Friday, February 17, 2023

Puisi-Puisi Nandy Pratama

Puisi Nandy Pratama




Perjalanan Nokturnal


Malam membuka mata pada seratus tahun manusia hanya menjadi airmata

Habis mengalap segala ramai yang gemuruh riang menelusuri belukar

berupaya temukan dan mencari-cari nyawa yang bukan milik.


Ada kala ikhtiar mengkudeta kawasan-kawasan Tuhan; mengerang, berseru dengan harap tak diangkat sebagai kekal.

Batas penghabisannya hadir pada perjalanan nokturnal yang sampai pada demarkasi kehidupan-kematian

Tuhan menjatuhkan warkat dan melahirkan kata bahwa patutnya banyak sesal juga panjatan permohonan elok sebagai fortifikasi kelainan.


Tersengal mereka di antara rapalan doa, kata 

dan berita-berita di ujung kaca membusur lelap menuju “simbah“

Rumah-Mu tak layaknya rongsokan bagiku

Sebab ribuan dosa takkan mengenal surga

Sebab selama neraka masih ada arwahku mencoba gila dan liar di atas kepala-Nya

Di seluk luar telak roda dunia adalah aku. 


Ternate, 22 Februari 2020



Tatkala Sunyi


Aku malu pada-Mu ya Tuhanku

Pada burung-burung yang bertengger

Menatap langit saat fajar tiba

sedang aku masih bermimpi dengan lelapnya.


Aku malu pada-Mu ya Tuhanku

Pada embun yang menetes di daun-daun

yang memanggil kupu-kupu untuk menghilangkan hausnya

Saat terik matahari mulai menampakkan tubuhnya


Aku malu pada-Mu ya Tuhanku

Pada buku-buku berjejer di perpustakaan

yang kubaca dari pagi hingga larut malam

Sedang pada buku yang kau berikan padaku; masih tertutup dengan debu di sekitarnya.


Aku malu pada-Mu ya Tuhanku

dalam hangat bertemu dengan seorang hamba-Mu

Aku persembahkan wewangian ke penjuru badan

Aku tata rapi busanaku, aku sembahkan yang terbaik untuknya,

Sedangkan pada-Mu malah seadanya

Oh, Tuhanku maafkan aku yang sering melupakanmu

Sungguh tak ada yang bisa kubalas beberapa pesan atas kasih-Mu

Semua sia-sia, semua sia-sia dalam haru ataupun duka


Bagaimana nasibku nanti? 

Kala kau jemput paksa nyawa dalam sakitku

atau nafas yang hidup bagai melihat tanah yang haus dan terberingus.


Ternate, 15 Oktober 2019



Patah


Malam ini awan seakan mengadu

Mengadu tentang rindu yang belum terjadi temu

Aku sering mendengar malaikat mendawaikan namamu

Aku sering melihat malaikat menulis namamu pada langit-langit kamarku

Cukuplah, aku yang tersakiti oleh jarak

Ditikam semesta terbujur kaku; lemah!

Tak berdaya di depan kisah asmara

Sungguh kelamnya perjalanan hidupku

Duduk termangu, menatap wajahmu yang diambil oleh waktu


Mengapa kau tak matikan saja nadirku ini?

Hentikan aliran darah yang menuju hati

Aku terlalu naif memujamu di depan tiang agama

Hingga akhirnya aku jua yang disingkirkan

Cerita kau dan aku berujung pada perpisahan

Aku kalah dari saudagar yang kaya raya itu

Kau pilih asmara yang bergelimang harta, kau buang aku

dan kau bilang pada ibumu “ibu aku tak menyukainya, semuanya hanya kepura-puraan”


Aku tak kejam sepertimu, tidak!

Aku berdoa semoga esok Tuhan memberikan sedikit rindunya untukku

Agar kelak kubisa menemukan seseorang yang tulus menyambut tamu.


Ternate, 15 September 2019



Menerobos Takdir-Mu


Di sela-sela jemari malam

atau pada bibir rembulan yang kian suram, aku menatap diksi 

yang jauh

Air mata menetes memacu hati yang ranum

Aku tercekat dengan tangan yang masih terlipat

Menyisakan denyut dalam rahasia; suara yang tak lagi berbicara

Kepada warna, kubunuh kepala yang meradang

Menyisakan minuman setengah kosong


Sepi pecah 

Perih melirih

Tangis menjadi pecundang, kala kuingat semuanya

Hening mulai terkulai menjadi nanar

Duka-duka luruh


Aku melihat di depan cermin

Lika-liku kehidupan

Berekspresi bagaikan simbol

dan sebuah cara yang paling sederhana adalah menerima takdir-Mu


Surabaya, 28 Oktober 2021



Amorfati


Rintik hujan malam itu

Mengingatkanku pada kenangan masa lalu

Kau memberikan setangkai rindu

Menyiksa candu pada senggama yang mengkudeta rasa takut


Nafsu berotasi bagaikan status di sosial media 

dengan elok engkau beradikara 

Menyiksa diri sendiri

Mendesah di dalam tempurung 

Kau sembunyikan lengkungan pada setiap bibir yang indah itu

Mengkotak-kotakkan rencana pada setiap waktu


Kau berlari-lari di belakang rumah; menggali tanah basah

setelah itu menghilang.

Jemari ini memantik, kepanikan mulai mencekik

Mendesah didalam nadi hingga akhirnya “mati“ 


Ternate, 11 April 2020



Surga yang Dirindukan


Aku berlari mengejar mimpi atas buruknya kepulangan

Menyemai setiap bunyi 

Perca meradang dalam perihnya bahasa

Di kamar kakiku menjelma jangkar, tanganku basah kuyup 

dan mataku lepas


Suara bersua dalam waktu

Mengucap kata macam frasa rindu

tanpa melihat rupa-Mu

Aku melipat jarak, menyebutkan asma-Mu di ribuan pengharapan


Dialog ini, bersua dari jeda selepas pergi

Meretas pandang yang panjang menjadi arti

Kurogoh sosok juwita di sebrang jalan yang menanti pelukan

Oh, ibu tiada temu yang paling baik selain cinta

Ibu, aku dan Tuhan ingin ridho-Mu


Ternate, 07 April 2019



Ciuman dan Pelukan


Kelak di waktu yang berkarat

Kita menuju renta. Kita mungkin lupa ciuman-ciuman yang pernah dicuri dari bioskop.

Perhentian lampu merah juga kemacetan; kita menyelipkan pelukan-pelukan saat kau

pamit menuju banyaknya pekerjaan!


Sebelum tiba masa itu, kau kecup bibir lembut

Menyetubuhi seluruh tabah yang ditabuhi waktu

Merayakan segala keintiman sebagai pengingat saat kita tua

dan kita mengingat kesedihan-kesedihan lama

Sambil meletakkan bahasa yang malang


Lalu, kusaksikan kesepian tumbuh makin liar, mencakar riwayat airmata

Meletakkan pundak yang mulai gersang

Hingga akhirnya kusadari,

Hendakmu hanyalah sebuah musim pancaroba


Ternate, 02 Januari 2019



________

Penulis


Nandy Pratama lahir pada tanggal 15 Februari 1997. Seorang penyair dengan nama penanya Ternate di Ujung Pena. Giat menulis telah ditekuni sejak masih SMP, baik berupa cerpen ataupun puisi. Beberapa prestasi yang pernah diraih di antaranya pernah menjadi juara 2 lomba cipta puisi, 50 penulis terbaik, 100 penulis termuda. Selain itu telah menulis 2 buah buku puisi, salah satunya yang berjudul Terjebak Puisi dan Ina. Pada tahun 2019-2022 berkesempatan menjadi juri lomba cipta dan baca puisi yang diadakan secara online

Facebook: Pratama Matali 



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com