Tuesday, February 21, 2023

Proses Kreatif | Menulis Puisi Dadakan

 Oleh Encep Abdullah



"Assalamualaikum. Pak Encep maaf ganggu, Bapak kan biasa buat puisi. Kasih tips dan trik dong untuk membuat puisi dengan baik secara dadakan. Anak murid saya mau ikut lomba cipta dan baca puisi. Untuk cipta dan bacanya itu dadakan saat pelaksanaannya. Saya jadi guru pendampingnya, saya bingung kalau dadakan gitu gimana ngarahinnya."


Itu pesan teman saya suatu hari di WA. Saya akan menjawab sesuai pengalaman saya.


Pertama, bagaimana membuat puisi yang baik? Pada dasarnya setiap puisi itu baik, yang jahat itu kamu yang meninggalkan dia tanpa sebab. Haha. Puisi yang baik menurut saya, apalagi untuk lomba, harus mengikuti pedoman/pakem penilaian lomba tersebut (walaupun pada umumnya ini juga menjadi acuan bagi kamu yang mau menulis di luar lomba). Misalnya terkait (1) teknik kepenulisan [tipografi dan permainan rima/persajakan], (2) diksi [pilihan kata/penggunaan gaya bahasa], (3) kesesuaian tema dan isi [patuh dengan aturan lomba], (4) orisinalitas [cara penulisan asli, tidak menjiplak atau plagiat], (5) amanat [pesan yang terkandung dalam puisi].


Kedua, bagaimana membuat puisi yang baik secara dadakan? Saya kira yang paling lihai dalam urusan dadakan adalah Mamang Tahu Bulat. Haha. Bagi mereka yang tidak punya bakat, membuat puisi dadakan adalah siksaan yang begitu pedih. Sudah mendadak, hasilnya jelek pula. Lantas, apakah puisi yang dibuat dadakan itu hasilnya bisa baik? Bisa jadi. Alasan pertama, hasilnya baik karena bakat. Alasan kedua, hasilnya baik karena sudah terlatih (berproses cukup intens). Sapardi Djoko Damono menulis puisi fenomenalnya ”Aku Ingin” itu hanya 5 menit. Apakah itu mendadak? Menulis cepat bukan berarti menulis mendadak. Bisa jadi ada proses pengendapan (terkait pengalaman, pembacaan, perenungan) yang cukup lama, tapi Sapardi menuliskannya hanya dalam waktu 5 menit. Ada juga yang proses pengendapannya itu singkat, tapi ternyata menulisnya sangat lama, berjam-jam, bahkan berhari-hari. Lalu, apakah puisi yang ditulis Sapardi itu puisi yang baik? Bila mengacu pakem penilaian lomba menulis puisi, tentu itu puisi yang baik. Namun, belum tentu puisi itu bisa menang (bila dilombakan). Sebagai bahan pembelajaran, puisi ”Aku Ingin” bisa jadi contoh yang baik. Dalam perlombaan, untuk menang, tidak cukup hanya menulis puisi yang baik, tetapi juga harus banyak berdoa agar puisimu beruntung [menang!]. Nah, itu, keberuntungan.


Ketiga, bagaimana cara mengarahkan peserta dalam lomba menulis dadakan, apalagi tidak diberitahukan tema lombanya? Tidak ada cara lain selain banyak berlatih. Saat melatih anak didik lomba menulis, jangan fokus bagaimana ia menang. Fokuskan saja pada kadar kemampuannya. Jangan memaksakan ia harus menulis sempurna karena sempurna itu milik Andra and The Back Bone dan Demian, eh, maksud saya hanya milik Allah Swt. Kalau lomba itu sudah jelas temanya apa, fokuskan pada tema itu, jangan lupa lihat pedoman penilaiannya. Kalau temanya tentang alam, tunjukkan puisi-puisi Sapardi atau penyair lainnya. Kalau temanya tentang perjuangan atau perlawanan, tunjukkan puisi-puisi W.S. Rendra, Taufiq Ismail, atau penyair lainnya. Kalau temanya tentang agama, tunjukkan puisi-puisi Gus Mus, Emha Ainun Najib, Abdul Hadi WM, atau penyair lainnya. Tidak ada cara lain selain memberikan contoh. Tapi, tekankan kepadanya jangan plagiat. Terpengaruh boleh, tapi bukan menjiplak. Kalau masih bingung, cara lainnya, bisa ambil diksi-diksi yang unik dalam KBBI. Lalu, rangkailah menjadi puisi. Tetap perhatikan pedoman penilaiannya, jangan hanya asyik dengan kata-kata yang unik dan keren itu. Kata-kata unik hanya pemanis dan syiar kepada pembaca. Jadi, bukan sekadar gaya-gayaan. Namun, sebagai bahan latihan, bolehlah anggap itu sebagai geboy-geboyan.


Keempat, bagaimana kalau temanya ditentukan di tempat?  Saya biasanya menggunakan jurus gaya bahasa ala Sapardi atau gaya bahasa perbandingan (personifikasi, simile, hiperbola, metafora). Saya susun semanis mungkin dengan rima yang enak dibaca, bait yang enak dipandang, dan kedalaman isi yang semaksimal mungkin sampai ke hati juri atau pembaca. Yang paling berat dalam lomba menulis dadakan di tempat adalah bila jumlah baris yang ditentukan oleh panitia lomba cukup panjang, misal minimal 20 baris dan maksimal 40 baris. Tentu saja peserta yang tidak terampil akan ngap-ngapan. Salah satu cara yang saya lakukan adalah dengan cara menghafalnya. Dengan catatan, saya sudah memprediksi tema puisinya apa (kalau benar-benar tidak bisa memprediksi, pasrahkan saja). Kalau pada baris tertentu, saat lomba, saya lupa diksi, saya cari diksi lain yang sekiranya masih menguatkan keutuhan puisi tersebut. Sebelum lomba, tentu saya berlatih benar-benar dulu di rumah, terus-menerus. Jadi, tidak datang dengan kepala kosong. Kalau sekiranya puisi itu sudah cukup baik menurut saya, barulah mulai saya hafalkan. Lalu, muncul pertanyaan, apakah ini suatu kecurangan? Saya tidak tahu. Saya sadar diri, saya bukan tipe penulis yang mampu menulis puisi (yang baik) secara dadakan. Apalagi untuk lomba, saya harus memaksimalkan seluruh kemampuan saya. Kecuali, saya tidak punya ekspektasi dan ambisi untuk menang maka puisi dadakan saya buat seadanya. Karena niat saya ingin menang, tentu saya kerahkan seluruh jiwa-raga saya.


Saat saya menjadi juri lomba, saya cukup tahu, mana peserta yang menulis dengan menghafal dan peserta yang menulis secara mendadak. Anak sekolah yang notabene saya tahu ia menulis puisi dengan diksi yang terbatas, tiba-tiba menulis kata-kata yang asing. Ditulis sepanjang 40 baris pula. Saya yakin, ia sudah mempersiapkan diri. Dan tentu sudah menghafalkannya. Saya tidak pernah mempermasalahkan itu. Kalau puisinya sesuai pedoman penilaian, saya menangkan. Tapi, kalau jelek, ya saya sisihkan. Dari kacamata juri, menurut saya, kepada para panitia lomba, bila ingin meminimalisasi peserta lomba agar tidak menghafal puisi yang dilombakan, alangkah lebih baik tema ditentukan di tempat, jumlah baris juga ditentukan di tempat, bahkan kalau bisa diksi-diksinya ditentukan di tempat. Dengan begitu bisa terlihat karya asli peserta yang dibuat di tempat. Jangankan puisi, lomba cerpen saja bisa dihafal kok. Hal ini dibuktikan saat saya menyaksikan anak-anak lomba bercerita. Apa yang diceritakan persis dengan apa yang dituliskan. 


Anggap saja tulisan ini adalah sebuah bocoran, saran, sekaligus tips dan trik dari saya. Sebagai penutup, saya sertakan sebuah puisi karya siswa SMA dalam sebuah ajang lomba tingkat kota. Kebetulan saya sebagai jurinya. Bisa kita analisis bersama, apakah puisi ini ditulis dadakan atau sudah disiapkan dan dihafal? Mari sama-sama kita baca. Oh, iya tanda (...) dalam puisi artinya tulisan asli penulisnya tidak terbaca sehingga saya ganti tanda elipsis.


Pitutur Pu’un


Di tengah adiwarna sang bumantara

Di atas panggung, di antara riuh senandika

Kutemukan ia

Detik ini, dan sebelumnya


Ia, dengan janjinya

Menolak ... ranting dan cabang

Menentang potret walau pada seambang bayang

Luruh peluh pada pikukuh dan atma pendahulu

Hari ini, dan sebelumnya


Tiap langkahnya bertelanjang kaki penuh afeksi

Memeluk dan membelai layak dayita sang pertiwi

Insan yang menjunjung hasrat jagat semesta

Dan hidup bergandeng satwa serta akar serupa

Bulan ini, dan sebelumnya


Lalu, ketika ... menyapa

Disambutlah manis gula dari tinggi aren perkasa

Dan suara tumbukan padi berpadu tawa

Tuk ... seba yang entah kapan hari jadinya

Tahun ini dan sebelumnya


Belajarlah dari pu’un

Wujud eksistensi penuh atensi pada kondisi bumi yang kelam

Memahami jati diri yang terjejak telak sejak ... masa silam

Dan korelasi dari perlakuan sepenuh hati pada alam


Bergurulah pada pu’un!

Dari prinsip yang digenggam sedalam malam

”Yang bukan harus ditolak

Yang jangan harus dilarang

Yang benar haruslah dibenarkan”


Kemudian, sampaikan padanya sang amila

Tuk ia bawa, ke seluruh dunia


Selama jiwa masih terikat, maka kembangkan adat

Seperti kirana sang baskara di hati

Seperti bestari tradisi miliknya yang abadi

Ia ”Badui”


Di tengah rimbun daun bumi Kanekes

Di dalam cinta, di bawah payoda bertangkai ancala

Masih, kutemukan ia

Berbalut kapureuk putih dan hitam

Kemarin, hari ini, dan selamanya.


____

Keterangan:

1) pu’un = pimpinan adat suku Baduy

2) pikukuh = larangan adat yang menjadi pedoman suku Badui

3) seba = upara adat suku Badui yang dilaksanakan setiap tahun dalam rangkan menyampaikan rasa syukur atas hasiil panen

4) karuhun = nenak moyang

5) yang bukan harus ditolak

    yang jangan harus dilarang

    yang benar haruslah dibenarkan

   = kutipan prinsip yang dipegang oleh suku Badui

6) Kapureut = jimat yang digunakan suku Badui


Pipitan, 21 Februari 2023



______

Penulis


Encep Abdullah, penulis yang maksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku proses kreatif terbarunya Diet Membaca, Ketiban Inspirasi (2023) masih PO sampai akhir Feb 2023. Hubungi 087771480255.