Thursday, December 30, 2021

Esai Edi Warsidi | Eksperimen: Persinggahan Sejenak dalam Proses Kreatif

Esai Edi Warsidi



Pengamat sastra Indonesia, Harry Aveling menerjemahkan Godlob ke dalam bahasa Inggris, Abacadabra. Aveling memuji Danarto dengan sebutan master. Selain itu, Andries "Hans" Teeuw atau lebih dikenal A. Teeuw juga mengatakan bahwa cerpen-cerpen Danarto mewakili jenis pembaruan sastra Indonesia, yang bertolok ukur secara paradoks dalam kebudayaan tradisional dan tampaknya menggenggam harapan bagi masa depan.


Namun sekonyong-konyong, Danarto sekarang belum lagi mengarang cerpen gelap seperti dalam Godlob dan Adam Ma’rifat. Atau saja saya belum lagi menemukan cerpen-cerpen gelap Danarto saat ini? Ada semacam kerinduan bagi saya tentang karya-karya Danarto itu. Yang jelas, saya pernah menemukan beberapa cerpen beliau yang realistis, seperti pernah dimuat Republika atau Matra. Bahkan, saya masih mengoleksi sebuah cerpen Danarto yang dimuat majalah Sartika No. 31/Th. IX, September 1985 (majalah ini mungkin sudah tidak terbit), yang saya beli di pasar loak Cikapundung, Bandung. Cerpen realistis ini berjudul "Selamat Jalan, Nek!". Akan tetapi, memang harus diakui bahwa cerpen-cerpen tersebut masih mendapatkan "bau dupa" cerpen absurd. Ini saya akui sebagai sisa genangan dalam kehidupan Danarto.


Maksud saya, sisa genangan kreativitasnya ketika "dimabuk" ke-tasawuf-an, yang mendorongnya menulis cerpen gelap, Godlob dan Adam Ma’rifat. Saya sendiri menganggap karya-karya Danarto dalam cerpen tersebut sebagai karya yang wajar. Karya itu memang bisa disebut luar biasa—dalam arti sekadar lain dari kelumrahan. Saya tidak sejauh A. Teeuw yang berani memberikan ruang kemungkinan bahwa Danarto pembaru cerpen Indonesia yang sanggup bersitahan dengan  pembaruannya. Bagi saya, cerpen-cerpen gelap Danarto sekadar wujud eksperimen, dan lahirnya cerpen-cerpen itu masih dalam proses mencari jati diri.


Secara kebetulan, dalam proses kreatif menemukan jati diri itu, Danarto mampir sejenak ke "warung" bernama tasawuf. Di situ, ia "mabuk". Pencariannya cenderung kian ke dalam. "Kemabukannya" itu ia muntahkan ke dalam wujud kerja kreatif, yakni mengarang cerpen. Akan tetapi, sejak awal, saya menduga bahwa Danarto adalah manusia biasa, dalam arti bukan sufi. Kalau sebagai pakar tasawuf, bolehlah. Itu pun dalam takaran tertentu.


Seorang pengarang dalam menulis atau berkarya selalu banyak berlandaskan basis fakta. Kebetulan basis fakta yang diserap Danarto adalah jagat tasawuf kejawen. Oleh karena itu, Adam Ma’rifat lahir. Saya tidak berani memastikan bahwa ketika menulis cerpen gelapnya, Danarto telah menemukan kekhasan jati dirinya. Saya lebih suka mengatakan bahwa Adam Ma’rifat dan Godlob sebagai eksperimen.


Karya eksperimen biasa ditulis oleh hampir setiap pengarang yang sedang berproses. Karya eksperimen tidak harus berbentuk absurd sebab karya eksperimen lahir ketika pengarang mengalami masa trance (jenuh). Oleh karena itu, Danarto sendiri tidak berdosa kalau sampai akhir hayatnya ia tidak lagi menulis cerpen gelap. Ia tidak menampik jika ternyata menulis cerpen-cerpen realistis sebab lahirnya Godlob dan Adam Ma’rifat adalah dipengaruhi oleh satu kecintaan tertentu, yang suatu saat kecintaan itu pasti berlalu. Ini merupakan gejala wajar. Hal ini juga pernah dialami oleh Korrie Layun Rampan (KLR).


Korrie Layun Rampan juga pernah bereksperimen dengan cerpen-cerpen gelap, yang akhirnya terkumpul dalam antologi Malam Putih. Karena "kemabukan" Korrie berbeda dengan Danarto, cerpen yang lahir pun turut berbeda, tetapi sama-sama absurd. Jadi, masalahnya seperti telah diulas sepintas di awal, yakni terletak pada basis fakta yang dimiliki pengarang. Basis fakta inilah turut menentukan mutu karya dan "kemabukannya" selalu menguntungkan kerja kreatif seorang pengarang. 


Contohnya bukan hanya pada Korrie atau Danarto, melainkan juga Ernest Hemingway, pengarang yang memiliki basis fakta yang kuat. Tatkala akan mengarang The Old Man and The Sea ia suka pergi memancing ikan di laut. Kalau novel mini yang memenangi hadiah nobel itu diceritakan lelaki tua yang pergi memancing akhirnya hanya mendapatkan kerangka ikan, yang akan disampaikan oleh Hemingway bukan itu, melainkan seorang tua bergumul dengan rezekinya di tengah-tengah laut.


Saya tidak mengatakan bahwa cara memiliki basis fakta harus pergi ke suatu tempat seperti yang dilakukan Hemingway. Basis fakta dapat ditaguk dari banyak membaca. Almarhum Mohammad Diponegoro (Mas Dipo) yang tidak pernah menginjakkan kaki ke Hongkong dapat menulis tentang kota itu dalam novel Siklus. Taufiq Ismail ketika meresepsi novel Siklus, seperti memutar kembali jalan-jalan yang pernah ia lewati ketika berada di Hongkong. Ia tidak tahu kalau pengarangnya, Dipo, belum pernah ke Hongkong.


Dipo tidak mengalami sendiri secara fisik pergi ke luar negeri, tetapi basis faktanya kuat. Ini dapat dikatakan sebagai suatu keajaiban. Ini tidak dimiliki oleh banyak pengarang, selain Kho Ping Hoo. Fenomena ini seperti yang dialami para dalang wayang. Mereka tidak "mengalami" atau "menemukan" zaman lahirnya wayang, tetapi karena ada pakem, dalang dapat menjadikannya sebagai basis fakta. Hanya persoalannya, zaman terus bergulir. Basis fakta terus diperluas dan diperdalam. Dalang yang hanya mengandalkan basis fakta pada pakem, ia tidak bisa diterima zaman. Mereka yang mau kreatif membuat cerita-cerita baru yang dikenal dengan cerita modifikasi.


Dalang yang kurang kreatif, suatu saat akan ditinggalkan penggemarnya. Kasus ini persis yang banyak dialami pengarang. Pengarang yang basis faktanya tidak berkembang, dalam berkarya acapkali mengulang-ulang tema, ia akan berhenti pada eksperimen pertama. Ia mandul dan mengalami kemalangan kemarau panjang. Adapun para pengarang muda yang menyeruak dengan semangat kreatif tinggi telah menyusulnya. Lalu, melampauinya. Tatkala disadarinya hal itu, ia loyo.


Ia hanya dapat membanggakan keberangkatannya yang tidak pernah sampai pada tujuan. Dari sebagian mereka ada yang terus berkarya, ada pula yang kemudian menjadi tenggelam ditelan zaman. Dari sinilah menurut saya, cara terbaik memandang karya eksperimen seperti pada karya-karya sastra Danarto. Eksperimen yang bagus tidak harus terburu-buru mendapatkan tepuk tangan dan diresepsi banyak pembaca sebab karya eksperimen belum merupakan jati diri. Ia sekadar persinggahan sejenak. Boleh jadi, persinggahan itu bisa menyihir berjuta-juta pembaca. Nah!



____

Penulis

Edi Warsidi, tinggal di Bandung. Selain menulis esai, resensi, puisi, cerpen, dan catatan perjalanan, ia juga menulis buku. Saat ini diberi amanah untuk menjadi kepala bagian penerbitan di ITB Press. 






Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com