal gajah itu, daerah yang subur. Ada sebuah perigi di kaki bukit, yang airnya jernih dan melimpah. Banyak pohon buah-buahan, seperti manga, durian, rambutan, salak, jeruk, pisang, dan lain-lainnya. Selain pohon buah-buahan, di sana tumbuh pula bunga-bunga, seperti kenanga, mawar, melati, kana, dahlia, dan sebagainya.” Tempat yang indah. Anak-anak ingin mendatanginya untuk melihat pemandangan indah dan bermain bersama gajah. Anehnya, gajah itu sendiri. Ia tidak punya bapak, ibu, anak, atau saudara. Namun, ia memiliki teman-teman yakni binatang-binatang penghuni hutan.


Di lembaran-lembaran berikutnya, anak-anak mulai dibuat agak bingung dengan tingkah gajah. Ia menempuh perjalanan jauh, sendirian. Pengarang pun berlebihan dalam mengisahkan perjalanan: “Dia keluar hutan masuk hutan. Menyeberangi sungai-sungai yang dalam dan deras. Melewati lereng-lereng bukit, tebing-tebing yang curam dan lembah-lembah yang berbatu. Setelah melewati padang ilalang yang luas, tibalah dia di sebuah desa yang sangat terpencil letaknya.” Apa yang gajah inginkan dengan menempuh perjalanan dan sampai ke desa? Padahal, ia hidup di tempat indah dan makmur yang bikin betah.


Pengarang sedikit mengadakan teka-teki. Anak-anak yang membaca cerita tidak perlu pusing dengan teka-teki yang dibuat pengarang. Yang jelas, anak-anak belum mendapat keajaiban. Cerita bisa saja cepat membosankan, yang dibuktikan dengan anak-anak menutup buku. Mereka memilih bermain di pekarangan atau jalan ketimbang menyelesaikan Pengorbanan Sang Gajah.


Di desa, gajah sedih melihat rumah-rumah yang mau roboh. Kondisi para warga pun miskin. Mengapa gajah sampai di desa dan prihatin? Orang dewasa yang pembaca agak mengerti telah terjadi seruan pemerintah, yang bertujuan pengentasan atau pemberantasan kemiskinan. Selama berkuasa, Soeharto tidak ingin Orde Baru dinodai oleh kemiskinan atau kekurangan pangan. Maka, ia sering berpidato dan memberi perintah agar Indonesia bebas dari kemiskinan. Namun, anak yang membaca cerita tidak usah berpikiran terlalu jauh atau kritis. Pembaca dewasa boleh menganggap gajah itu menunaikan misi sesuai pemerintah.


Yang dipikirkan gajah: “Bagaimana caranya agar para penduduk di desa yang miskin itu mau pindah ke daerahku yang subur membuka hutan?” Yang menjadi masalah besar masa Orde Baru adalah urbanisasi dan transmigrasi. Renungan gajah itu dekat dengan transmigrasi.


Pencarian jawaban belum selesai, tiba-tiba terjadi gempa. Nasib desa itu makin hancur. Para penduduk sengsara. Niat gajah bertambah kuat untuk membantu mereka. Akhirnya, gajah bisa bicara dengan kepala desa. Segala keluhan tentang tanah tandus, kemiskinan, dan kelaparan didengarkan gajah. Keajaiban mulai disajikan pengarang melalui gajah yang bicara: “Aku bermaksud menolong kalian semua. Desa dan harta kalian baru saja hancur dilanda gempa. Marilah, kalian pindah ke daerahku yang subur dan makmur.” 


Semua warga setuju. Mereka berpindah, menempuh perjalanan yang jauh. Mereka punya harapan sesuai yang dijelaskan gajah: “Air melimpah. Tanah di sana subur.” 


Perjalanan yang jauh mengakibatkan kehabisan bekal. Para warga lelah dan lapar, terutama anak-anak. Mengapa mereka tidak dapat menemukan makanan di tempat-tempat yang dilalui? Cerita yang aneh bila kita mengingat perjalanan gajah, dari hutan ke desa. Seharusnya, ada makanan di setiap tempat meski sedikit. Pembaca mulai tidak terima dengan cerita.


Gajah memberi jawaban yang menenangkan: “Kalian tak usah khawatir. Lihat, tak jauh dari sini ada sebuah gunung. Di kaki gunung itu terdapat telaga yang jernih airnya. Berjalanlah langsung ke sana, setelah fajar menyingsing. Kalian akan menjumpai seekor gajah. Daging gajah itu cukup untuk bekal, menuju ke tanah subur, daerah kalian yang baru.” Cerita mulai tidak menarik.


Pengarang menyatakan bahwa gajah itu mengorbankan diri dengan cara menjatuhkan diri dari ketinggian. Misinya: “Demi keselamatan orang-orang malang desa itu.” Apa yang terjadi? Anak-anak yang membaca mungkin sedih dan kecewa. Yang dilakukan para warga: “Dengan rasa hormat bercampur sedih, maka disembelihlah gajah yang terluka itu. Dagingnya mereka bagi beramai-ramai kemudian dimasaknya. Kini persediaan daging dan air cukup buat mereka. Maka, mereka pun meneruskan perjalanan, menuju ke tanah harapan.” Cerita yang keajaibannya cepat menghilang berganti sedih yang mendalam. 


Mengapa buku cerita itu diterbitkan dan mengalami cetak ulang pada 1980? Pengarang lekas saja mengakhiri cerita dengan indah, sebelum sedih selesai. Pengarang yang tergesa dan tidak mengerti perasaan anak: “Selanjutnya, mereka mendirikan rumah dan mengerjakan tanah yang subur itu menjadi sawah dan ladang. Sekarang, mereka hidup Bahagia. Cukup sandang, cukup pangan. Tak ada yang hidup kekurangan sewaktu mereka masih tinggal di desanya yang lama.” 


Tempat itu sesuai yang dijanjikan gajah, yang mati dalam pengorbanan, yang dagingnya berada dalam tubuh para warga yang memakannya. Tempat itu disebut Gajah Makmur. Namun, pembaca sulit tersenyum akibat kesedihan atas pengorbanan gajah dan para warga yang makan daging gajah.


______


Penulis


Kabut, penulis lepas.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com