Friday, February 3, 2023

Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Menunggu Al-Mukarram Ustaz Mustapha Ibrahim

Cerpen oleh Kurnia Gusti Sawiji



Sebuah pagi yang meretakkan waktu dan kesadaran. Orang-orang berkelindan dalam rajutan hidup ketika lelaki berpakaian serba putih itu menyeruak dari rindang pohon-pohon tanpa tahu dari mana asal-usulnya. Tetapi seakan kepingan beling yang mencari pasangannya, tidak ada takut dirasakan oleh orang-orang. Pikiran mereka: bertandang juga akhirnya Al-Mukarram Ustaz Mustapha Ibrahim, ulama sekaligus sang Imam Al-Mahdi ke Kampung Ranca. Namun lelaki itu, seakan membaca pikiran mereka, langsung ke alun-alun kampung. Sembari mengucapkan salam, doa, dan pujian kepada Tuhan dan Rasul-Nya, dijatuhkanlah titah Beliau: bahwa Beliau bukanlah Al-Mukarram yang mereka tunggu, melainkan sekadar utusannya saja.


“Sesungguhnya aku membawa pesan dari Al-Mukarram. Beliau meminta sekurang-kurangnya sepuluh perwakilan dari kampung ini, terdiri dari lelaki di antara usia dua puluh dan tiga puluh, untuk menghadap kepada Beliau. Adapun sepuluh perwakilan itu merupakan mereka yang cerdik akalnya, bugar tubuhnya, kuat imannya, dan teguh jiwanya. Setelah terpilih sepuluh perwakilan itu, berjalanlah mereka searah dengan kiblat untuk menemukan tempat Al-Mukarram bersemayam. Tujuh hari setelah itu, barulah Al-Mukarram akan bertandang ke kampung ini bersama pasukan langit.” 

Lelaki itu pun kembali berjalan ke arah tempat dia menyeruak, yang memang betul searah dengan kiblat, meninggalkan orang-orang yang mulai bergunjing. Tetapi Ketua Kampung lantas datang dari arah tenggara, mengajak semua warga kampung untuk berkumpul di sebuah lapangan yang berada dekat dengan rumahnya. Di sana, lebih beradab mereka mendiskusikan perkara sambil bersila dengan Ketua Kampung duduk di hadapan warga kampung yang jumlahnya memang tidak seberapa. 

“Betulkah dia utusan Al-Mukarram? Sebaiknya kita tidak terlalu gegabah. Baru beberapa hari yang lalu aku baca berita bahwa Al-Mukarram kini masuk dalam daftar ulama berpotensi radikal oleh pemerintah. Bukan tidak mungkin, lelaki itu adalah intel yang menyamar untuk memburu Al-Mukarram!” ungkap Ketua Kampung. Tetapi hal itu ditentang oleh Faruq Bushara.

“Jika benar dia intel, maka dia seharusnya masuk dari jalan keluar masuk kampung, Pak Ketua. Karena bagi orang luar, kampung kita hanya ada satu jalan keluar masuk. Tetapi dia datang dari pelosok, bisa jadi dia adalah orang dari pesantren itu,” sanggahnya. Gumaman persetujuan mulai terdengar, dan Ketua Kampung pun tidak terlalu bisa menyanggah balik omongan Faruq. 

Alhasil, setelah tukar-menukar beberapa argumen, diputuskan bahwa mereka akan mengikuti apa kemauan lelaki yang mengaku utusan Al-Mukarram itu. Maka dipilihlah sepuluh pemuda termasuk Faruq di dalamnya. Pada sore hari setelah Asar, dilepaslah mereka; dan bersama dengan hati yang mencampurkan kegundahan dan harapan, dijalankanlah tujuh hari yang dijanjikan. Akankah yang keluar nanti Al-Mukarram dan pasukan langitnya, intel, atau malah Dajjal, hanya Tuhan yang benar-benar tahu.


***

Sebagaimana orang-orang bunian, kelinci bertanduk rusa, dan kera-kera gergasi di pegunungan bersalju, balok-balok keberadaan Al-Mukarram Ustaz Mustapha Ibrahim disusun dari kisah-kisah khayal warga Kampung Ranca. Sudah niscaya memang bagi hal-hal yang berada di luar pengetahuan manusia untuk mengakar dan menumbuhkan daun-daun yang dalam setiap gemerisiknya membisikkan kabar-kabar tanpa kebenaran, tetapi adanya keniscayaan itu kepada ulama yang begitu mumpuni ilmunya merupakan ironi yang tidak terlintas dalam kepala iblis paling puitis sekalipun. 

Padahal, ulama yang disebut Al-Mukarram oleh orang kampung itu nyata adanya; Beliau bahkan punya kanal YouTube yang hampir dua juta pengikutnya, dan secara rutin diisi dengan video-video ceramah beliau. Tetapi memang, kanal tersebut adalah satu-satunya cara untuk orang menonton dan melihat Beliau. Sejauh ini, Beliau tidak pernah muncul di televisi, atau hadir di masjid-masjid untuk memberikan ceramah langsung. Tetapi itu tidak menghentikan warga kampung untuk menganggapnya ulama yang secara spiritual paling dekat dengan mereka. Hal itu dibuktikan dengan gelar Al-Mukarram yang secara kolektif disematkan kepada Beliau, artinya “Yang Dimuliakan”.

Adapun kisah-kisah khayal tentang Al-Mukarram dimulai penyebarannya dari Faruq Bushara yang sangat gemar berhipotesis. Awal mula kisah itu adalah dari sebuah kepercayaan setempat bahwa di pelosok terdalam Kampung Ranca yang menelungkup malu-malu di antara rindang pohon-pohon yang tidak lekang oleh waktu, ada sebuah pondok pesantren yang sampai sekarang tidak bisa ditemukan bahkan oleh sesepuh kampung paling bau tanah sekalipun.  

“Teman-teman, aku punya hipotesis,” ungkap Faruq pada suatu pagi yang hampir lingsir. “Kurasa Al-Mukarram itu Imam Al-Mahdi, sementara pondok pesantren yang ada di pelosok kampung kita itu adalah tempatnya mempersiapkan bala tentara untuk melawan Dajjal nanti. Nanti jika waktunya telah tiba, Beliau akan turun ke kampung dan memilih siapa yang paling kuat imannya untuk jadi bagian dari bala tentaranya.”

Pernyataan tersebut tentunya mengundang penasaran. Waktu itu Faruq bercerita pula di Warkop Kang Bomi yang sedang ramai-ramainya, sehingga muncullah pertanyaan dan spekulasi lain tentang apa yang diucapkan tukang khayal itu. 

“Masalahnya sekarang, kenapa di kampung ini? Kenapa tidak di kampung sebelah, atau di Serambi Mekah, misalnya?” tanya Fredi, seorang tukang ledeng.

“Kupikir itu karena kampung kita belum dijamah orang luar. Kau tahu Fred, nasib Kampung Babakan dan Kampung Bambu, tetangga kita? Kudengar pengembang perumahan sedang besar-besaran buka lahan di sana, ingin bangun ruko dan mal. Orang-orang asli digeser, atau setidaknya dipaksa mengikuti arus hidup kota, tidak bisa lagi mempertahankan tatanan hidup mereka. Di mana-mana terjadi seperti itu, Fred! Bahkan di Serambi Mekah sekalipun! Oleh karena itulah, Imam Al-Mahdi memilih kampung ini sebagai tempat persembunyian,” jelas Faruq panjang lebar, yang mana penjelasan itu dirasa cukup oleh siapa pun yang mendengarnya.

Maka seiring waktu berjalan, kisah-kisah tentang ulama yang tidak pernah terlihat secara fisik itu terus bertambah. Salah satu yang paling bisa diterima adalah bagaimana beliau, sebelum menerima mandat dari langit sebagai Imam Al-Mahdi, merupakan murid terbaik Ustaz Warsidi dari Talangsari yang berhasil kabur saat rezim menggempur tempat itu. Tentu ini sekadar khayalan orang kampung; kalau benar pun, jelas tidak akan diakui sebagai sejarah yang benar riwayatnya.

Tetapi dalam ceramah-ceramah Al-Mukarram, memang tidak saja dia jabarkan tentang akidah, fikih, dan ibadah, tetapi tentang muamalah dalam pembangunan sebuah peradaban Islam yang berdikari. Dalam salah satu video ceramahnya yang kini sudah dihapus lantaran dianggap bertentangan dengan ideologi negara, beliau membuat andaian sebuah model perkampungan Islam—hal yang sama pernah disampaikan oleh Ustaz Warsidi kepada orang-orang Usroh yang bersembunyi di tempatnya. 

Bukan tidak mungkin bahwa cita-cita membangun peradaban Islam yang berdikari itu yang membuat ulama Al-Mukarram itu disucikan sedemikan rupa oleh orang-orang kampung. Karena memang, jalan pemikiran seperti itu sudah dianut oleh warga bahkan sejak zaman nenek moyang mereka.


***

Delapan hari berlalu seperti pedati pedagang ikan, tetapi tidak ada yang kembali ataupun datang dari arah kiblat pelosok kampung. Tidak Al-Mukarram, tidak pula sepuluh pemuda yang dikirim itu. Bisik-bisik ketakutan muncul, dan Ketua Kampung kewalahan memasarkan ketenangan. Kembali muncul ucapan lamanya: bahwa lelaki berpakaian serba putih itu intel yang menyamar, karena untuk mencari buronan, tempat-tempat terpencil seperti Kampung Ranca memang sasaran empuk. Si empunya ucapan menampik, mengatakan bahwa itu hanya rasa takutnya yang bodoh.

“Kalian tahu tentunya, bahwa apa pun yang ada di internet dan berita itu tidak sepenuhnya benar. Al-Mukarram memang ditetapkan sebagai ulama radikal, tetapi sejauh ini belum ada berita tentang pemburuannya,” ungkapnya demi menenangkan keadaan. Tetapi tidak pulangnya sepuluh pemuda itu sudah terlanjur membawa takut.

Singkat cerita, delapan hari tambahan pun berlalu, dan keadaan masih tidak berubah. Malahan semakin parah. Anak-anak tidak lagi berani keluar malam-malam, orang-orang tidak bisa tidur lantaran takut tiba-tiba digedor tentara dan polisi. Keadaan kampung muram durja, apatah lagi pemuda-pemuda terbaik sepuluh orang hilangnya.

Lalu malam yang ditakdirkan itu pun datang. Ketua Kampung sedang meronda ketika terdengar dari kejauhan keramaian gaduh yang bersuara tegas. Sesekali terdengar bunyi sirene, dan ada juga gonggongan anjing yang memecahkan rindang pepohonan. Tidak banyak yang bisa dilakukannya, melainkan berdoa kepada Yang Maha Kuasa supaya dia dan orang-orang kampungnya masih bisa melihat hari esok.


Tangerang, Juni 2022


_________

Penulis


Kurnia Gusti Sawiji lahir di Tangerang, 26 November 1995. Guru fisika yang pernah bercita-cita jadi raja bajak laut. Dapat diikuti di Instagram @kurnigs. Beberapa karyanya sudah termaktub ke dalam beberapa antologi, sementara dua karya solonya yang sudah terbit adalah novel Tanah Seberang (Buku Mojok, 2018) dan kumpulan cerpen Dongeng Pengantar Kiamat (Unsapress, 2022).


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com