Friday, May 17, 2024

Cerpen Dody Widianto | Berapa Jarak Rindu Menuju Rumahmu?

Cerpen Dody Widianto



Rhien sering mengigit jemarinya. Selalu hingga berdarah. Jari-jari itu bagaikan sebuah masalah yang harus ia kunyah dan ia telan dalam-dalam di mulutnya. Kadang jari tengah, kadang telunjuk, kadang jari manis, kadang jempol. Namun, jarang ia menggigit jari kelingking. Seolah kelingking adalah jari istimewa yang ia khususkan untuk mengupil saja. Jemari yang terlumuri cairan pekat kemerahan itu lalu ia isap ke mulutnya dalam rasa asin yang lumer. Sedetik kemudian, suara gemuruh kepedihan di dada menurunkan gerimis dari matanya. 


“Wah, ada badak lewat. Awas nanti diseruduk,” teman-temannya terus berteriak meledek ketika Rhien melewati sekat taman menuju teras kelas. 


“Kalau kupingnya lebar sedikit sih mirip gajah. Brot-brot-gembrot. Hahaha,” yang lain menimpali lebih pedas sambil menyingkir ketika Rhien lewat. 


Sejujurnya Rhien ingin masa bodoh dengan suara-suara itu. Namun, ia seolah ingin menyalahkan takdir. Kenapa Tuhan memberikan tubuh tinggi nan gendut. Bukankah ia tak bisa memilih akan dilahirkan seperti apa? Walaupun makannya sedikit, entah kenapa perutnya tetap buncit. Rambutnya keriting mengombak ke atas. Kulitnya sawo matang. Ia pernah rebonding, tetapi berjalannya waktu, takdir alam akan kembali ke asalnya. Rambutnya tumbuh keriting lagi. Seolah tak ada hal menarik yang patut dibanggakan dari tubuhnya.


Setiap hari Rhien berusaha meredam amarahnya walau sejujurnya tak mampu. Ingin sekali ia menempeleng lagi anak-anak itu, tetapi ia sudah dipanggil dua kali guru BK. Ia selalu salah di mata orang lain. Namun, sejak pertemuannya dengan Droid, perlahan ia seolah berdamai dengan fisiknya, tak ingin mempermasalahkan tentang rambut atau tubuhnya. Teman lelaki barunya yang seumuran dengannya itu sering memboncengkannya sepulang sekolah. Dunia seolah berubah. Rhien memang tak pernah tahu di mana Droid sekolah. Tetapi ia selalu tepat waktu menunggu di seberang jalan pintu gerbang sekolah dengan seragam putih abu-abu saat ia akan pulang.


“Bagi sebagian orang kata-kata itu bercanda. Namun, bagi orang yang merasakan tentu saja kata-kata itu adalah penghinaan. Tidak ada pembalasan yang lebih tepat selain menunjukkan kelebihan yang kita punya. Pergunakan kelebihanmu itu untuk membungkam mulut mereka. Bukankah Tuhan selalu melebihkan makhluk ciptaa-Nya lalu mengurangkan di bagian yang lainnya?”


Kata-kata Droid selalu menenteramkan serupa khotbah pendeta atau ustaz. Rhien masih ingat kapan pertama kali bertemu Droid. Hari itu Rhien ingin membeli plester luka di warung sebelah sekolahnya. Dengan malu-malu Rhien menjawab jika tangannya teriris pisau saat ia praktik Biologi di laboratorium ketika mengiris daun dan batang tanaman demi mengetahui bagian setiap tumbuhan. Droid tersenyum lalu memakaikan plester itu di telunjuk Rhien saat Ibu Warung akan memberikan uang kembalian. Rhien tak mau mengaku jika ia menggigit jemari itu di kamar mandi sekolah sampai berdarah. Rasa perih di hatinya tetiba hilang saat ia bersitatap dengan lelaki yang sama gemoy dengannya. Bedanya kulit wajah Droid begitu putih bersih, punya lesung pipi, bermata sipit dengan kacamata tanpa frame. Rhien begitu terpesona. Seandainya perasaan di hatinya berbentuk benda, Rhien akan gegas memberikan rasa itu untuk Droid saat itu juga di tangannya.


Droid lelaki yang asyik. Setiap hari ia cerita tentang apa saja sepulang sekolah. Duduk di bangku alun-alun tengah kota di bawah pohon beringin. Lalu ketika udara yang sejuk hilir mudik berembus di atas mereka, raut teduh nan hijau itu pindah ke wajah Rhien. Dulu Rhien selalu menyalahkan takdir. Dari cerita Droid, betapa ia tak sendirian. Jalan hidupnya hampir sama dengan Rhien.


“Aku suka lukisan abstrak milikmu? Kamu penggemar Picasso?”


Droid mengangguk. Ke mana-mana ia selalu membawa kertas dan pensil warna-warni. Rhien tahu gambar aneh di kertas yang dipangku Droid. Garis lengkung, bundar, segitiga, titik, garis sejajar, dan objek geometri dua dimensi saling tumpah tindih berwarna-warni membentuk pola tertentu. Droid kaget, ternyata Rhien juga penyuka kubisme Picasso.


“Apa kamu masih sering menggigit jari? Kamu berbohong tentang luka itu bukan?”


Alis Rhien mengerjit. Dari mana Droid tahu? 


“Dulu, teman-temanku sering memanggilku anak haram. Kukira yang halal dan haram hanya makanan saja.”


“Bagaimana mungkin kau melakukannya? Melukai dirimu sendiri?”


“Aku sebuah daun yang tak akan pernah menangis jika lapisan kutikula dan epidermisnya kusayat-sayat. Setelahnya aku merasa lega.”


“Kamu manusia. Apakah teman-temanmu yang kurus itu pandai melukis sepertimu? Bukankah Tuhan selalu melebihkan yang lain, lalu mengurangkan di bagian lain. Itulah cara keadilan semesta bekerja.”


Rhien diam. Droid benar. Bahkan Droid yang terlahir tanpa ayah harus menanggung dua hinaan sekaligus. Rhien tak bisa membayangkan jika ia di posisinya. 


“Aku boleh main ke rumahmu?”


Droid menggeleng. Matanya tetiba memerah. Ia beranjak, berdiri dari bangku taman. Menunjuk langit di atas dengan warna yang tiba-tiba sendu. Peri-peri senja seolah sedang menumpahkan ribuan gentong berisi madu sebanyak-banyaknya di atas sana. Langit berubah jingga. Matahari di barat membulat kuning hangat.


“Ayo pulang. Sudah sore.”


Jemari tangan kanan Rhien yang penuh plester luka digenggam erat oleh Droid. Rhien merasa aneh. Genggaman tangan Droid begitu dingin dan Rhien tak merasakan sakit sedikit pun atas luka di jemarinya. Namun, Rhien merasakan kedekatan dan keeratan itu melebihi rasa segalanya. Dada Rhien bergejolak ketika Droid terus menggandeng tangan Rhien menuju parkiran. 


Droid dengan sigap mengantar Rhien. Ia menerima lipatan kertas dari Droid. Droid bilang buka di rumah saja. Di perjalanan, Rhien penasaran, tetapi angin yang kencang membuat Rhien urung ingin mengintip sedikit isi kertas itu. Hingga sampai di depan teras rumah Rhien, Droid pamit dengan lembut.


Ketika Droid akan pulang, Rhien diam-diam membuntutinya dengan sepeda. Namun, Rhien terlalu pelan mengayuh dan kalah dengan laju motor Droid. Ia hampir kehilangan jejak. Rhien tak patah semangat. Ia terus bertanya sana-sini. Pada Ibu Warung, pada penjual siomai, pada kakek yang sedang menyiram tanaman. Ia bertanya tentang laki-laki gemoy yang baru saja lewat. Ia begitu penasaran dengan sosok Droid. Laki-laki yang telah menguatkannya. 


Maka, ketika terlihat Droid menyelinap masuk gang sempit, Rhien mencoba mengejarnya, ia tuntun sepedanya agar tak terdengar suara. Hingga Rhien menemukan jalan buntu dengan deretan makam di depannya. Rhien tahu, ia sedang tidak bermimpi. Rhien hanya sedikit mengawaskan pandangan ke segala penjuru. Di belakang gang sempit ini memang tidak ada rumah lagi selain deretan makam.


“Cari siapa Neng?”


Sontak Rhien kaget. Suara ibu-ibu jelas terdengar di belakang. Rhien menoleh. Melempar senyum. Lalu ia ceritakan seorang laki-laki bernama Droid.


“Oh, anaknya Martini itu. Bocah gembul itu meninggal seminggu lalu. Makamnya di bawah pohon angsana pojokan itu. Kalau dengar ceritanya ibu juga sedih Neng. Orang-orang sudah tahu jika Martini 'perek'. Tetapi dia memang kebangetan. Banyak ditemukan luka di jari-jari anaknya. Kulit di bawah kuku biru semua. Kami baru tahu kalau Droid sering mengalami penyiksaan.”


“Lalu di mana ibunya Droid?”


“Kabur Neng, masih dicari polisi. Eh, ngomong-ngomong Neng ini temannya atau siapa?”


“Iya Bu.” Rhien tak bisa lagi menambah kata-kata.


Setelah pamit, Rhien gegas menuntun sepedanya pulang. Ada yang lebih sakit dari jemari tangannya yang banyak ia plester akibat luka gigitan. Dada Rhien tetiba sesak. Sudut matanya mengembun. Sejujurnya ia ingin berteriak sekencang-kencangnya. Namun, kondisi  di depan kantor kelurahan dengan jalanan penuh orang lalu lalang membuat ia urung melakukan hal konyol itu. Ia berhenti di bawah pohon pinggir jalan dalam keremangan. Dengan masih berdiri di samping sepeda, Rhien gegas membuka kertas pemberian Droid itu dengan penasaran dan tangan yang gemetar. Lalu deretan huruf di sana ia baca dalam gemuruh hebat di dada.


“Rhien, kadang kita memandang dunia selalu tak adil. Takdir seolah selalu berpihak pada yang sempurna, pada yang hebat. Seandainya kau tahu, hidupku pun penuh kepedihan. Lahir tanpa pernah diharapkan ibuku. Aku tak tahu kenapa Ibu sangat membenciku. Aku lahir bukankah aku tak meminta? Aku ada karena ibuku. Di bagian mana aku salah? Apa yang bisa diharapkan dari anak sindrom down sepertiku. Orang-orang selalu bilang aku bego. Bodoh. Tak bisa diharapkan. Padahal aku lahir juga karena Ibu. Jika kemarin kamu bertemu denganku dengan fisik yang menurutmu sempurna di matamu, Tuhan sedang berbelas kasih padaku. Mengirimku sejenak kembali ke dunia dan bertemu denganmu dalam wujud yang kupinta, lalu meminta malaikat yang merawatku menuliskan suara hatiku ini. Kita punya sejarah yang hampir sama. Ujung jariku hingga bawah kuku sering terluka karena aku sering melukis tanpa henti siang malam. Ibu tak suka karena membuat lantai rumahnya selalu kotor oleh cat air dan kertas. Kamarku selalu berantakan. Aku masih ingat kapan terakhir kali om-om itu datang ke rumahku dan membawakan krayon, cat air, dan kertas gambar ketika aku ulang tahun. Dia bilang teman ibuku. Dengan benda itu, aku hanya ingin menggambar apa yang aku lihat, tidak lebih. Aku bisa melihat wujud angin, aku bisa menggambar suara air, aku selalu membayangkan gumpalan-gumpalan awan putih di atas jendela kamarku adalah gula-gula kapas yang manis. Namun, ibu tetap tak suka. Ibu sering melukai jari-jariku dengan benda apa saja. Di mata Ibu, aku adalah sebuah kesalahan yang harus dihapus. Ketika aku melihat jemari dan kulit bawah kukumu terluka, aku seolah merasakan sakit itu. Maka jika hari ini kamu masih memandang dunia tak adil, tugasmu adalah menciptakan keadilan itu, seterusnya, selamanya, pada siapa saja. Hingga nanti kita bisa sama-sama bisa menghitung jarak rindu antara rumahku dan rumahmu. Dan kita akan sama-sama mengabarkan pada dunia bagaimana keadilan semesta bekerja. Kau sanggup bukan?”


______

Penulis


Dody Widianto lahir di Surabaya. Karyanya tersebar di berbagai media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Media Indonesia, Kompas.id, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Mojokerto, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Tanjungpinang Pos, Pontianak Post, Gorontalo Post, Fajar Makassar, Suara NTB, Rakyat Sultra, dll. Silakan kunjungi akun IG: @pa_lurah untuk kenal lebih dekat.


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com