Tuesday, August 31, 2021

Puisi Sulaiman Djaya | Puisi Quantum | Humor



Puisi Sulaiman Djaya

Puisi Quantum

 

Terlalu banyak teka-teki

yang tak diketahui sains di jaman ini

sebanyak kebodohan

yang diulang-ulang televisi.

 

Tak ada salahnya jika sains menjelaskan

bagaimana hujan membuat seseorang

begitu gembira dan jadi kemalangan

bagi yang lainnya.

 

Tentu sains tak bisa menjelaskan

bagaimana usia dan takdir

tak dapat dirangkum

dalam sebuah rumus matematika

 

atau diukur dengan tata-ruang

seukuran rumahmu.

Apakah rasa cinta itu energi

ataukah gejala perubahan suhu badan?

 

Itu juga tak bisa dijelaskan

oleh probabilitas kuantum

atau geometri fractal

yang kau baca di sebuah buku diktat.

 

Tetapi puisi memang sebuah kelainan

dari cara berpikir seorang pedagang.

Seperti februari yang menulis

embun-embun di saat kau tidur.

 

Bahkan sepasang matamu lebih misterius

dibanding seluk-beluk jagat-raya.

Sekali lagi bukan hukum fisika

atau mekanisme evolusi

 

para penyembah Darwin

yang membuat kuncup jadi mekar

tetapi cinta dan gairah

yang senantiasa menyala ikhlas

 

di dalam dada.

Merangkai pengetahuan

dan permainan

dengan dunia yang tanpa batas

 

dan tak perlu alat ukur atau rumus

yang tak sanggup menghitung

hitam pekat atau pirang

gugusan rambutmu itu.

 

(2015)

 


Puisi Sulaiman Djaya

Humor

 

Bersama butir-butir gula pasir kuaduk kegembiraanku

dalam segelas jus jeruk. Rasa asam dan manis

yang silih berganti di lidah seperti bahasa yang ingin sekali

menerjemahkanmu.

 

Di layar-layar televisi, para da’i lebih mirip orang-orang

yang jualan firman-firman suci

demi royalti dan biar jadi selebriti. Agama pun jadi slogan

dan tak ubahnya kemasan-kemasan iklan.

 

Jubah mereka tak berbeda dengan seragam resmi

para pekerja birokrasi di jaman komodifikasi abad ini.

Mereka hanya mengulang-ulang demi memenuhi amar produksi

para pemilik korporatokrasi.

 

Bermodalkan satu dua tiga ayat mereka pun sama-sama

ingin jadi konglomerat dengan mematuhi para korporat

dan angka-angka penyiaran. Jadi orang-orang sekular baru

yang jualan nama-nama Tuhanmu.

 

(2015)

 

Biodata Penulis

Sulaiman Djaya lahir di Serang, Banten. Menulis esai dan fiksi. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo Pos, Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Majalah TRUST, Majalah AND, Majalah Sastra Kandaga Kantor Bahasa Banten, Rakyat Sumbar, Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak, Tabloid Kaibon, Radar Banten, Kabar Banten, Banten Raya, Tangsel Pos, Majalah Banten Muda, Tabloid Cikal, Tabloid Ruang Rekonstruksi, Harian Siantar, Change Magazine, Banten Pos, Banten News, basabasi.co, biem.co, buruan.co, Dakwah NU, Satelit News, simalaba, dan lain-lain. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai dan puisinya tergabung dalam beberapa Antologi, yakni Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), Antologi Puisi Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar), Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate, Maluku Utara Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi Tahun 2012)), Kota, Kata, Kita: 44 Karya Para Pemenang Lomba Cipta Cerpen dan Puisi 2019, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Yayasan Hari Puisi, Antologi Puisi ‘NUN’ Yayasan Hari Puisi Indonesia 2015, dan lain-lain. 

2 comments